Tamu Utama 4

66 25 0
                                    

“Apa Erika benar-benar senang berteman dengan Alice?” tanya Anda?

Saya tidak tahu apa maksud Anda menanyakan hal seperti itu. Apa Anda menemukan sesuatu yang janggal dari cerita saya? atau jangan-jangan, itu cuma perasaan Anda?

Saya yakin itu cuma perasaan Anda, sih.

Erika senang berteman dengan Alice. Sangat senang. Bukannya tadi saya bilang kalau Erika di dalam buku hariannya menulis kalau Alice itu sahabat terbaiknya, ya? Apa Anda sudah lupa? Maaf, tapi dari sorot mata Anda, Anda kelihatan seperti mencurigai putri saya, bukannya Alice yang sudah jelas-jelas membunuh... ah, saya tahu apa yang Anda pikirkan.

Anda berpikir kalau Erika cemburu pada Alice, kan?

Saya memperlakukan Alice jauh lebih baik daripada Erika, Anda berpikir seperti itu? Lalu, membayangkan Erika yang diliputi rasa iri, bertengkar dengan Alice, dan berakhir menjadi tragedi yang menewaskan putri saya itu.

Kalau Anda berasumsi seperti itu, Anda salah besar.

Tidak ada alasan bagi Erika untuk cemburu. Sebagai Ibu, saya sangat menyayanginya melebihi apa pun. Di saat saya memanjakan Alice dengan kue dan camilan, saya yakin Erika tidak merasa keberatan.

Erika tidak terlalu suka kue. Sudah bosan, bisa dibilang. Putri saya itu sejak kecil sudah dekat dengan dunia yang penuh adonan tepung dan telur. Dia cukup sering membantu saya di dapur, menjadi pencicip pertama kue-kue saya yang baru matang, dan sama seperti Alice, ketika Erika menginginkan ku, saya tidak pernah keberatan untuk memberikan satu atau dua untuknya.

Saya tegaskan sekali lagi, Erika tidak mungkin iri karena saya memberi banyak kue kepada Alice. Erika bukan anak yang seperti itu. Dia sangat senang ketika Alice berkunjung ke rumah. Saya melihatnya sendiri, walaupun tidak terlalu sering. Ketika mereka bermain di ruang tengah, saya bisa merasakan aura pertemanan yang menyenangkan dari mereka berdua.

Ditambah, saat Alice mengundang Erika untuk bermain di rumahnya, putri kesayangan saya itu dengan semangat menerima ajakannya.

“Boleh kan, Ma?” Erika meminta izin ke saya. “Sepulang sekolah besok, aku mau main ke rumah Alice. Tenang saja, aku bisa jaga diri, kok. Sopirnya Alice akan mengantarku pulang.”

Sebagai seorang Ibu, tentu saja saya sempat merasa agak khawatir jika membiarkan Erika jauh dari pengawasan saya. Berkunjung ke rumah temannya? Saya sedikit ragu. Selain ke rumah saudara di desa, seingat saya Erika tidak pernah berkunjung ke rumah orang lain sebelumnya. Apa tidak apa-apa?

“Nggak jauh kok, Ma” jawab putri saya itu. “Aku kan sudah besar. Boleh, ya? Ya, ya, ya?”

“Apa tidak merepotkan?”

“Nggak, Ma, Alice yang ngajak.”

Sebenarnya tidak ada salahnya juga membiarkan Erika bermain ke rumah Alice. Saya pernah beberapa kali bertemu dengan Nyonya Redheart—ibunya Alice—ketika ada acara sekolah seperti saat rapat wali murid, pengambilan rapor akhir semester, pentas seni akhir tahun, juga pesta natal. Ah iya, pertama kali saya berkenalan dengan Nyonya Redheart, waktu itu ada acara bazar amal yang diadakan di lapangan sekolah. Anak-anak masih kelas satu.

“Kenalin, Ma.” Alice memperkenalkan ibunya itu kepada Erika. “Ini Erika, temen sebangku aku,” lalu kepada saya, “Di sebelahnya, itu Mamanya Erika. Itu lho yang sempat menawariku es krim waktu awal aku masuk sekolah ini. Aku pernah cerita, kan?”

Sebagai Nyonya keluarga Redheart, wanita itu tampil cukup sederhana. Saya sempat berpikir kalau ia akan lebih glamor dengan banyak perhiasan, tapi ternyata tidak. Nyonya Redheart waktu itu memakai blus berwarna putih tulang, rok selutut yang sering saya lihat dipakai oleh wanita kantoran pada umumnya, make up yang tidak terlalu kentara, lalu perhiasannya... ia hanya memakai cincin nikah—emas, pastinya, dan sedikit berlian, mungkin, saya tidak punya kesempatan melihat cincin itu dengan jelas—dan juga jam tangan, yang cukup classy.

“Senang bertemu dengan Anda,” ujar Nyonya Redheart, mengulurkan tangan. “Alice bercerita banyak tentang putri Anda, Erika.”

Saya menjabat tangannya dengan sedikit ragu dan malu-malu. “Alice cukup baik pada putri saya. Saya senang mereka bisa berteman,” saya mengucapkannya terlalu terburu-buru. Bodoh rasanya, saya membiarkan rasa gugup mengusai diri saya.

Nyonya Redheart tertawa, tapi tidak seburuk perkiraan saya, yang keluar darinya termasuk jenis tawa yang ramah. “Saya juga senang,” katanya, “Alice bisa punya teman seperti Erika.”

Kami mengobrol banyak setelah itu, tentang Erika dan Alice, kebiasaan masing-masing dari mereka ketika di rumah, jam tidur mereka, cara mendidik, pola makan, sampai apa rencana masing-masing dari kami untuk pendidikan anak-anak ke depannya. Nyonya Redheart orang yang baik. Ia murah senyum, pandai bergaul, sama seperti Alice, tidak terlalu humoris, tapi obrolan dengannya saya rasa cukup seru. Ia sosok ibu yang ideal. Sempurna. Setidaknya waktu itu saya masih berpikir seperti itu.

“Boleh ya, Ma, aku main ke rumah Alice. Janji, aku nggak bakal nakal.”

Setelah helaan napas panjang, saya akhirnya berkata iya, mengizinkan putri saya itu untuk pergi. Saya yakin Nyonya Redheart tidak akan keberatan dengan tamu kecil seperti Erika. Saya tahu dari nada bicaranya, wanita itu cukup sabar dan penyayang, lagi pula mereka hanya akan bermain bersama. Seharusnya tidak terjadi apa-apa.

Memangnya hal terburuk apa yang akan terjadi hanya karena berkunjung ke rumah seorang teman?

***

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang