Cinderella 4

49 22 4
                                    

Beberapa minggu setelah saya pikir saya sudah melupakan semuanya, beberapa masalah lain mulai berdatangan. Tabungan saya sudah habis. Tidak ada makanan di dapur. Perhiasan saya sudah saya jual. Tidak ada yang tersisa selain tenaga dan pikiran saya yang menolak untuk menyerah.

Saya harus mencari pekerjaan baru, pikir saya. Saya tidak boleh terus bersedih dan malas-malasan. Lagi pula, perut saya masih belum terlalu membesar. Masih seperti wanita lajang pada umumnya. Yang artinya, masih ada kesempatan untuk melamar pekerjaan.

Pagi itu saya pun berjalan kaki mengelilingi kota. Saya memakai blazer dan rok selutut yang dulu sering saya pakai ke kantor. Saya merias wajah saya dengan kosmetik yang tersisa. Tidak terlalu buruk. Saya masih cantik, segar setelah mandi, dan tampak meyakinkan. Saya merasa seperti ulat yang keluar dari kepompong, keluar dari rumah. Kupu-kupu kecil yang akan terbang melihat dunia baru.

Namun, saya bukan kupu-kupu. Dan dunia baru yang saya lihat tidak lebih dari lubang dosa yang menjatuh saya jauh lebih ke dalam penyesalan.

Ketika sedang berkeliling, saya tidak sengaja melewati sekolah itu. Sekolah besar berarsitektur modern, yang terdiri dari tiga gedung dua lantai yang membentuk huruf U terbalik, taman dan lapangan di tengahnya. Saya melihat banyak orang dewasa dan anak yang berkeliling, seperti ada acara besar. Pentas seni. Alice, putri sulung Pak Redheart pasti ada di sana.

Walaupun saya tidak pernah bertemu dengan Alice, tapi saya bisa membayangkan. Buah jatuh tidak jauh dari pohon. Anak itu pasti sama seperti ayahnya. Sosok yang rupawan, putih bersih, hidup di rumah mewah penuh harta, dimanjakan. Alice yang lebih disayangi, lebih Pak Redheart cintai daripada saya. Daripada bayi yang ada di kandungan saya.

Seberapa istimewanya Alice itu?

Seberapa hebatnya anak itu sampai-sampai Pak Redheart tega meninggalkan saya.

Saya ingat, pria itu pernah bilang kalau Alice itu berada di kelas 5B. Jadi, saya masuk ke sekolah itu, melewati gerbang yang dijaga oleh dua orang satpam berbadan tinggi tegap. Saya pernah dengar kalau penjagaan di sekolah ini sangat ketat, tidak boleh ada sembarangan pengunjung di hari-hari biasa. Tapi, tampaknya hari ini pengecualian. Saya bisa masuk dengan mudah walaupun saya bukan orang tua murid di sini.

Begitu saja, saya masuk ke dalam gedung. Saya ingin masuk ke dalam aula, tempat itu sepertinya ramai. Dari luar, terlihat ada barisan-barisan bangku penonton yang hampir penuh. Panggung di hadapan mereka sedang menampilkan entah apa, mungkin pertunjukan debat, atau mungkin yang lain, saya tidak bisa fokus memperhatikan. Saya sedang dalam sikap waspada, memandang sekeliling, berharap tidak bertemu dengan Pak Redheart yang mungkin juga sedang menonton penampilan putrinya.

Saya tidak tahan berlama-lama di tempat itu. Rasanya sesak melihat anak-anak yang disayangi sepenuh hati oleh orang tua mereka. Jauh berbeda dengan anak yang ada di kandungan saya. Sendirian dan tidak dipedulikan.

Saya ingin pergi. Namun, tiba-tiba rasa mual menyerang perut saya. Saya ingin muntah. Toilet. Saya butuh toilet. Saya bertanya kepada beberapa orang tua yang sedang berdiri di sekitar saya. Mereka menjawab toilet ada lorong, dekat lapangan depan, dekat ruang ganti. Ada seorang ibu yang sepertinya khawatir ingin mengantar saya, tapi saya tolak. Saya bisa sendiri.

Saya berjalan dengan tempo cepat, menuju lokasi yang ditujukan. Seperti kata mereka toilet itu menjadi satu dengan ruang ganti. Banyak anak-anak berpakaian tari yang sedang ganti baju di sana. Saya memaksa masuk, berdiri di hadapan toilet, tapi tidak jadi muntah. Ketika saya keluar dari bilik toilet, saya melihat mereka.

Seorang anak kecil yang memakai kostum gadis desa abad pertengahan, dan juga seorang temannya yang cantik, tapi hanya memakai seragam biasa.

“Duh, toiletnya rame, nih,” keluh gadis yang memakai kostum. “Cari toilet lain saja, yuk.”

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang