Ketua Kelas 2

49 25 0
                                    

Alice, ya? Sudah dua bulan dia nggak sekolah, sejak pentas seni sama libur akhir tahun.

Bu Andrea bilang, Alice lagi sakit, tapi aku tahu itu bohong. Semua anak di kelas juga sudah tahu yang sebenarnya. Alice sudah ngelakuin hal yang jahat ke Erika. Kakak tahu kan maksudku?

Sudah banyak orang tua yang ngebicarain, waktu rapat wali murid juga, aku dengar ada ibu-ibu yang protes, minta sekolah buat lebih ngejaga keamanan murid-muridnya, minta guru-guru buat lebih merhatiin kondisi mental, sama psikologi murid. Gitu, deh pokoknya. Mama juga sebenarnya ngusulin ke aku buat pindah ke sekolah lain, tapi aku sama Doo nggak mau.

Akhirnya, Mama nyuruh kami berdua jauhin Alice kalau misalnya anak itu sudah bisa masuk sekolah lagi.

Apa yang salah sama Alice?

Kupikir, nggak ada yang salah dengan dia. Alice baik. Dari dulu sampai sekarang, sampai terakhir kali aku bicara dengannya. Dia anak yang murah senyum, lucu, terus juga ketua kelas yang bisa diandalin Aku ingat dulu Alice pernah ngelerai aku sama Doo waktu kami berantem gara-gara roti selai... Hah? Kakak sudah dengar cerita itu? Dari Bu Andrea? Ya sudah.

“Apa Alice pernah bertengkar dengan anak lain?” tanya Kakak?

Hmm, sebentar, aku ingat-ingat lagi.

Oh iya, waktu itu. Waktu itu Alice pernah berantem sama Erika.

***

Kejadiannya belum lama ini. Kalau nggak salah, sebulan sebelum pentas seni. Kakak sudah tahu, kan, kelas kami mau ngadain pertunjukan drama Cinderella? Nah, mereka berdua berantem gara-gara hal itu.

Waktu itu sepulang sekolah, tapi teman-teman sekelasku belum ada yang pulang. Kami semua lagi sibuk ngebuat pohon dan semak-semak dari kardus bekas. Ada juga yang berlatih akting, ngehafalin dialog. Rame banget deh pokoknya hari itu.

Aku, Doo, Alice, sama Erika, lagi duduk, bersimpuh di lantai kelas yang sudah disapu. Alice ngegambar di atas kardus pakai spidol hitam. Cewek itu gambar semak-semak. Kalau sudah selesai, dia kasih kardus bergambar itu ke aku buat aku gunting, membentuk semak-semak yang sudah digambar tadi. Habis digunting, aku kasih ke Doo. Saudara kembarku itu yang bertugas mewarnai pakai krayon warna hijau.

Itu kerja sama tim yang bagus, kan?

Waktu itu Bu Andrea lagi nggak ada. Ada tamu yang mau ketemu, katanya. Aku nggak tahu siapa, tapi aku yakin mereka ada di ruang guru. Kayaknya sih, itu laki-laki yang mau ngajak Bu Andrea menikah. Banyak gosip yang bilang begitu... apa istilahnya? Pacar, ya?

“Cinderella mungkin sudah ketemu sama Pangeran,” Doo yang konyol itu ngebisikin aku. Cinderella yang dimaksudnya itu, ya sudah pasti Bu Andrea.

Sambil ngebuat semak-semak kardus, kami ngobrol, ngegosipin guru kesenian kami itu.

“Kalau Bu Andrea nikah nanti, aku diundang nggak, ya?”

Alice berbinar ngebayanginnya. “Pasti banyak makanan enak.”

“Ada kue tar raksasa,” Erika menyahut, matanya ikut menerawang.

“Mamamu bisa buat kue tar juga kan, Erika?”

“Bisa, tapi yang kecil. Aku nggak pernah lihat Mama buat yang besar. Palingan juga dua tumpuk.”

Aku nggak terlalu suka makan kue manis. Karena siang itu panas, aku malah ngebayangin es krim. “Ada es krim nggak, ya, waktu di acara nikahannya nanti?”

“Nggak adaaa....” Bodohnya, Doo ngomong begitu sambil nyenggol pundakku. Kardus yang kugunting hampir melenceng, untungnya nggak. “Orang dewasa nggak ada yang makan es krim,” katanya.

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang