Tiga Puluh Sembilan

130 13 0
                                    

Sudah dua jam Jae Hyun berdiri seorang diri di depan sebuah ruangan rumah sakit tempat Ji Na dirawat. Ludwig dan Ketiga Kakaknya ada di dalam ruangan, meninggalkan Jae Hyun uring-uringan seorang diri. Pria itu sibuk duduk-berdiri, mondar-mandir di depan pintu dan kaca jendela ruangan Ji Na tanpa istirahat. Sampai suara nyaring seseorang hinggap memecah keheningan.

"Jae Hyun-ah!"

Ada Soo Hwa di ujung koridor, bersama Ten. Wanita itu berlari sekuat tenaga menghampiri Jae Hyun.

"Ada apa? Apa yang terjadi, huh?" sambar Soo Hwa tak sabaran.

"Ji Na..." Jae Hyun tak yakin harus menjawab apa, "dia pingsan tiba-tiba. Min Hyun belum keluar dari ruangannya. Aku belum tau kenapa."

Soo Hwa menarik napas panjang dan menghembuskannya sejenak. "Kuharap bukan sesuatu yang buruk," katanya.

Jae Hyun menangguk, tak menanggapi begitu banyak. Ia memilih untuk mengambil posisi duduk, persis di sebelah Ten yang lebih dahulu mengisi deretan bangkunya.

"Bagaimana acaranya?" Ten menepuk bahu Jae Hyun, "Kau berhasil menghalanginya?"

Mendengar topik yang cukup sensitif itu, Soo Hwa pun bergabung. Mengambil posisi duduk di sisi Jae Hyun yang lainnya.

Jawaban Jae Hyun diutarakan melalui gelengan kepala yang lemah. "Acaranya sudah selesai saat aku tiba. Tapi, Ludwig mengatakan kalau...Ji Na akan ke Berlin."

"Dia jadi berangkat rupanya," tutur Soo Hwa, lebih untuk dirinya sendiri.

Baru Jae Hyun berniat akan menanyakan lebih lanjut, Min Hyun terlebih dahulu keluar ruangan sambil melepas jas putih dokternya. Ketiga orang itu sontak beranjak berdiri, menuntut penjelasan dari Min Hyun.

"Soo Hwa, Ten, masuklah. Ji Na sudah siuman," perintah Min Hyun, yang segera dituruti oleh sepasang kekasih tersebut. Sementara, ia mendekati Jae Hyun, bergabung di kursi yang semula diisi oleh Soo Hwa.

"Hyung, bagaimana Ji Na?" Jae Hyun kembali duduk di tempatnya, persisnya di sisi Min Hyun sekarang.

"Tak apa, Jae Hyun-ah," Min Hyun tersenyum hangat. "Adikku hanya kelelahan. Ia hanya butuh istirahat lebih banyak."

Jae Hyun bisa menghela napas lega. "Syukurlah," ujarnya.

"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, Jae Hyun," nada suara Min Hyun terdengar serius. Pria itu pun memandang Jae Hyun tak kalah serius dari nada suaranya. "Tentang Ji Na."

Jae Hyun terkesiap.

"Keputusan Ji Na untuk pergi ke Berlin sudah bulat."

DEG.

Jae Hyun hampir lupa caranya bernapas. Setelah pelukan yang Ia lakukan bersama Ji Na beberapa waktu lalu, ia pikir, semuanya akan segera baik-baik saja. Ternyata, tidak. Wanita itu belum memaafkannya.

"Jae Hyun, acara pertunangan Ji Na dengan Ji Min memang batal. Entah apa yang dipikirkan Ayahku, tapi, setelah kau berhasil menghubungi Johnny, Ayah mendadak mengumpulkan kami semua. Ji Na dan Ji Min yang masih berada di balkon pun dipanggil, demi menyampaikan keputusan besar itu. Bahwa, Ayah membatalkan acara perjodohan putrinya dengan Ji Min. Ajaibnya, Ji Na pun setuju," jelas Min Hyun menceritakan apa yang terjadi di restoran beberapa waktu lalu. "Tapi, keputusan kami untuk membawa Ji Na ke Berlin pun juga sudah bulat. Ji Na setuju untuk tinggal di Berlin bersamaku dan Ayah."

"T-tapi, b-bagaimana..."

"Jae, aku percaya adikku masih begitu mencintaimu. Perasaanmu pun berhasil meyakinkan Ayah. Tapi, apa yang dialami dan dirasakan adikku masih perlu penyembuhan. Ia masih ketakutan keluar rumah. Ia takut bertemu Ha Na. Jalan di sekitar rumah saja mengingatkannya pada kenangannya dengan Ha Na. Jadi, kumohon, semoga kau bisa mengerti bahwa aku perlu mengembalikkan adikku yang dulu. Aku perlu membawanya pergi dulu dari semua hal yang akan mengingatkannya pada Ha Na."

SOUL.MATE = Don't Wanna Be Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang