“Ji Na,”
Ji Na meremang begitu ia mendengar dengan jelas suara berat Jae Hyun dari arah belakang punggungnya. Wanita itu segera berbalik, mendapati Jae Hyun begitu rapih dengan setelan jaket jeans putih yang melapisi tubuhnya.
Wanita itu buru-buru mengulurkan tangannya, mengukur suhu tubuh Jae Hyun dari keningnya dengan punggung tangannya. Ia membiarkan Jae Hyun memperhatikan tingkahnya dengan bingung. Bisa tiba-tiba mendapati sosok Ji Na di depan pintu kamarnya membuat Jae Hyun tak henti-henti memperhatikan wanita itu.
“O? Kau…tidak demam,” Ji Na mengernyitkan dahinya bingung. Punggung tangan Ji Na lantas bergeser, menyentuh pipi hingga leher Jae Hyun. Suhu tubuh pria itu benar-benar normal. Ia bahkan tak terlihat pucat sama sekali.
“Kau baik-baik saja!” Ji Na menyentak sebal. Ia baru paham kalau Soo Hwa baru saja mengerjainya. “Kau tidak sakit?” tanyanya, mendesak kesimpulannya.
“Tidak,” jawab Jae Hyun polos.
“Ish, dasar Soo Hwa!” omel Ji Na yang lantas membuat Jae Hyun terkekeh geli.
“Soo Hwa mengerjaimu?” simpul Jae Hyun.
“Iya. Dia bilang padaku kalau kau sakit. Katanya, kau mungkin saja pingsan dan tidak ada yang menemanimu di Berlin. Ck!”
“Dan, kau datang karena mengkhawatirkanku?”
“Tentu saj——O-maksudku——”
Jae Hyun tersenyum puas. Pria itu menyandarkan punggungnya pada daun pintu sambil melipat kedua tangannya ke atas dada.
“Kenapa masih gengsi sekali, eo?” ledek Jae Hyun gemas.
“Aku tidak khawatir. Aku juga tidak gengsi. Apa maksudmu dengan gengsi, huh,” Ji Na melengos sambil ikut melipat kedua tangannya di dada. “Aku hanya… hanya …. takut kau pingsan di dalam dan tidak ada yang membantunya.”
“Hm, begitu,” nada Jae Hyun meledek.
Ji Na berdecak sebal. “Kalau baik-baik saja, ya sudah. Aku mau pulang.”
Begitu Ji Na berbalik, Jae Hyun buru-buru menyerobot, “Aku akan kembali ke Korea hari ini.”
Langkah Ji Na kembali tertahan. Seolah baru saja ada yang menghantam hatinya dan membuatnya gemetar ketakutan. Wanita itu lantas berbalik, menatap kedua mata Jae Hyun yang sendu. Lengkung senyum jahil pria itu juga menghilang, berganti menjadi lengkung ke bawah.
“K-kau…apa?”
“Aku harus pulang ke Korea hari ini,” jawab Jae Hyun dengan berat.
Setelah ucapan pria itu, Ji Na seolah baru menyadari bahwa Jae Hyun memang telah berdandan sangat rapih. Jaket jeans putihnya, bahkan beannie yang telah ada di genggaman tangannya. Sudut mata Ji Na juga menyadari ada koper hitam yang telah tertutup rapih di belakang Jae Hyun.
Oh, apa dia akan benar-benar berpisah dengan Jae Hyun sekarang?
Apakah akhir cerita mereka benar-benar harus begini?
“Kuharap kita bisa bertemu lagi lain waktu,” Jae Hyun menaikkan kedua sudut bibirnya, membentuk senyuman yang cukup kentara ia paksakan. “Kau, jagalah dirimu di sini, hm?”
Ji Na kembali kelu. Ia berusaha memilah apa yang harus ia katakan kali ini. Ayolah, Jae Hyun akan pergi.
“Maaf ya, sudah mengganggumu selama 2 hari kemarin,” lesung pipi di kedua pipi Jae Hyun tercetak.
Oh, tidak. Jeff.
“Ya, begitulah,” Jae Hyun mengangguk. Ia tak tau harus apa lantaran Ji Na tak juga memberikan respon.
“Ji Na?” tegur Jae Hyun.
“O. Aku…maksudku, ya…hati-hati di jalan. Semoga penerbanganmu lancar sampai Korea,” hah, padahal bukan itu yang ingin Ji Na katakan. Tapi, si bodoh bernama lidah itu justru mengucapkan kalimat perpisahan yang membuat kedua lengkung bibir Jae Hyun kembali turun.
Jae Hyun mengangguk sekali lagi.
“Aku…sebaiknya aku kembali ke toko,” Ji Na menggenggam kedua tangannya yang gemetar. Ia kehilangan energinya. Kedua bahunya turun begitu lemas tanpa daya sama sekali.
Percayalah, wanita itu hampir berusaha sekuat tenaga mencari alasan atas apa yang saraf-sarafnya lakukan pada tubuhnya. Ia melangkah meninggalkan Jae Hyun, meskipun tidak mau. Ia tak bisa berhenti sampai kedua kakinya tiba di depan lift dan mempertanyakan banyak hal di kepalanya.
