Dear Diary.
Seharian ini, Alice aneh banget. Sejak pagi dia murung terus, nggak banyak ngomong. Waktu jam makan siang pun, dia lebih sering ngelamun ngelihat ke luar jendela. Doo sama Dee juga ngerasa agak aneh waktu lihat Alice yang begitu. Pasti ada yang salah, pikirku. Makanya aku tanya ke dia.
“Kamu kenapa, Alice?”
Alice nggak ngejawab. Dia diam, geleng-geleng. “Nggak kenapa-kenapa, kok,” jawabnya, tapi aku tahu dia bohong, ekspresi dan senyum sedih yang dia buat mengatakan yang sebaliknya.
“Orang tuamu bertengkar lagi?” aku menebak. Nggak tahu kenapa, aku ngarasa jawabannya iya.
Minggu lalu aku sempat main ke rumah Alice. Awalnya sih biasa saja. Mama Alice tersenyum dan menyapa sewaktu aku mengucap salam, masuk ke dalam rumah. Ia nawarin aku beberapa camilan yang ada di toples di atas meja ruang tamu, aku ambil satu camilan yang bentuknya mirip bintang, kecil, ada semacam gula di tengahnya. Rasanya nggak terlalu istimewa, tapi aku bilang enak di depan Mamanya Alice itu. Ia tersenyum dan berterima kasih setelah mendengarnya.
Aku sama Alice naik ke lantai dua, ke kamarnya yang ada di sisi samping dekat tangga. Kamar Alice bagus banget. Boneka sama mainannya nggak banyak, tapi ada perabot sama barang-barang yang lucu, kayak contohnya, rak buku. Rak buku Alice besar banget, kayak lemari baju Mamaku, tapi warnanya merah muda cerah dan kelihatan baru. Ada banyak buku pastinya, buku pelajaran, buku cerita dongeng yang kata Alice sering dibacain Mamanya semasa Alice kecil, buku gambar, partitur musik, sampai album foto juga ada.
Tempat tidur Alice juga bagus. Rapi. Bantal sama selimutnya tertata. Alice bilang, dia sendiri yang ngerapihin tempat tidurnya sebelum berangkat sekolah. “Mama bakal marah kalau kamarnya berantakan,” kata Alice. “Kesel banget deh, padahal kan sudah ada pembantu. Tapi Mama malah bilang kalau aku harus bisa ngerjain semuanya sendiri.”
Setelah ngoceh begitu, tiba-tiba ada suara-suara nggak enak dari bawah. Mamanya Alice bicara dengan nada penuh emosi dengan seseorang di telepon. Alice dan aku yang penasaran sengaja mengintip, menguping dari atas anak tangga. Aku nggak bisa lihat wajahnya, tapi aku tahu wanita itu lagi marah. Pundaknya menegang, tangannya bergerak ngebentuk gestur-gestur orang minta penjelasan. Kata yang keluar dari mulutnya terlalu cepat, suaranya juga tidak terlalu keras. Aku nggak terlalu bisa mendengarnya.
“Palingan juga lagi telponan sama Papa,” Alice memberitahuku. “Biarkan saja.” Dia lalu masuk lagi ke kamarnya, kembali membolak-balik buku, mengerjakan PR.
Kalau diingat-ingat, aku juga nggak pernah ketemu sama Papanya Alice itu. Kecuali dari foto keluarga yang terpajang di ruang tengah, aku beneran nggak ngerti gimana sosoknya, gimana suaranya, gimana interaksi pria itu dengan Alice, anaknya sendiri.
Dari respons Alice sewaktu mendengar pertengkaran Ibunya di telepon, kupikir Mama sama Papa Alice memang sedikit nggak akur akhir-akhir ini.
Hari ini kelihatannya juga begitu.
“Mau mampir ke rumahku?” aku nawarin, biar Alice nggak sedih. “Aku kemarin baru beli puzzle baru."
Tapi, Alice menolak. Dia menggeleng, pelan, sama sekali nggak terlihat bersemangat.
Aku nggak ngerti lagi. Kenapa orang tua Alice itu bertengkar. Padahal mereka punya semuanya. Mereka punya uang yang banyak, rumah bagus, dan juga mereka punya Alice. Kukira hidup mereka itu sudah sempurna.
Seperti di dalam negeri impian, Wonderland.
XOXO.
Erika
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...