Saya bekerja dan bekerja dan bekerja. Rutinitas harian saya tidak terlalu banyak variasi. Bangun tidur, mandi, sikat gigi, sarapan dengan roti isi atau makanan sisa semalam yang sudah saya hangatkan lagi, pergi ke kantor, menelepon beberapa klien, memastikan ini-itu, makan siang di kedai seberang jalan bersama Emma dan rekan kerja yang lain, kembali ke kantor lagi, ini-itu, ini-itu, sampai akhirnya saya pulang, membawa makanan seperti pizza atau hamburger atau bahan mentah dari supermarket yang bisa saya masak di rumah, makan malam, tidur, kembali ke pagi bangun tidur. Bukan kehidupan yang buruk, saya rasa. Setidaknya, lebih baik daripada kehidupan saya sewaktu jadi pelayan dulu.
Dan lagi, setelah mendapat gosip kalau saya akan segera dipromosikan, saya benar-benar jadi tidak sabar.
Hari itu saya, Emma, dan pak HRD diundang ke ruang direktur. Pak Redheart ada di sana, duduk di kursi bosnya yang punya sandaran tinggi dan terlihat empuk seperti baru. Di depan mejanya ada tiga kursi kecil yang sudah disiapkan sebelumnya. Saya duduk di tengah, Emma dan pak HRD duduk di kanan-kiri saya.
Ruangan itu sangat sunyi, membuat saya tidak bisa fokus. Ada lukisan panorama pedesaan di dinding, di sebelah jam berbentuk hati. Di depan saya, di meja, tergeletak beberapa barang. Laptop keluaran tahun kemarin yang masih terlihat bagus, gelas kopi berwarna kopi, tempat pensil, berkas-berkas yang tertumpuk. Foto istrinya? Seharusnya foto istrinya ada di meja itu, tapi setelah saya lihat-lihat, memang tidak ada.
Lucunya, ketika saya berhenti mengamati sekeliling, saya baru sadar Pak Redheart dari tadi menatap saya. Saya bisa melihat alisnya yang sedikit terangkat, pandangan mata yang menusuk saya, juga bibirnya yang tersenyum miring. Saya pikir, pria itu pasti akan memarahi saya karena celingukan tanpa izin seperti pencuri. Tapi tidak.
Pak Redheart itu malah tertawa, lalu bertanya, “Apa yang kau cari?”
“Tidak,” jawab saya, tiba-tiba diserang rasa canggung. “Tidak ada.”
“Ms. Whiterabbit, kau punya rasa penasaran yang tinggi, ya.”
“Maaf, Pak,” Emma menyahut, menahan senyum malu, “Jeane memang seperti itu.”
“Tidak apa-apa,” kata Pak Redheart. “Saya suka.”
Untuk sesaat, kami saling bertatapan. Emma bilang muka saya waktu itu memerah, tapi saya tidak pernah tahu semerah apa. Yang saya perhatikan hanya sorot penuh perhatian dari pria di depan saya, senyum gelinya, gelengan kepalanya. Seluruh dunia saya seperti ada pada bayangan pak Redheart.
Kami membicarakan tentang kenaikan jabatan saya. Sales supervisor sebelumnya menikah dengan laki-laki dari luar negeri, ia sudah mengajukan resign dari kantor dengan alasan akan ikut suaminya pulang ke negaranya. Saya tidak tahu kenapa saya yang dipilih untuk menggantikannya, padahal masih ada rekan-rekan kerja saya yang lebih senior dan saya yakin lebih berpengalaman.
“Mungkin karena kamu cantik, Jeane.” Emma tertawa, menggoda saya.
“Karena Jeane itu rajin dan bisa diandalkan,” Pak HRD membenarkan. “Saya yang merekomendasikan dia untuk naik jabatan.”
Percakapan hari itu penuh dengan cerita masa awal-awal saya bekerja. Saya tidak mungkin menuliskan semuanya di diary ini, lagi pula saya juga tidak terlalu ingat. Ada Emma yang menceritakan betapa susahnya saya menyusun CV, saya yang kesulitan mencari letak toilet kantor. Lalu Pak HRD yang mengulang kembali masa interview saya, hal-hal yang membuatnya mau menerima saya bekerja di sini. Banyak basa-basi yang saya lupakan. Namun yang satu ini saya tidak akan pernah lupa.
Setelah obrolan itu, Pak Redheart mengajak kami untuk pergi makan-makan di semacam restoran. Hitung-hitung sebagai perayaan, katanya. Juga sebagai perayaan atas pernikahan sales supervisor yang lama. Tentu saja, saya tidak bisa menolak, begitu juga dengan Emma dan Pak HRD.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...