Ketua Kelas 3

52 23 2
                                    

Erika yang jadi Cinderella. Alice yang main piano, jadi pengiring. Kakak sudah tahu? Itu aneh, kan?

Kenapa tiba-tiba Bu Andrea mutusin buat ganti pemeran utamanya? Padahal sudah bagus-bagus Alice. Alice bisa diandalin sebagai ketua kelas. Kita semua yakin Alice pasti juga bisa meranin Cinderella dengan baik. Sebaliknya, Erika nggak terlalu bisa diandalin. Semua anak di kelas juga tahu kalau dia sering gugup sendiri, canggung. Aku nggak bermaksud ngejelekin Erika, tapi dia memang tipe anak yang kayak gitu.

Kakak kayaknya tahu sesuatu, ya? Apa Kakak tahu penyebab Bu Andrea ngelakuin hal aneh itu?

Ah, Kakak pelit, nggak mau ngasih tahu.

Ya, begitulah. Pokoknya kelas hari itu kerasa aneh banget.

Kemarin Alice sama Erika berantem, eh, hari itu mereka berdua kayak sudah baikan lagi. Mereka duduk sebangku kayak biasa, ngobrol kayak biasa, bercanda kayak biasa, seolah pertengkaran kemarin nggak pernah terjadi. Malah, kalau dilihat-lihat lagi, Alice saat itu kelihatan lebih senang, lebih santai.

"Aku memang dari awal nggak mau jadi Cinderella," alasan Alice. "Jadi aku kasih peran itu ke Erika."

Aku nggak terlalu yakin, sih. Banyak teman-teman sekelas yang juga ragu sama alasan Alice itu. Mereka nggak percaya. Apa benar kayak gitu? Gosip-gosip pun bersebaran. Banyak yang nggak suka sama Erika sejak hari itu. Mereka ngira Erika sudah ngerebut, maksa Alice buat nyerahin peran Cinderella-nya. Dengan alasan kayak gitu, mulai ada banyak anak-anak sekelas yang ngejahilin Erika.

Di kelas, waktu jam pelajaran, ada anak di meja belakang yang ngelemparin Erika pakai bola kertas. Bola kertas putih seukuran bola tenis itu melambung waktu guru yang mengajar saat itu ngehadap ke papan tulis, munggungin kami. Erika nggak tahu siapa yang ngelempar. Bola itu jatuh pas di atas kepalanya. Anak itu celingukan, dan ekspresi bingung yang dia buat itu lucu banget. Beberapa anak lain akhirnya juga ikut ngelemparin.

"Kalian juga ikut ngelemparin?" tanya Kakak?

A... aku? Nggak. Nggak, kok. Iya kan, Doo?

"Jangan bohong," kata Kakak?

Nggak bohong. Nggak bohong.

....

Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Kak. Jangan direkam juga.

Sebenarnya, sih. Aku juga ikut ngelemparin. Tapi, tapi, tapi, aku nggak bermaksud jahat, kok. Aku cuma ngikutin yang lain. Terus juga kayaknya seru. Itu si Doo ikut-ikutan juga.

Kami nyobek selembar kertas dari buku tulis kami. Aku ngambil dari halaman kosong yang ada di belakang buku, Doo nyobek dari bagian tengah, yang artinya dua lembar kertas.

"Kalau kayak gini bola kertasnya bisa jadi lebih besar," Doo bilang begitu. Dan iya, bola kertasnya memang jadi lebih besar dari punyaku. Tapi, itu cuma bola kertas kosong biasa. Punyaku berbeda.

Sebelum meremasnya jadi bentuk bola, aku menulisinya lebih dulu. Aku tahu ada dua atau tiga anak lain yang ngelakuin hal yang sama, jadi menurutku itu cukup wajar buat dilakuin.

"CINDERELLA PALSU!!"