Apa ini yang benar-benar Ji Na mau?
Apa 5 tahun ini tidak cukup bagi Ji Na untuk memilah semuanya?
Bukankah Jae Hyun sudah jelas-jelas masih menunggunya?
Apa Ji Na akan membiarkan waktu 5 tahun sia-sia begitu saja untuk penantian Jae Hyun?
Ia mencintai Jae Hyun, kan? Lantas apalagi yang ia butuhkan?
TING!
Suara denting pintu lift yang terbuka bersamaan dengan keputusan Ji Na untuk berbalik haluan.
Ji Na mengambil arah sebaliknya, tanpa pikir panjang memutuskan untuk kembali ke kamar hotel Jae Hyun. Tidak. Bukankah Jae Hyun bilang kalau dia menunggu keputusan Ji Na?
Maka, detik itu juga langkah kakinya bergerak melawan seluruh akal logika dalam kepalanya. Persetan dengan alasan yang Ji Na butuhkan. Ia ingin melarang Jae Hyun pergi. Ia mencintai Jae Hyun, masih begitu dalam.
TOK…TOK…TOK….
Maka, wanita itu menyerbu daun pintu Jae Hyun dengan ketukan-ketukan yang memburu. Ia tak ingin Jae Hyun pergi. Waktu 5 tahun sudah cukup menyesakkan baginya terpisah dengan Jae Hyun.
“Eo? Ada ap——”
CUP.
Ji Na tak membiarkan Jae Hyun menyelesaikan pertanyaannya sama sekali. Bibirnya terlebih dahulu ia tumbrukkan, bertemu dengan bibir tebal Jae Hyun dalam satu kali tarikkan. Ia tak sabaran untuk menyampaikan segala perasaannya pada Jae Hyun. Semuanya telah begitu kusut. Ia berharap, Jae Hyun mengerti hanya dengan ciuman yang ia lakukan.
*
Jae Hyun melotot. Bibir Ji Na hinggap begitu mulus di atas bibirnya, menimbulkan desir yang menggetarkan hati Jae Hyun begitu dahsyat. Pria itu berusaha memilah maksud wanita itu menciumnya secara serampangan begitu. Namun, sialan, persetan dengan alasannya.
Kedua tangan Jae Hyun bergerak menuju pinggang Ji Na, membawa wanita itu merapat pada tubuhnya. Ia tak biarkan bibir Ji Na bergerak sendirian terlalu lama, dan segera menyambutnya dengan lumatan yang begitu memabukkan. Pria itu tak ambil pusing. Ia memilih untuk mendukung keputusan Ji Na, mengurung wanita itu; tak memberikannya kesempatan untuk kabur, dengan membawanya masuk ke dalam kamar hotelnya.
CKLEK.
Tangan Jae Hyun lihai membuat pintu kamarnya terkunci. Ia lantas mendorong tubuh Ji Na, memepat wanita itu pada daun pintu.
Oh, Jae Hyun merasakannya dengan jelas, setiap inci pergerakan bibir Ji Na yang tak sabaran melumat bibirnya. Getar rindu disampaikan begitu nyata dari Ji Na. Aliran air mata wanita itu mengalir deras, ikut membasahi pipi Jae Hyun seolah pria itu ikut terisak bersamanya. Hati Jae Hyun ikut terperas nyeri, seolah Ji Na menyampaikan getar kesedihannya begitu sempurna padanya. Ia ikut merasa sesak.
Kedua tangan Jae Hyun merangkak naik, merengkuh wajah Ji Na begitu protektif. Ibu jarinya bergerak memutus aliran sungai bernama air mata yang Ji Na ciptakan. Tangisan itu terlalu deras bagi Jae Hyun. Dan, Ia membencinya. Jika Ia-lah penyebab aliran sungai kecil itu, maka Ia jugalah yang bertanggung jawab untuk mengeringkannya segera. Untuk itu, lumatan bibir Jae Hyun bergerak menjadi lebih dalam dari sebelumnya. Ciuman menggebu yang Ji Na pimpin pun luntur, mundur mengikuti lumatan lembut dan dalam dari Jae Hyun.
Pesan wanita itu tersampaikan dalam radar Jae Hyun. Ia membaca dengan jelas meskipun Ji Na belum menyampaikan apapun melalui mulutnya sama sekali. Ia bahkan tau arti di balik cengkraman kuat wanita itu pada pinggangnya, membawa tubuhnya semakin merapat padanya:
Ji Na tak ingin ia pergi.
Ia pun tak ingin meninggalkan Ji Na.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOUL.MATE = Don't Wanna Be Just Friend
RomantizmSinopsis : Siapa yang percaya bahwa tidak ada persahabatan sejati di antara pria dan wanita? Bahwa, tidak mungkin tidak ada kata 'cinta' di tengah-tengah persahabatan mereka? Bahwa, ada masa di mana salah satu dari mereka pasti memendam rasa 'cinta...