Dua

204 19 0
                                    

Genggaman tangan Jae Hyun masih bertahan pada tangan dingin Ji Na. Telapak tangannya yang kekar dan besar mampu membalut tangan Ji Na dengan begitu hangat. Bahkan, hawa hangatnya terhantar begitu dahsyat hingga ke pipinya dan menimbulkan rona merah yang hebat. Degub jantungnya juga semakin tak karuan. Ia bisa gila karena jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri.

Tapi, Jae Hyun bodoh sekali. Ji Na jelas-jelas sering menunjukkan bahwa pengaruh pria itu pada dirinya sudah tidak seperti dulu lagi. Ji Na telah memandangnya sebagai seorang pria, bukan lagi sebagai teman sepermainannya yang konyol. Jae Hyun telah berubah jauh lebih dewasa dan luar biasa tampan. Ah, siapa yang tidak jatuh cinta.

"Ngomong-ngomong," Ji Na teringat seseorang. Wanita itu celangak-celinguk ke sekitar Jae Hyun. Ia bahkan memperhatikan sekitar koridor kampus saat ini. "Mana Ha Na?" ia menanyakan satu sahabatnya yang lain.

"Ah, aku lupa memberitaumu," Jae Hyun memandangnya. "Ha Na tidak bisa ikut pulang."

"Ah!" Ji Na memekik bahagia. Artinya, mereka akan pulang berdua saja, kan? Oh! Indah sekali!

Jae Hyun belum menyadari respon berlebihan Ji Na. Pria itu menganggukkan kepala sebagai respon seadanya. "Latihan biolanya belum selesai jadi dia meminta kita untuk pulang duluan."

"Ahh!!" Saking bahagianya, Ji Na bahkan melepaskan genggaman tangan Jae Hyun hanya sekedar untuk menepuk tangannya satu kali.

"Dia mendadak ditunjuk sebagai pemain biola utama mendampingi pianist di acara Culture Festival yang sama denganmu nanti."

"Aa!" Ji Na menepuk tangannya sekali lagi.

Jae Hyun menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan memberikannya tatapan bingung. "Kenapa responmu berlebihan sekali, sih?" protes yang ia layangkan begitu ia menyadari pekikkan nyaring Ji Na hampir terdengar ke seluruh penjuru koridor kampus.

Wanita itu pun terkekeh geli. "Aku bahagia," jawabnya cepat. "Oh! Maksudku, karena dia ikut tampil sebagai pemain biola utama nanti hehehe..."

Jae Hyun memutar bola matanya ke atas. "Energimu itu luar biasa memang. Kau sudah menari berjam-jam, tapi masih bisa berteriak sekeras itu sekarang," ledeknya sambil berlalu mendahului Ji Na yang masih sibuk dengan 'kebahagiaannya' sendiri. "Kau mau pulang tidak?" tanyanya acuh tak acuh tanpa menoleh sedikitpun.

"Oh! Iya, tunggu!" wanita itu pun berlari untuk menyamai langkahnya dengan Jae Hyun. Tiba di sisi pria itu, ia bahkan mengulurkan tangannya, "pinjam tanganmu. Anginnya dingin, tau. Sebentar lagi hujan."

Jae Hyun menurutinya tanpa banyak protes. Ia meraih tangan Ji Na dan menggenggamnya erat-erat. Pria itu mengernyitkan kedua alisnya begitu ia mendapati bahwa Ji Na membawa genggaman tangan mereka ke dalam saku jaket hitam yang ia kenakan.

"Kau bisa belajar jadi pria romantis dariku, Jeffrey," wanita itu memamerkan tindakannya barusan dengan sombongnya. Senyum yang tersungging di bibirnya sangat tinggi.

"Tingkahmu aneh, tau," komentar Jae Hyun, namun ia membiarkan Ji Na mendekap tangannya dari balik saku jaket yang ia kenakan.

"Genggaman tanganku hangat tidak?"

"Tidak. Yang hangat itu tanganku."

"Ugh, tanganku juga bisa hangat, kok!"

*

"Kau menonton latihanku tadi?" Ji Na masih begitu fokus memandang Jae Hyun sampai ia tak sadar jika Jae Hyun menggiringnya menuju parkiran motor. Dan, begitu mereka tiba di sisi motor besar Jae Hyun, Ji Na baru membuka matanya lebar-lebar, "oh! Aku tidak tau kau bawa motor."

"Aku sempat pulang ke rumah tadi siang," Jae Hyun menyodorkan helm kecil untuk Ji Na kenakan.

"Ada apa?" namun, Ji Na tak segera meraih helmnya.