Aku tulis begitu, pakai spidol tebal warna hitam. Huruf tulisanku besar-besar, hampir menuhin seisi kertas. Aku ingin tahu gimana reaksi cewek itu, Erika, waktu ngebuka bola kertas, terus baca tulisanku. Sebelum-sebelumnya, waktu dia baca tulisan anak-anak yang lain, dia masang wajah datar, nggak senyum, nggak nangis, kayak baca surat atau buku biasa. Walaupun tulisanku nggak terlalu kasar, tapi aku harap Erika itu nunjukin ekspresi terkejutnya.

Kubidik bola kertas itu ke arah kepala Erika. Pelan-pelan ngelakuin ancang-ancang. Sudut tembakan, arah angin, kecepatan, kelenturan tangan, apa bakal kena ke kepala Erika? Meluncur pas di rambutnya? Aku harap iya, terus aku mulai melempar. Bola kertas itu terbang di udara, teman-teman merhatiin sambil senyum, lalu waktu benda itu mendarat di kepala, bagian atas telinga Erika, mereka semua nahan tawa. Aku juga.

Nggak ada reaksi dari cewek itu. Erika tetap duduk diam di bangkunya. Dia nggak noleh sama sekali, dan kurasa dia juga nggak ngelirik. Erika kayak patung di tengah taman yang cuma jadi bahan tontonan.

Aku nggak bermaksud jahat lho, Kak. Tapi menurutku Erika memang begitu waktu itu. Dia diam saja, dan justru hal itu yang ngebuat teman-teman makin semangat ngelemparinnya. Erika nggak bisa marah. Semua orang tahu itu. Erika cuma bisa nangis diam-diam. Tapi, Alice nggak.

Alice tiba-tiba berdiri di tengah jam pelajaran. Aku nggak nyangka dia bakal begitu. Aku yakin Doo sama teman-teman yang lain juga terkejut waktu ngelihatnya. Alice mungutin bola-bola kertas yang jatuh terceceran di lantai, satu per satu. Bola itu ada banyak. Lebih banyak dari yang aku kira, terkumpul sampai hampir menuhin satu meja.

"Pak, ada yang usil!" seru Alice, ngebuat guru bahasa inggris yang tadinya fokus nulis di papan tulis itu noleh, ke arah Alice yang lagi nunjukin bola-bola kertas di mejanya. "Erika diganggu."

'Siapa yang ngelakuin?" Pak Theo bertanya, sorot matanya berkeliling, seolah natap semua anak yang ada di kelas itu satu per satu. Tapi, nggak ada yang ngaku. Aku sama Doo juga nggak ngaku. Kami takut dimarahi.

Alice yang masih berdiri itu juga ikut mandangin sekitar, tangannya terlipat di dada.

Sisa jam pelajaran waktu itu akhirnya malah dipenuhi sama ceramah pertemanan. Pak Theo, bukannya jelasin tentang materi bahas inggris, malah cerita pengalaman masa lalunya waktu anak-anak, tentang persahabatannya dengan teman-temannya waktu itu, tentang mereka yang suka bermain sepak bola di lapangan, mereka yang pernah berantem, terus akhirnya baikan lagi. Mereka yang peduli satu sama lain, sportif, mengerti hati satu sama lain.

Waktu Pak Theo nyeritain itu semua, yang ada di bayanganku cuma Alice dan Erika.

Seberapa jauh hubungan pertemanan mereka berdua?

Aku sama Doo yang sudah barengan sejak di dalam perut saja masih sering bertengkar, sering cuek, nggak bicara kalau lagi ngambek. Bisa sampai dua, tiga hari kami berantem, saling diam, sampai akhirnya Mama nyuruh salah satu dari kami minta maaf, dan kami juga terpaksa maafin.

Apa Alice nggak marah, peran Cinderella-nya direbut Erika?

Apa dia memang bisa maafin Erika begitu saja, tanpa syarat khusus, dan bahkan mau ngebela Erika yang dijahili hampir seisi kelas?

Alice itu baik banget, Kak!

Nggak mungkin dia ngelakuin hal jahat ke Erika. Nggak mungkin Alice mukul Erika pakai tongkat baseball. Nggak mungkin banget!

***

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang