Ketua Kelas 4

54 24 0
                                    

“Gimana Alice sebagai ketua kelas?” tanya Kakak?

Kenapa Kakak tanya begitu? Apa ada hubungannya sama kasus itu?

Hmm, Alice ketua kelas yang baik. Dia bertanggung jawab, bisa diandalin, gampang diajak kerja sama, nggak pernah telat masuk kelas, nggak pernah bolos, pintar, nilainya bagus, terus... tegas juga. Sosok ketua kelas yang ideal deh pokoknya. Sejak kelas satu, dia sudah sering dapat jabatan itu.

Aku pernah dengar, Ayah Alice itu kerja di perusahaan besar, jadi direktur atau apalah itu. Apa itu benar, Kak? Mungkin sifat sama aura kepemimpinan Alice memang turunan dari ayahnya itu, ya.

Tentu saja, setiap kenaikan kelas, struktur organisasi kelas akan diganti.

Aku ingat banget, waktu kelas dua, aku yang jadi ketua kelas, bukan Alice. Ya, walaupun cuma semester satu sih. Aku yang jadi ketua, Doo jadi wakil ketua, karena kami kembar, dan diharapin bakal gampang kerja sama, padahal kalau mereka tahu, kami ini, aku dan Doo ini, susah banget satu pemikiran.

Mentang-mentang kami kembar, mereka pikir kami sehati gitu? Selalu kompak gitu? No! Nggak, nggak, nggak, nggak. Justru kami ini sering berantem. Sifat kami ini beda banget, kayak terbalik, malah. Waktu kami nonton TV, misalnya. Aku suka nonton film kartun, tapi Doo lebih suka nonton acara olahraga, kayak pertandingan sepak bola, atau acara berita yang nayangin pemain-pemain sepak bola.

Apa serunya sih, acara kayak gitu? Nggak jelas banget. Waktu saudara kembarku itu nonton yang begituan, aku nggak tahan buat nggak ngerebut remotnya, terus kuganti ke channel Disney+ yang lagi nayangin kartun. Doo sudah pasti marah kalau aku ngelakuin itu, tapi siapa peduli, memangnya dia doang yang mau nonton TV?

Kami sering rebutan remot kayak gitu, sampai ada salah satu dari kami yang capek, atau nangis karena nggak sengaja kena cakar, atau karena Mama datang, terus marahin kami berdua.

Waktu aku yang jadi ketua kelas, kami juga sering berantem gara-gara beda pendapat. Doo sering iri kalau nilai tugasku lebih bagus darinya. Terus di pelajaran olahraga, lari keliling lapangan, Doo selalu ninggalin aku d belakang, terus ngejek aku lambat. Nyebelin banget deh, tapi memang kayak gitu. Kami nggak cocok jadi ketua sama wakil karena kami memang nggak bisa ngasih contoh yang baik-baik. Beda sama Alice.

Semester dua, Alice lagi yang diangkat jadi ketua, ngegantiin aku yang dianggap kurang tegas, dan ya, aku sadar itu memang benar. Seengaknya, aku yakin Alice bisa jadi ketua kelas yang lebih baik dari aku.

Waktu kelas empat, lima juga begitu. Sebelumnya ada anak selain Alice yang jadi ketua kelas, tapi sayangnya gagal. Kebanyakan sih karena mereka nggak bisa ngatur kelas, nggak bisa misahin anak yang berantem, Nggak bisa buat kelas jadi tertib, matuhin piket kelas atau apa gitu. Tapi Alice bisa.

Alice suaranya kecil, tapi kalau teriak nyeremin banget. Aku sama Doo pernah kabur waktu kami ada jadwal piket. Kalau nggak salah, itu hari Rabu. Hari rabu itu ada pelajaran olahraga, matematika, sama IPA. Pelajaran yang bikin capek plus bikin pusing juga. Jadi, wajar dong, kalau bel pulang sekolah sudah bunyi, kami ingin buru-buru pulang ke rumah?

“Harus piket dulu!” Alice berseru waktu aku sama Doo sudah ada di ambang pintu. Dia melotot di depan kami, tangannya melebar menghalangi jalan. “Ambil sapu, tuh pojokan, bersihin dulu!”

“Capek, ah. Nggak mau.”

“Besok pagi saja deh, kami bersihin.”

Alice menggeleng, jelas dia nggak setuju sama gagasan itu. “Harus sekarang,” perintahnya. “Biar besok pagi sudah bersih.”

“Tapi....” Doo dengan wajah konyolnya ingin membantah, tapi nggak jadi karena dia tahu itu pasti sia-sia. kami nggak mungkin bisa ngelawan Alice, karena walaupun seandainya kami sudah lari cepat-cepat lari ke rumah, Alice pasti bisa nyeret kami balik ke sekolah lagi.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ada beberapa anak yang nggak suka sama Alice. Walaupun sebenarnya niat Alice itu baik, tapi kadang aku juga ngerasa dia itu ketua yang semena-mena, cerewet, suka ngatur ini itu seenak dia sendiri. Aku tahu mungkin ada satu atau dua anak yang nggak suka sama dia, tapi teman-teman yang nyukain dan ngedukung Alice jauh lebih banyak.

Aku? Kalau aku sendiri sih, Aku nggak terlalu keganggu sama tingkah Alice yang kayak gitu. Dia tetap teman yang seru dan baik. Lagi pula karena dia juga, aku nggak perlu repot-repot lagi jadi ketua kelas.

Kalau aku yang tetap jadi ketua, kelas kami mungkin nggak akan pernah dapat penghargaan sebagai kelas paling bersih se-satu sekolah.

***

Sekarang, kelas jadi agak sepi gara-gara nggak ada Alice.

Ada anak yang jadi ketua kelas gantiin Alice, tapi tetap saja, kelas jadi kacau, nggak teratur kayak dulu lagi. Waktu pagi, aku lihat kelasnya masih kotor. Kotor banget malah, kayak seminggu nggak pernah di sapu. Ada sampah botol air kemasan dibuang sembarangan di pojok belakang, papan tulisnya juga kotor, jendela-jendelanya berdebu, nggak mengkilap sama sekali. Kalau Alice ngelihat itu semua, dia pasti marah banget.

Ketua kelas yang baru itu nggak tegas sama sekali. Tapi ya mau gimana lagi, sudah nggak ada pilihan lain. Walaupun pada awalnya ketua kelas yang baru itu berlagak kayak Alice, merintah ini itu, ngelarang ini itu, tapi pada akhirnya dia bosan dan jadi anak yang malas lagi. Dia nggak bisa jadi kayak Alice. Nggak ada satu pun yang bisa.

Alice ketua kelas terbaik kami, sampai kapan pun nggak ada yang bisa gantiin dia.

***

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang