Erika berteman dekat dengan Alice.Anda juga sudah mendengar hal itu dari narasumber Anda yang lain, bukan? Mungkin dari wali kelas, atau tetangga sekitar rumah Alice, yang sering melihat mereka bermain bersama. Saya tidak akan membantahnya. Itu fakta, saya akui itu benar. Namun, rasanya kurang kalau menyebut mereka hanya berteman. Dalam buku hariannya, Erika selalu bilang kalau Alice itu sahabat terbaiknya.
“Kita nggak bakal terpisahkan,” tulisnya, dengan pulpen tinta merah jambu kesayangannya. “Beruntung banget deh, punya sahabat kayak Alice.”
Saya tahu, tidak seharusnya saya membaca buku harian putri saya itu. Seandainya Erika masih ada, saya yakin dia akan mencak-mencak mengomeli saya dengan pipi dikembungkan dan wajah yang memerah karena menahan malu. Bagaimanapun, isi di dalam buku itu adalah privasinya. Hanya saja, saya kadang tidak bisa menahan diri.Saya masih belum rela putri saya pergi seperti itu. Saya merindukannya. Buku harian itu... ketika saya membacanya, saya bisa merasakan kembali keberadaan Erika di samping saya.
“Apa Erika suka menulis?” tanya Anda?
Pertama kali saya membelikan buku harian itu untuk Erika, saya tidak terlalu berekspektasi dia akan suka. Putri saya itu anak yang sangat pendiam. Pemalu. Mungkin orang-orang zaman sekarang menyebut itu kepribadian introver. Bagaimana ya cara menjelaskannya. Erika itu... seperti punya dunianya sendiri. Jangan salah paham, bukan berarti putri saya itu indigo atau berbau mistis. Maksud saya, Dibanding bermain dengan teman-temannya, Erika lebih suka bermain dengan imajinasi di dalam kepalanya sendiri.
Saya ingat, dulu saya pernah minta tolong kepada beberapa anak tetangga untuk mengajak Erika bermain bersama, kebetulan mereka seumuran. Waktu itu saya berharap Erika bisa lebih aktif bermain di luar. Bermain sepeda atau sepatu roda, misalnya, atau main lompat tali, petak umpet, bermain boneka bersama anak-anak perempuan yang lain, tidak sendirian seperti yang sering dia lakukan di kamar. Sebagai seorang Ibu, saya juga ingin putri saya itu bisa bergaul dengan teman-teman sebayanya.
Besoknya, ada beberapa anak yang mengetuk pintu rumah saya sambil meneriakkan nama Erika, memanggil. Tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Saya kenal mereka. Mereka anak tetangga sekitar kompleks yang—sesuai permintaan saya kemarin—mau mengajak Erika bermain bersama. Saya mengizinkan mereka masuk dan menunggu di ruang tengah.
Erika ada di dalam kamarnya, di lantai dua. Kamar paling cantik yang ada di rumah ini, dengan pintu kayu berwarna merah jambu cerah, kertas dinding motif bunga kecil-kecil, juga stiker dan poster Disney Princess. Ketika saya mengetuk dan membuka pintu, Erika—yang waktu itu masih berumur empat tahun—sedang duduk bersimpuh di karpet, menyusun beberapa lego membentuk istana kecil.
Sembari memasang senyum simpul, Saya memberi tahu putri saya itu kalau ada teman-temannya yang datang.
“Teman?” Saya masih ingat jelas suaranya. Suara kecil Erika. “Siapa, Ma?”
“Itu di bawah....” Saya menyebutkan nama anak-anak tetangga tadi. Lalu tanpa maksud mengusir, saya berkata pada putri saya itu, “kamu main sama mereka sana.”
Sesaat Erika diam. Dia mengernyit enggan. Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya dia mau berdiri, membersihkan lutut yang tidak kotor, kemudian berjalan bersama saya menuruni tangga.
Di ruang tengah, anak-anak yang sudah tidak sabar menunggu, berdiri di depan lemari kaca, tempat suami saya menyimpan koleksi patung miniatur kayunya. Saya tidak akan marah kalau mereka hanya melihat-lihat. Namun, setelah menyadari kedatangan saya, mereka langsung kembali duduk di sofa dengan sopan. Saat itu saya pikir, mereka bisa jadi teman yang cocok untuk Erika.
Hari itu, mereka memutuskan untuk bermain permainan kartu. Mereka duduk di karpet, membentuk lingkaran. Saya menyajikan sepiring penuh kukis cokelat dan jus jeruk untuk mereka. Lalu setelah memastikan semuanya akan baik-baik saja, saya kembali ke dapur, membersihkan peralatan masak yang sudah saya gunakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...