Dear Diary.
Iiiiih, sebel, sebel, sebel!
Mama hari ini marahin aku lagi!
Aku tadi habis main lego, kayak biasa. Aku buat istana besar, dindingnya kususun dari lego warna kuning sama putih, terus atapnya pakai yang warna merah. Aku juga buat garasinya yang besar, sampai, mobil mainanku bisa kuparkir di sana. Seru banget deh pokoknya, sampai aku lupa waktu. Kalau bukan karena perutku yang keroncongan, mungkin aku bisa lanjut main sampai malam.
Nah, karena aku lapar, aku cari makanan di dapur. Aku keluar kamar, turun tangga, sambil manggil-manggil Mama.
"Mama! Mama!"
Sayangnya Mama nggak jawab. Kayaknya Mama memang lagi nggak ada deh. Mungkin dia lagi keluar, ke supermarket atau ke warung tetangga, beli tepung atau telur tambahan. Aku nggak tahu. Tapi, aku lihat ada kue muffin baru matang di loyang di atas meja dapur. Baunya enak banget.
Waktu itu jam empat sore. Jam makan malam masih lama. Nggak mungkin dong kalau aku nahan lapar sampai jam delapan malam. Bisa mati kelaparan aku nantinya. Jadi, nggak ada salahnya juga aku makan kue sekarang, itung-itung buat ngeganjal lapar.
Aku ambil kue cokelat hangat itu, kuhirup aroma manisnya lebih dekat, lalu kugigit, kumasukin potongan kecil demi potongan kecilnya ke dalam mulut. Enak banget! Kue buatan Mama memang selalu enak deh. Empuk, manis, rasanya kayak ingin makan lagi, dan lagi, dan lagi, sampai akhirnya Mama datang.
Mama melototin aku. “Erikaaa, kuenya kok dimakan sih?!”
“Aku lapar, Ma.” Aku sudah jawab jujur, tapi Mama kelihatan masih marah.
“Tapi tetap harus bilang-bilang Mama dulu, dong. Boleh dimakan atau nggak. Kue itu kan sudah ada orang yang pesan.”
“Tapi, Ma....”
“Aduh, padahal baru ditinggal sebentar.”
Sebelum aku sempat minta maaf, Mama buru-buru buka lemari penyimpanan, ngambil tepung, telur, sama bahan-bahan lainnya. Dia mulai buat ulang adonan kue itu lagi dari awal.
“Jangan ulangi lagi!”
“Iya.”
“Kalau mau apa-apa, harus bilang dulu ke Mama. Paham, Erika?!”
“Iya.” Iya, iya, iya, aku paham. Aku ngerti. Jangan ngebentak aku gitu terus, dong. Mama harusnya sudah tahu, aku paling nggak tahan kalau dibentak. Aku bisa nangis.
“Jangan nangis!” Mama teriak, untuk yang terakhir kalinya. “Sudah, naik, pergi main di kamar sana.”
Terus aku pergi ke kamar, ngunci pintu, nangis di dalam dekapan bantal.
XOXO.
Erika
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...