Alice akan bermain piano, menggantikan saya. Gadis itu akan memainkan musik pengiring, dan itu jelas peran yang lebih baik daripada hanya menjadi pohon yang hanya bisa diam di atas panggung.
Erika, seperti yang diinginkan oleh Nyonya Hatcraft, akan menjadi Cinderella. Peran utama yang menurut pandangan saya, sangat tidak cocok dengan kepribadian Erika yang pemalu.
Teman-teman mereka di kelas juga sempat heran, beberapa bahkan ada yang menyatakan ketidaksetujuan secara terang-terangan.
“Padahal Alice yang lebih cocok,” ucap salah satu dari si kembar.
Anak-anak di sekitarnya mengangguk. “Kenapa diganti?”
“Apa ada masalah?”
Mendadak seisi kelas dipenuhi oleh suara bisikan anak-anak. Mereka menutup mulut, melirik ke arah Alice dan Erika, lalu berbisik-bisik lagi.
“Mungkin nilai Alice turun. Dia dipaksa belajar terus-terusan sama mamanya, nggak boleh ikut drama sampai nilainya bagus lagi.”
“Ah, nggak, ah. Nilai Alice nggak turun. Kemarin aku lihat nilai matematikanya masih sembilan puluh.”
“Kalau begitu, apa Alice sakit? Dia nggak boleh terlalu kecapekan?. Latihan drama kan emang bikin capek banget, apalagi yang peran utama.”
“Bisa jadi begitu. Tapi aku punya teori lain. Gimana kalau... Erika yang maksa Alice buat nyerahin peran Cinderella itu?”
“Erika maksa Alice? Itu konyol.”
“Tapi kalau dipikir-pikir lagi, masuk akal, kan?”
Suara bisikan itu semakin riuh. Saya tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. Saya bisa saja bilang, berkata terus terang kalau, Nyonya Hatcraft, Ibu Erika itu, menyuruh saya untuk menukar peran mereka. Akan tetapi, saya tentu saja tidak bisa asal bicara seperti itu. Bisa jadi keributan. Bisa jadi Erika nanti akan dijauhi, dikucilkan oleh teman-temannya. Walaupun saya tetap tidak suka memberikan peran Cinderella itu pada Erika, Erika tetap anak murid saya yang berharga.
“Bukan begitu!” Tiba-tiba Alice menggebrak meja, berdiri dengan tangan dikepalkan di samping tubuh. “Aku dari awal memang nggak mau jadi Cinderella. Bukan salah Erika. Aku yang minta Bu Andrea buat ganti perannya.”
Saya lihat bahu Alice bergerak naik turun, seirama dengan napas dan diafragmanya yang kembang kempis. Erika yang duduk di sebelahnya terperanjat, memandangi Alice dengan bola matanya yang membulat, terpukau, atau mungkin malah senang, karena pernyataan Alice yang tidak menyudutkannya.
“Dan juga,” Alice menambahkan, suaranya terputus oleh napas. “Sesekali aku ingin main piano di pentas seni itu.”
Alice memang hebat. Seperti saat menghentikan pertengkaran si kembar, Alice juga bisa mengatasi perdebatan kelas seperti itu. Teman-temannya mengangguk, paham dengan alasan Alice. Walaupun sebenarnya saya tahu, Alice berbohong.
Alice masih ingin jadi Cinderella. Terlihat dari mata dan gerak-geriknya. Gadis itu membohongi teman-temannya, tapi dia tidak bisa menipu saya.
Huh? Anda bertanya kenapa saya bisa tahu itu? Anda pikir itu mungkin itu cuma perasaan saya?
Saya pernah bercerita pada Anda, bukan? kalau semasa saya masih muda, saya tertarik dengan seni musik dan teater.
Mungkin sedikit tidak masuk akal kalau mengetahui seseorang bohong atau tidak hanya karena saya sering menonton drama dan mengikuti kelas teater. Namun, apa Anda tahu, perasaan dan jalan pikiran anak-anak itu sering kali bisa ditebak.
Walaupun saya belum berkeluarga dan memiliki anak, tapi saya bekerja di sekolah SD, yang pastinya penuh dengan anak kecil. Saya tahu, ketika mereka mengantuk, menguap, berpangku tangan, bosan saat saya mengajar di kelas. Atau saat mereka lapar, tidak bersemangat, ingin ke toilet, ekspresi mereka mengatakan semuanya, bahkan tanpa perlu kata-kata. Begitu juga degan bohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...