"Ada tugasku yang tertinggal," Jae Hyun tak ambil pusing. Ia memutuskan untuk memakaikan helm itu ke kepala Ji Na dibandingkan ia harus menunggu wanita itu selesai bertanya, baru meraih helm dari tangan Jae Hyun. "Dan, iya, aku menonton latihanmu tadi sedikit," tak lupa Jae Hyun menjawab pertanyaan Ji Na yang pertama sebelum wanita itu melontarkannya lagi.

"Benarkah? Bagaimana menurutmu?" Ji Na bertanya dengan semangat.

Jae Hyun terdiam sejenak saat ia memasangkan tali pengaman pada helm Ji Na.

"Yong Ssaem bingung sekali saat memutuskan pasangan priaku nanti. Dia bilang Ten bagus sekali. Tapi, Jin Young juga sangat sempurna denganku. Semua orang juga setuju aku dengan Jin Young," Ji Na mengoceh tanpa mengurangi tatapan dalamnya pada kedua pasang bulu mata Jae Hyun yang tebal dari jarak sangat dekat.

"Aku lebih suka kau dengan Ten," jawab Jae Hyun singkat, kemudian memasangkan tali pengaman helm Ji Na dengan cepat.

"Tapi, semua orang lebih setuju aku dengan Jin Young."

"Aku sudah dengar," Jae Hyun memakai helmnya. "Kau mengatakannya dua kali."

Ji Na terkekeh. "Lagipula nanti akan ada audisi untuk memutuskan siapa pasangan priaku nanti. Meskipun kemungkinan besar Ten tidak bisa ikut, tapi Yong Ssaem ingin Ten tetap mencobanya."

Jae Hyun tak merespon. Ia sibuk menaiki motor dan menyalakan mesinnya.

"Satu kali lagi kutanyakan. Kau lebih suka aku menari dengan Ten atau Jin Young?" Ji Na bersikap seolah-olah ia reporter atau apalah. Wanita itu bertanya pada Jae Hyun sambil menyodorkan kepalan tangannya ke dekat bibir Jae Hyun, seolah ia memegang microfon.

Jae Hyun menatapnya tajam. "Naik," titahnya.

Ji Na merengut sebal. "Jawab dulu pertanyaanku, Jae Hyun-ssi. Kau ingin melihatku menari dengan Ten atau Jin Young?" Ia menyodorkan microfon khayalannya itu lagi ke dekat bibir Jae Hyun.

"Ten," jawab Jae Hyun tegas.

"Kau tidak penasaran aku tampil dengan Jin Young? Aku baru tampil dengannya dua kali."

"Tidak," sergah Jae Hyun. "Naik atau kita akan kehujanan."

Jae Hyun galak sekali. Memang. Untuk itu, Ji Na tidak bisa apa-apa selain menuruti perintah Jae Hyun jika sudah begitu. Wanita itu bergerak menaiki motornya.

"Kau tidak kedinginan?" wanita itu menangkap celana dan kaos pendek Jae Hyun di tengah cuaca mendung seperti ini.

"Pegangan, Ji Na," Jae Hyun memilih untuk tidak menjawabnya. Ia menancap gas motornya, melaju kencang keluar area kampus.

Kedua tangan Ji Na pun memilih untuk otomatis melingkar di pinggang Jae Hyun. Hal ini biasa, tapi tidak pernah menjadi hal biasa bagi Ji Na. Karena degub jantungnya tidak pernah bisa santai setiap kali ia melakukannya. Ia bahkan menyandarkan dagunya di bahu Jae Hyun sambil sesekali mencuri pandangan ke arah kaca spion yang memantulkan wajah Jae Hyun di sana.

"Aku menyelamatkanmu," Ji Na mengeratkan pelukannya, "agar tidak kedinginan."

Kedua pasang mata Jae Hyun bergerak ke arah spion. Pria itu memandang Ji Na dalam melalui kaca spion motornya. Sementara, Ji Na tersenyum lebar, "kau harus belajar untuk jadi pria romantis, Jeffrey," dan, meledeknya.

Jae Hyun lantas mencibir, "kau juga harus belajar mengontrol detak jantungmu itu. Keras sekali tau."

Alih-alih tercengang, Ji Na justru menanggapinya sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang Jae Hyun lebih erat lagi. "Kau mendengarnya?" tanyanya mempertegas pernyataan Jae Hyun sebelumnya.

"Hm," jawab Jae Hyun singkat. Pria itu tak ambil pusing. Ia memutuskan untuk meraih salah satu tangan Ji Na yang melingkar di pinggangnya dan membenarkan posisi rengkuhan tangan Ji Na sambil bertutur, "pegangan dengan benar."

Senyum Ji Na menjadi lebih lebar lagi setelah mendengarnya.

"Hm," maka, wanita itu pun menuruti perintah Jae Hyun dengan senang hati. 

SOUL.MATE = Don't Wanna Be Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang