Bintang Utama 7

62 23 1
                                    

Si kembar yang pertama kali menemukan mereka.

Waktu itu pertunjukan debat bahasa inggris kelas 5A sudah berakhir, mereka sudah turun dari panggung. Namun, Erika dan Alice belum kembali.

Bu Diana bertanya-tanya apa yang terjadi, kenapa anak-anak murid saya tidak segera naik ke atas panggung.

Saya menjawab dengan jujur, sesuai dengan apa yang saya ketahui. Pemeran utamanya, Erika, mendadak ingin buang air kecil, dan Alice, pengiring musiknya, pergi menemani gadis itu ke toilet. Saya berharap Bu Diana bisa mengerti. Saya memintanya untuk bersabar sebentar lagi, lagi pula, sudah cukup lama sejak Alice dan Erika meminta izin tadi. Seharusnya mereka akan datang dua atau tiga menit kemudian.

Akan tetapi, mereka tidak kunjung datang.

Saya mengintip dari balik tirai. Banyak penonton, orang tua murid yang menunggu. Mereka berbisik-bisik, kelihatan sudah tidak sabar, dan saya mulai mendapatkan firasat yang tidak enak.

“Coba kalian lihat di toilet,” saya memerintahkan si kembar. “Cek di sana, apa Erika sama Alice masih belum selesai buang air.”

Si kembar yang pada dasar memang kelihatan sudah bosan menunggu pun mengangguk, mengerti. Mereka berlari, keluar dari pintu belakang aula. Salah satu dari mereka berseru, “Siapa yang bisa nemuin Alice sama Erika lebih dulu, dia yang menang.” Lalu suara langkah sepatu mereka terdengar bersahutan cepat di lorong.

Saya ingin berteriak, menyuruh mereka agar tidak berlarian di koridor yang lumayan ramai itu, tapi saya pikir percuma. Lagi pula, saya juga ingin Alice dan Erika kembali dengan cepat.

Akan tetapi, saya tidak menyangka harus menunggu lama sampai salah satu dari si kembar itu muncul dari balik pintu, menangis, berlari sambil meneriakkan nama saya. “Bu Andrea, Bu Andrea!”

Anak itu terengah-engah, berkeringat. Saya berjongkok untuk menyamakan tinggi kami berdua. Saya tatap matanya, bertanya, “Kenapa? Ada apa?”

“Erika, Erika, Erika....”

“Erika kenapa?”

“Erika. Di toilet belakang. Di toilet belakang.”

Saya tidak tahu kenapa Alice dan Erika pergi ke toilet belakang sekolah, padahal ada beberapa toilet yang lebih dekat dari sini. Toilet dan ruang ganti di dekat lapangan depan, misalnya. Tinggal berjalan melewati lorong kelas satu, berbelok sedikit, sudah sampai. Atau toilet yang ada di lantai dua, dekat perpustakaan, juga ada toilet di sana, tinggal naik tangga, melewati lorong kelas lima, lalu sudah.

Toilet belakang sekolah terlalu jauh untuk mereka yang sedang terburu-buru. Alice dan Erika tidak seharusnya berada di sana.

“Erika. Erika berdarah.”

Berdarah, dia bilang? Saya tidak habis pikir. Awalnya saya mengira Erika hanya mengalami menstruasi pertamanya. Saya berusaha untuk berpikir positif, tidak memikirkan hal yang aneh-aneh. Untuk gadis seusia Erika, saya rasa cukup wajar baginya untuk mulai mengalami hal seperti itu.

Sambil berpikir seperti itu, saya berlari, lebih tepatnya berjalan dengan langkah yang cepat, menuju toilet belakang. Beberapa anak murid saya yang penasaran juga ikut, mengikuti di belakang saya. Kalau waktu itu saya tahu kejadian yang sebenarnya, mungkin saya tidak akan mengizinkan anak-anak murid saya itu untuk ikut, dan meminta mereka menunggu di belakang panggung saja.

“Di mana Dee?” saya bertanya. Si kembar, Dee dan Doo, itu tadi pergi berdua, aneh rasanya kalau sekarang mereka berpisah.

“Dee tadi pergi ke ruang guru,” jawabnya, buru-buru mengikuti langkah saya.

“Kenapa tidak segera dibawa ke UKS?” Kalau hanya menstruasi, Alice setidaknya pasti bisa membantu, menuntun Erika ke UKS.

Doo tidak menjawab. Saya kira mereka hanya panik.

Akan tetapi, saya salah. Erika tidak menstruasi. Darah yang dikatakan Doo bukan darah haid. Lebih buruk. Jauh lebih buruk. Darah itu keluar dari kepala Erika, menggenang di lantai toilet seperti palet yang dipenuhi warna merah.

Mendadak lutut saya terasa lemas begitu melihatnya. Erika tergeletak dengan sorot mata kosong. Alice yang berada di depan pintu, duduk di tanah, memeluk lutut. Ada tongkat baseball yang berdarah di sisinya.

Refleks, saya bergerak memeluk Alice, menggendongnya sedikit menjauh dari tempat itu. Tubuh Alice gemetaran di pelukan saya, napasnya bergerak cepat, dan saya hampir bisa mendengar detak jantung anak itu yang berdentam-dentam. “Kenapa? Apa yang terjadi?” Saya tidak berniat mengajukan pertanyaan itu kepada Alice. Namun, pertanyaan itu keluar dengan sendirinya dari mulut saya.

Walaupun begitu, Alice sama sekali tidak menjawab. Dia terus diam, menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik bayangan poni. Membeku. Saya mengerti. Dia masih syok. Itu hal yang wajar. Tidak apa-apa.

Tidak lama kemudian, guru-guru yang lain mulai berdatangan, Dee ada bersama mereka. Saya menyuruh anak-anak murid saya untuk segera pergi, menyingkir, entah ke mana saja, termasuk si kembar itu. Sayangnya itu sia-sia. Anak-anak kelas 5B itu malah ada yang menangis, menjerit-jerit, memperpanik keadaan.

Bu Diana menutup mulutnya, matanya melotot tidak percaya ketika melihat ke dalam toilet. Wanita itu bertanya pada saya, pertanyaan-pertanyaan yang saya juga ingin tahu jawabannya.

“Telepon ambulans!” seru seorang guru laki-laki, suaranya pecah.

“Saya akan mengambil kotak P3K,” seorang guru yang biasanya bertugas di UKS mulai berlari.

"Apa harus telepon polisi?"

"Cepat beri tahu orang tua anak itu!”

“Saya saja!” saya mengajukan diri, entah kenapa, mungkin karena saya merasa punya tanggung jawab lebih akan tragedi itu.

Saya mulai berlari lagi, kembali ke aula. Saya cari Nyonya Hatcraft. Dia masih ada di tempat duduknya, di kursi tengah, di samping Nyonya Redheart. Saya menghampiri mereka dengan langkah cepat, memasang ekspresi wajah normal agar tidak menimbulkan kepanikan ke penonton lain yang ada di aula.

“Tolong, ikut saya.”

Bukan hanya kepada Nyonya Hatcraft, tapi untuk Nyonya Redheart juga. Saya pikir Alice membutuhkan ibunya agar bisa sedikit lebih tenang.

Mereka berdua mengikuti saya, mempercepat langkah. Saya terus menggumamkan kata maaf, dan wajar rasanya kalau mereka mulai bertanya-tanya.

Bagaimana cara saya mengatakannya?

Bagaimana saya bisa memberi tahu Nyonya Hatcraft bahwa putrinya, Erika, kemungkinan besar sudah tidak ada?

Tidak ada yang bisa saya katakan. Saya tetap diam, sampai mereka melihat sendiri apa yang ada di gedung belakang sekolah.

***

Entah mungkin ini hanya perasaan saya, tapi jujur, saat itu saya merasakan ada sesuatu yang ganjil.

Nyonya Hatcraft berlari, bersimpuh di lantai toilet, memeluk putrinya yang bersimbah darah. Wanita itu berteriak, meraung sekencang-kencangnya, seperti binatang buas. Sesaat, saya merasakan kesedihan yang mendalam. Saya memang belum berkeluarga dan punya anak, tapi saya bisa merasakan rasa kehilangan yang sama.

Saya menangis. Namun, ketika air saya jatuh, saya baru menyadari sesuatu.

Nyonya Hatcraft tidak menangis sama sekali. Tidak ada yang air mata yang keluar dari pelupuk mata wanita itu. Dia hanya berteriak, menjerit untuk menunjukkan kesedihannya. Dalam arti lain, saya tahu, kesedihan itu palsu. Nyonya Hatcraft sedang berpura-pura. Dia Berbohong. Saya melihatnya.

Wanita itu sedang berakting.

***

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang