Dear diary.
Hari ini serem banget!
Alice bilang kemarin malam dia nonton film horor. Papanya Alice masih kerja, jadi dia nonton cuma berdua sama mamanya. Sambil nunggu jam makan malam juga gitu, deh.
Nah, Alice cerita, film horornya itu tentang sekolah angker, yang banyak hantunya sama hal-hal aneh. Kayak contohnya, ada patung kerangka manusia yang bisa jalan sendiri, lukisan kepala sekolah lama yang bisa nangis, ngeluarin air mata darah. Terus ada juga kran air di toilet yang bisa menyala sendiri waktu malam, buku di perpustakaan yang melayang-layang. Nyeremin banget, kan? Aku yang lagi makan siang sampai merinding dengarnya.
Eh, tiba-tiba Dee sama Doo yang waktu itu juga dengerin cerita Alice malah ngomong kayak gini, "Gedung lama yang ada di belakang sekolah itu juga angker, lho."
"Katanya dulu ada kebakaran, terus ada yang meninggal."
"Terus katanya juga sering ada penampakan bayangan hitam."
"Duh, jangan nakutin gitu, dong." Kurasain tanganku mulai gemetaran. Aku beringsut, deketin Alice yang serius dengerin mereka.
"Kalian bohong, ya?" Alice nggak percaya. "Mana ada yang begituan. Hantu itu cuma ada di film-film."
"Ih, beneran, tahu!" Dee bersikeras. Doo juga. "Ingat nggak, waktu kita disuruh kerja bakti bersihin kebun belakang bulan lalu?"
"Ingat, ingat. Memangnya kenapa?"
"Waktu itu aku sempat lihat, ada kayak orang yang ngintip dari balik pintu yang ada di...." Aku nggak mau dengar. Aku nggak mau dengar. Aku nutupin kuping pakai kedua tanganku.
"Kalian ini, ya!" samar-samar aku dengar Alice teriak. "Lihat, Erika jadi takut, tuh."
Aku noleh ke Alice. Dia nepuk-nepuk punggungku sama kayak Mama yang nenangin aku waktu aku habis mimpi buruk.
"Hantu itu nggak ada. Itu cuma cerita bohongan yang dibuat untuk nakutin anak-anak kayak kita doang."
"Eeeeh, tapi aku nggak bohong, kok."
"Diam, Dee. Kalau Erika nangis, kamu nggak bakal aku maafin!"
Mereka saling melotot. Aku jadi makin bingung.
"Kalau nggak percaya," kata Dee, "coba lihat saja sendiri sana, di gedung lama itu. Palingan juga nggak berani."
"Oke." Alice mengangguk, nerima tantangannya. "Bakal kubuktiin, kalau hantu itu nggak ada. Hantu itu cuma ada di film horor."
Terus, sepulang sekolah hari itu kami pergi ke gedung lama itu, ngelewatin gudang olahraga, toilet yang jarang dipakai dan kebun belakang. Aku sebenarnya takut banget, nggak mau ikut. Tapi Alice kalau ditinggal sendirian rasanya kasihan. Walaupun masih ada si kembar Dee dan Doo, kurasa aku harus nemenin Alice, toh dia ngelakuin ini juga demi aku.
Aku ngeberaniin diri masuk ke gedung itu. Alice yang jalan paling depan, aku di tengah, Dee sama Doo yang di belakang.
Untungnya, siang itu cerah. Ada cahaya masuk, ngelewatin lubang-lubang udara yang ada di atas jendela. Nggak terlalu gelap, tapi tetap seram. Sunyi. Langkah kaki kami kedengaran, menggema di lorong panjang yang aku nggak tahu ke mana, ke tempat seperti ini apa yang ada di ujungnya. Debu-debu beterbangan, nimbulin bau yang nggak enak dan bikin napas agak sesak. Aku batuk-batuk, Alice juga.
Ada banyak sarang laba-laba, bergantungan di langit-langit. Seram banget. Beneran kayak yang ada di rumah-rumah angker di film horor. Nggak bisa bayangin deh, kalau misalnya ada laba-laba besar yang jatuh ke kepalaku, terus jalan, masuk ke dalam seragam, iiiiihhh! Jangan dibayangin, jangan dibayangin!
Tapi akhirnya waktu keluar kami lega banget. Nggak ada hantu. Nggak ada hal-hal aneh yang terjadi. Kami bahkan sempat masuk ke salah satu ruang kelas terbengkalai yang ada di sana, duduk di meja yang sudah kami bersihin sedikit pakai tangan kosong.
"Tuh kan, nggak ada apa-apa," kata Alice, mendongak puas.
Dee sama Doo merengut, tapi nggak bisa nutupin ekspresi takut yang ada di wajah mereka. Mereka noleh kanan kiri kayak orang lagi gelisah. "Ayo keluar."
"Capek ah, duduk sebentar dulu. Di. Si. Ni."
Alice memang memang sudah ngebuktiin kalau nggak ada apa-apa di tempat itu. Belum, belum ada apa-apa. Belum ada sesuatu yang nyeremin kayak hantu atau kejadian aneh. Belum, bukan berarti nggak ada. Aku nggak ngerti kenapa Dee sama Doo itu ketakutan, tapi nggak tahu kenapa, samar-samar aku juga bisa ngerasain ada sesuatu yang aneh. Ada yang nggak wajar, waktu aku mikir begitu, rasanya aku juga ingin cepat-cepat keluar.
"Ayo keluar, Alice," ajakku. "Aku takut."
Aku ngebayangin ekspresi simpati Alice yang biasanya, tapi nggak. Alice malah tertawa geli. "Takut? Takut kenapa sih, Erika? Nggak ada apa-apa kan di sini?"
"Ayolah, Alice." Kugoyang-goyangin lengan sahabatku itu, memohon. "Aku mau keluar, aku... aku...," sudah nggak tahan berada di tempat ini.
"Ayo, Alice." Dee berusaha untuk ngebujuk. Doo juga, "Lihat, Erika sudah mau nangis tuh, mau keluar."
Lalu, tiba-tiba Alice menoleh. Mata bulatnya menatap, tajam, terpusat di satu titik kecil di tengah mataku. "E. Ri. Ka, bisa kamu bayangin kalau kita tinggal di tempat kayak gini selamanya?" Dia tersenyum ganjil, menggeleng, ngebuat aku makin bingung, nggak ngerti. "Pasti menyenangkan."
"Oi, Alice!" Doo yang sering berolahraga itu menarik lengan Alice hingga dia terangkat, berdiri dari meja yang didudukinya.
Sesaat, aku nggak bisa lihat mata Alice. Matanya tertutup bayangan poni. Tapi nggak lama kemudian, dia mendongak, tersenyum simpul ke arah kami semua.
"Ber. Can. Da," katanya. "Ayo balik."
Sumpah, Alice waktu itu nyeremin banget. Kuharap Alice nggak bercanda kayak gitu lagi.
XOXO.
Erika
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...