Empat Puluh Empat

146 8 0
                                    

Ji Na meletakkan vas terakhir yang telah ia rekondisi ke jajaran vas-vas bunga lainnya sambil menghela napas panjang. Pagi ini tugasnya merekondisi bunga-bunganya bisa selesai lebih cepat dari biasanya. Ia bahkan telah menyelesaikan tugas lainnya, seperti, menyapu bahkan sampai menata kembali gulungan-gulungan pita dan kertas craft.

Ya, rasanya aneh sekali lantaran ia bisa menyelesaikan semuanya pagi-pagi sekali dengan begitu damai tanpa gangguan. Maksudnya, Jae Hyun. Betul.

Wanita itu berkacak pinggang sambil menolehkan kepalanya ke arah tablet di meja kasir yang menampakkan waktu saat ini. Pukul 10.30 pagi, dan belum ada tanda-tanda keberadaan Jae Hyun sama sekali.

Ji Na mencarinya, tentu saja, jauh dari dalam lubuk hatinya. Meskipun baru dua hari Jae Hyun mengganggu hari-harinya di toko, tapi keabsenan pria itu pagi ini membuat hatinya gundah.

Apa...Jae Hyun berhenti datang lagi, ya?

Atau, Jae Hyun sengaja memberinya waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat atas keputusannya? batin Ji Na.

TING.

Yah, entahlah, tapi, mau bagaimana pun, Ji Na harus tetap melanjutkan pekerjaannya. Sudah ada pesanan masuk yang berdenting nyaring di tablet meja kasirnya.

*

"Terima kasih,"

Ji Na menyerahkan satu bucket bunga yang ia susun dalam keranjang rotan kepada salah satu pelanggannya. Sementara, sang pelanggan menerimanya dengan senyum lebar.

"Oh, ya, aku bertanya soal kelas merangkai bungamu. Apa kau tidak berniat untuk membuka kelas lagi besok?" Sang Pelanggan menyinggung kelas merangai bunga yang sempat Ji Na buka beberapa kali.

"Hmm," Ji Na bergumam sejenak. "Aku akan beri tau nanti."

Sang Pelanggan mengangguk. "Aku berniat untuk join kembali. Kau bisa langsung menghubungiku jika kelasnya buka, ya?"

Ji Na mengangguk sambil tersenyum lebar.

Dengan begitu, Sang Pelanggan meninggalkan toko sambil melambai ramah pada Ji Na.

Yah, hari sudah bergulir menjadi siang. Matahari telah berubah menjadi begitu terik.

Entah apa yang Jae Hyun lakukan pada tokonya, tapi Ji Na merasakan kehampaan yang begitu nyata hari ini. Jika biasanya, ia akan mendapati Jae Hyun mengisi sofa di ujung tokonya sambil sibuk berkutat pada tabletnya. Kini, sofa itu kosong tak berpenghuni. Rasanya aneh sekali. Seolah ada angin dingin yang mengusik relung jiwanya.

Baru dua hari Jae Hyun mengganggunya, tapi ia sudah memberikan dampak yang begitu besar pada kehidupan Ji Na.

Apa artinya 5 tahun belakangan ini tanpa Jae Hyun, jika pengaruh pria itu ternyata masih cukup mengusik kehidupannya hanya dalam waktu 2 hari?

"Satu keputusanmu menjadi pilihan yang akan aku ambil, Ji Na. Aku akan tetap maju, atau menyerah, tergantung dirimu. Aku tidak ingin memaksa."

Ji Na sendiri tidak mengerti dengan egonya sendiri. Bukti apalagi yang ia perlukan untuk membuat dirinya yakin bahwa Jae Hyun masih menginginkannya? Ketakutan tak berdasar yang menggerogoti jiwanya selama 5 tahun ini membuatnya tak pernah percaya diri. Terlebih mengenai perasaan tulus Jae Hyun padanya.

Oh, atau, jangan-jangan Jae Hyun menyimpulkan sendiri mengenai keputusan Ji Na, ya? Jangan-jangan Jae Hyun menyerah dan——tunggu sebentar, memang kenapa kalau menyerah?

"Hah!" Ji Na menjambak kuat rambutnya, melampiaskan pening yang menyerang kepalanya.

Apa aku benar-benar tak rela Jae Hyun menyerah? batinnya.

SOUL.MATE = Don't Wanna Be Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang