“Apa tidak ada guru kesenian lain di sekolah ini?” tanya Anda?
Tentu saja ada. Akan tetapi, saya tidak terlalu suka padanya. Namanya Bu Diana, guru senior yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Dia mengajar kesenian di kelas melukis dan sering kali mengisi posisi wali kelas untuk kelas lima dan enam. Tipe guru cerewet yang sering menggunakan cara pembelajaran kuno dan membosankan. Saya rasa, banyak murid yang juga tidak suka padanya. Tolong jangan tulis ini di laporan wawancara Anda.
“Bu Andrea ini padahal cantik, lho.” Bu Diana pernah berkata seperti itu kepada saya, sambil menyisir rambutnya yang sudah beruban. “Sayang sekali kalau belum punya pasangan.”
Ketika topik obrolan yang seperti itu muncul, saya hanya bisa tersenyum.
“Kalau perempuan sudah masuk umur empat puluhan, bakal lebih susah dapat pasangan lho, Bu.” Kemudian wanita itu mulai menceritakan kembali kisah-kisah masa mudanya, bagaimana dia bertemu dengan suaminya, kencannya di sebuah restoran bintang lima, pernikahan dan gaun yang dia pakai waktu itu. Lalu, tentang kehamilannya, putrinya yang lucu, yang tumbuh menjadi wanita muda yang cantiknya mirip seperti saya, bla bla bla bla. Saya senang ketika mengetahui guru itu, Bu Diana, akan segera pensiun.
Saya masih berumur tiga puluh lima tahun, belum menikah, bukan berarti saya tidak mau menikah. Saya sempat mengikuti beberapa acara kencan buta, tapi tidak ada satu pun pria yang cocok dengan saya. Setiap kali saya membicarakan tentang piano, mozart, atau konser opera, para pria itu langsung menghindar dan menjauhi saya.
“Bagaimana dengan teman-teman semasa sekolah?” tanya Anda?
Tentu saja, saya punya teman laki-laki di masa itu. Namun, sekarang mereka semua sudah berkeluarga. Tunggu dulu... jangan menatap saya dengan sorot mata seperti itu, dong. Saya tidak mau dikasihani hanya karena masalah jodoh. Lagi pula, saya masih yakin di luar sana masih ada satu pria yang memang ditakdirkan hanya untuk saya.
Tolong, kembali ke topik utama.
Saya bisa dibilang sedikit membenci Bu Diana. Akan tetapi, wanita itulah yang mungkin paling mengerti saya.
“Bu Andrea sama anak yang bernama Alice itu mirip, ya,” ujar Bu Diana, suatu hari di ruang guru saat jam makan siang.
“Ah, anak yang pakai bando hitam itu, ya?” sahut seorang guru bertubuh gempal. Ia memasukkan sesendok makanan—saya lupa apa—ke mulut, lalu menelannya dengan terburu-buru. “Kemarin saya lihat anak itu menyelinap masuk ke ruang musik, bareng sama teman perempuannya yang kelihatan selalu murung itu.”
“Alice sama Erika menyelinap ke ruang musik?” Saya sedikit tidak percaya. “Lalu?”
“Sudah pasti saya menegurnya. Itu bukan tempat untuk bermain. Bisa gawat kan kalau barang-barang dan alat-alat musik yang ada di sana rusak,” guru gempal itu menjelaskan. “Walaupun Alice bilang, dia hanya ingin menunjukkan dan mencoba keyboard yang ada di sana itu demi temannya, saya tetap tidak memperbolehkannya.”
Bu Diana tertawa kecil, “Menyelinap untuk bermain keyboard? Anak bernama Alice itu sepertinya memang benar-benar suka musik, ya.” Wanita itu membuka botol air minumnya, menenggaknya sebagian, sebelum akhirnya menanyakan hal konyol, “Apa Bu Andrea juga pernah menyelinap ke ruang musik seperti itu juga waktu sekolah dulu?”
Saya menggeleng, menahan senyum. “Tidak pernah,” jawab saya, bohong, tapi tidak sepenuhnya bohong.
Saya tidak pernah menyelinap ke ruang musik sekolah. Akan tetapi, saya pernah—bukan menyelinap—masuk seenaknya sendiri ke toko alat musik yang... Anda tahu... yang ada di mal-mal itu.
Waktu itu saya masih kecil, kurang lebih seumuran dengan Alice. Ibu saya mengajak saya pergi ke mal untuk berbelanja. Kami membeli baju, kemeja, sepatu, daging dan sayur untuk makan malam, melewati lorong-lorong, hingga saya melihat toko itu.
Ayah saya pernah bergabung dengan grup band lama yang tidak terkenal. Ayah memainkan gitar. Saya pernah melihat foto masa muda Ayah di album foto keluarga, bersama dengan teman-teman band-nya di semacam studio rekaman. Ayah dan teman-temannya ada di posisi, bergaya di depan alat musik masing-masing.
Toko itu punya gitar listrik yang sama seperti punya Ayah, di gantung dengan cantik, berderet dengan banyak gitar listrik lainnya, penuh warna, berbagai tipe bentuk dan model. Saya tertarik, dan kebetulan waktu itu Ibu tidak menggandeng tangan saya. Anda mungkin bisa menebak apa yang akan terjadi. Kaki saya bergerak sendiri, membawa saya masuk ke dalam toko itu. Menyelinap? Mungkin bisa dibilang seperti itu.
Awalnya, saya hanya ingin melihat gitar. Namun, saya baru sadar ada yang lebih menarik. Di ujung rak tempat gitar dan bas berjejer, ada piano hitam besar steinway and son, yang berkilauan. Itu seperti cinta pada pandangan pertama. Saya sering melihat piano yang muncul di film-film atau kartun di TV, tapi saya tidak pernah melihatnya langsung dengan mata kepala saya sendiri. Piano itu berdiam di sudut, seolah sedang menyendiri, seolah sedang menunggu saya untuk menghampiri dan menyapanya pertama kali.
“Ada peri musik yang hidup di dalam piano itu,” seorang pria tua yang kelihatannya pemilik toko itu berkata. Entah sejak kapan ia berdiri di belakang saya.
Tangan saya yang tadinya terulur ingin menyentuh piano itu pun berhenti, kembali ke sisi badan.
Pria tua itu tertawa lepas setelah melihat ekspresi canggung yang saya buat. Ia melangkah ke depan piano, duduk di kursinya, lalu membuka penutup tuts. Deretan hitam putih yang sempurna itu seperti menghipnotis saya. Saya tidak bisa berhenti menganga ketika melihatnya, apalagi, sewaktu pria itu mulai memainkan nada-nada.
Rasanya seperti berada di taman bunga. Melodi bermekaran, kelopaknya jatuh, terbawa angin, dan saya bisa melihat sesosok peri kecil, entah itu peri bunga, atau peri musik. Bagaimana caranya peri itu menari, seirama dengan nada? Bagaimana bisa delapan puluh delapan tuts itu menghasilkan suara yang berbeda? Saya ingin masuk ke dunianya. Saya ingin masuk ke dalam dunia musik, pikir saya.
Entah berapa lama saya berada di toko itu. Ketika Ibu menemukan saya, dia sangat marah. “Jangan keluyuran seenaknya,” keluhnya. “Ibu capek nyari kamu ke mana-mana, tahu!”
Malamnya, di rumah saya bercerita kepada ayah dan ibu. Saya ingin belajar main piano. Saya ingin bermusik seperti yang Ayah lakukan sewaktu ia muda dulu. Saya sangat ingin, dan mereka berdua, orang tua saya, tahu betapa keras kepalanya saya. Mereka berunding sebentar, lalu minggu depannya, Ayah membelikan saya keyboard, Ayah bilang, dia akan mengizinkan saya untuk melakukan apa pun yang saya suka.
“Kalau Bu Andrea nantinya punya anak, pasti mirip seperti Alice.”
Bukan hanya membangunkan lamunan saya, pernyataan Bu Diana itu juga sukses membuat saya hampir tersedak.
“Iya, iya. Pasti mirip,” timpal guru-guru yang lain sambil mengangguk-angguk.
Saya terbatuk, minum air untuk meredakan batuknya, tapi sia-sia. Saya tidak pernah membayangkan akan punya seorang anak nantinya. Seorang putri. Putri saya sendiri. Apa benar putri saya nantinya akan mirip seperti Alice? Alice yang sudah mengenal Beethoven di usia enam tahun. Alice yang menyelinap ke ruang musik hanya untuk menunjukkan kemampuan keyboard gadis itu di hadapan temannya. Kalau dipikir-pikir, menyenangkan juga kalau punya putri seperti Alice. Kami bisa main musik bersama di rumah, bisa membicarakan tentang komposer dan karya-karya mereka saat makan malam. Betapa indahnya dunia saya seandainya itu benar-benar jadi kenyataan.
Namun, tidak. Alice bukan putri saya. Bukan anak yang keluar dari kandungan saya. Alice, seharusnya, cuma anak murid saya. Tugas saya hanya mengajarinya ini itu ketika di sekolah. Tidak lebih.
Alice sama seperti anak-anak murid saya yang lainnya.
Sebagai seorang guru, saya harus bersikap adil, bukan?
Sayangnya, saya tidak bisa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...