Cinderella 1

62 22 5
                                    


Apakah saya harus menulis semuanya di sini?

Nyonya Hatcraft bilang, menulis diary bisa menenangkan pikiran. Kalau dipikir-pikir, mungkin memang benar. Saya bukan tipe orang yang bisa memendam sesuatu lam waktu yang lama. Ketika saya punya masalah, biasanya saya akan menceritakan masalah itu kepada teman-teman saya. Curhat, istilahnya.

Normalnya, saya akan mengajak dua atau tiga teman kerja saya untuk makan siang bersama, di sebuah kafe, beberapa blok dari kantor. Saya akan memesan kopi dengan banyak gula, dan tidak jarang juga, saya akan mentraktir teman saya itu.

Kami akan mengobrol. Saya akan memulai percakapan tanpa basa-basi, langsung mengeluh tentang beratnya pekerjaan, beratnya hidup merantau di kota besar yang jauh dari rumah, berat dan bosannya keseharian saya, sendirian di apartemen kecil yang sudah disediakan kantor. Banyak yang saya keluhkan sejak pertama kali saya bekerja di kota. Namun tidak ada masalah yang sebesar ini.

Kata “masalah” mungkin tidak cocok untuk sesuatu yang saya hadapi. Dosa. Ah, kata itu rasanya lebih tepat.

Saya menanggung dosa yang sangat besar. Dosa yang tidak bisa saya bicarakan dengan siapa pun. Dosa yang hanya bisa saya pendam, yang harus saya sembunyikan bahkan untuk teman-teman saya.

Apa saya harus terus menulis diary ini? Ini sudah seperti pengakuan dosa. Apa saya bisa melanjutkannya?

Apa saya bisa membuang semua keluhan saya ke dalam halaman-halaman kertas putih ini, sama seperti saat saya curhat di depan teman-teman saya?

Saya tahu ini terlalu berisiko. Kalau buku ini ditemukan oleh seseorang, lalu orang itu membaca tulisan di dalamnya, mungkin saya akan menjadi buronan dan berakhir di penjara. Saya mungkin tidak akan bisa bertemu lagi dengan putri saya, tidak bisa melihatnya tumbuh menjadi gadis cantik seperti Alice atau Erika. Apa saya sudah siap dengan risiko itu?

Saya tidak bisa membayangkannya. Tentu saja saya tidak mau dipenjara. Siapa orang bodoh yang mau mengorbankan masa depannya hanya untuk mendekam di tempat seperti itu. Tidak. Saya tidak mau.

Namun, saya tidak bisa terus-terusan seperti ini. Saya berpikir berulang-ulang kali, dan di sinilah saya akhirnya. Duduk di depan meja rias, menatap wajah saya sendiri, wajah seorang pembunuh. Pulpen gemetar di genggaman jari saya, menulis selembar penuh basa-basi untuk meyakinkan saya sendiri.

Sampai kapan saya mau menulis basa-basi yang tidak penting seperti ini?

Baiklah, ayo kita mulai.

***

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang