Bagaimana perasaan saya sewaktu saya tahu Erika sudah tidak ada, terbunuh oleh Alice?
Kenapa Anda bertanya seperti itu? Apa Anda mencurigai saya?
Hmm, jadi begitu. Dari cerita saya sebelumnya, Anda mengira kalau saya benci dengan Erika.
Saya... saya tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
Memang, saya tidak terlalu suka pada Erika. Sejak ibu anak itu meminta saya untuk menyerahkan peran Cinderella itu, bisa dibilang, saya sedikit sebal. Akan tetapi, saya tidak benci. Saya tetap bersedih dan menyayangkan kematian Erika. Mau bagaimanapun Erika tetap anak murid saya yang pernah saya didik. Erika juga teman sebangku dan juga sahabat dekat Alice.
***
Kenapa tubuh Erika ditemukan berdarah-darah di toilet belakang sekolah?
Sayangnya, bukan saya orang yang pertama kali menemukan dan menyadari keberadaan Alice dan Erika di sana. Jadi, saya tidak bisa memberi banyak kesaksian.
Pagi itu cerah, cenderung panas, semuanya terlihat lancar di kelas 5B, kelas Alice dan Erika. Mereka sudah menyiapkan semuanya. Properti seperti labu, gambar istana, kereta kuda palsu, pohon dan semak-semak kardus pun sudah dibawa ke belakang panggung. Kostum-kostum yang akan mereka pakai juga sudah siap.
Saya lihat masih ada beberapa anak yang berlatih beberapa dialog di sudut ruangan, Erika yang memakai baju pelayan rumah kumal ala Cinderella yang belum terkena sihir ibu peri itu juga ada di sana, rambutnya digelung rapi, dan bibirnya dipoles lipstik merah muda transparan. Saya masih tidak yakin dengan kemampuan Erika saat itu, tapi tidak ada yang bisa saya lakukan lagi. Saya hanya bisa percaya, mereka akan menampilkan yang terbaik, yang mereka mampu.
Di sudut ruangan yang lain, ada si kembar yang memakai baju rumahan saudara tiri, anak laki-laki yang berperan sebagai pangeran sedang mengelap mahkotanya dengan tisu, juga ada Raja dengan kostum jubah yang sedikit kebesaran. Anak-anak pengisi peran pohon terlihat lebih santai daripada yang lain.
Alice? Gadis itu ada di sebelah saya, membantu anak-anak lain yang kesulitan memakai kostum, sementara saya merias dan menata rambut mereka. Alice tampak cantik walaupun hanya memakai seragam sekolah biasa. Rambutnya yang panjang dia biarkan terurai. Saya ingin mengepangnya, tapi Alice tidak mau. Dia bilang, dia tidak suka rambutnya dikepang. Alasannya, nanti rontok dan susah melepas ikatannya. Dia lebih suka memakai bando seperti biasa, dan saya tidak punya alasan untuk melarang keinginannya.
Tidak ada yang berbeda dengan Alice hari itu. Dia masih ceria, penuh senyum, dan rasanya tidak mungkin gadis itu akan menjadi pembunuh.
“Kamu sudah hafal semua dialognya, kan?” Alice sempat bertanya pada Erika saat anak itu datang menghampiri.
Erika tersenyum lebar. “Sudah, dong.” Kemudian, dia menoleh ke arah saya, wajahnya berubah menjadi sedikit melankolis, dramatis. “’Lepaskan aku, Pangeran. Lonceng sudah berbunyi, tepat tengah malam, aku harus pergi.’ Benar seperti itu kan, Bu Andrea?”
Kalau saya benar-benar menuntut kesempurnaan, saya akan mengomeli Erika, menyuruhnya latihan sedikit lagi. Ekspresi wajahnya masih kurang, seharusnya dialog itu bernuansa menegangkan, tergesa-gesa karena terdesak waktu, tapi Erika sering kali memasang senyum geli saat memerankan adegan itu. Berulang kali saya peringatkan waktu latihan, masih sama saja. Mungkin memang hanya seperti itu saja kemampuan Erika.
“Sudah bagus,” komentar saya pada akhirnya. Saya tidak ingin berdebat atau marah-marah hari ini. “Tapi ingat, ekspresi. Ekspresinya harus kayak orang yang buru-buru, telat ke sekolah.”
Erika mengangguk paham, tapi saya tidak yakin kalau anak itu benar-benar sudah mengerti atau tidak. Kemudian, setelah tidak ada lagi komentar dari saya, anak itu menoleh ke Alice.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...