Hubungan pertemanan Erika dan Alice semakin erat setiap harinya.
Tentu saja, waktu itu saya merasa sangat senang. Kebahagiaan putri saya, juga menjadi kebahagiaan saya sebagai ibu. Tidak ada yang lebih saya inginkan selain melihat Erika tersenyum dan tertawa. Suami saya juga pernah bilang kalau putri kami itu sudah berubah. Erika jadi lebih sering bicara—dalam artian yang baik, menanggapi dan berani berkomentar terhadap topik obrolan kami.
Saya ingat, pernah saat makan malam, kami bertiga membicarakan tentang film Cinderella yang habis kami tonton di televisi
“Gaun yang dipakai Cinderella tadi bagus banget ya,” komentar saya, setelah menelan potongan tuna caserolle
Suami saya, yang duduk di hadapan saya mengangguk, setuju. “Akting dan CGI-nya juga bagus.” Dia menyesap kopinya dengan sedikit terburu-buru. “Budget produksinya banyak pasti.”
“Mungkin lebih banyak dari total gaji kita selama setahun.”
“Bisa rugi kalau filmnya tidak laku.”
Lalu tiba-tiba Erika menyeletuk, “Aku suka bagian waktu pesta dansa.”
Jarang sekali rasanya Erika berkomentar seperti itu. Biasanya anak itu diam, mendengarkan, atau paling sering hanya mengangguk-angguk saja. Saya ingat suami saya waktu itu langsung tersenyum.
“Kenapa begitu?” tanya suami saya.
Erika sempat berpikir, tapi tidak lama kemudian dia menjawab tanpa ragu. “Soalnya istananya bagus. Aku pengen punya kayak gitu waktu besar nanti.”
Makan malam hari itu mungkin adalah makan malam paling seru yang pernah terjadi di keluarga kami. Kami membicarakan tentang banyak hal, mengomentari semuanya. Tidak hanya film, tapi juga keseharian kami.
“Mama memang bisa buat kue yang enak, tapi sayangnya nggak bisa buat es krim juga.” Saya ingat Erika pernah berkata seperti itu. Atau, “Papa jangan kebanyakan merokok, nanti sakit, lho.”
Orang-orang mungkin akan menganggap itu cerewet. Tapi untuk saya, saya senang kalau Erika berani berpendapat. Suami saya pasti juga berpikir seperti itu, karena ia terus tertawa sewaktu Erika mengomelinya tentang noda kopi yang bisa membuat gigi jadi kuning.
Saya pikir, Erika berubah karena Alice. Erika lebih aktif dalam obrolan karena dia sering bercanda dengan gadis berbando hitam itu.
Jauh dalam lubuk hati saya, saya bersyukur. Waktu itu saya masih bisa bersyukur. Erika akhirnya punya teman yang cocok, yang tidak pernah bosan bermain dengannya. Saya berharap mereka bisa terus akrab.
***
Tahun demi tahun berlalu. Bukan hanya Erika, saya pun semakin mengenal Alice.
Alice Redheart. Saya yakin Anda tentu tidak asing dengan nama belakang itu, bukan? Apalagi akhir-akhir ini media banyak membicarakannya, membesar-besarkan sampai ditayangkan di chanel berita nasional. Anda mewawancarai saya seperti ini juga karena tuntutan media, bukan? Di mana Anda akan mempublikasikan cerita panjang saya ini? Koran, atau televisi? Internet, mungkin?
Saya tidak tahu harus merasa senang atau sedih ketika kasus ini heboh, dan orang-orang melemparkan cemoohan mereka lewat kolom komentar internet. Saya dengar terakhir kali, saham perusahaan Redheart turun drastis sampai terancam bangkrut, apa itu benar? Saya rasa iya, putri sulung dari direktur utamanya sudah melakukan tindak kejahatan pembunuhan, beritanya sudah tersebar, siapa pun pasti tahu kalau kasus seperti itu akan membawa kehancuran bagi perusahaan.
Suami saya... eh, tunggu dulu. Saya belum cerita kalau suami saya bekerja di perusahaan yang dikelola Redheart, ya?
Ah, maaf. Saya terlalu sering membicarakan Alice dan Erika sampai-sampai saya lupa menjelaskan tentang suami saya. Entah apa Anda membutuhkan informasi ini atau tidak, tapi kalau Anda mau mendengar pendapat suami saya tentang kasus ini, mungkin Anda harus datang lagi minggu depan. Saat ini ia sedang tidak ada, dan saya hanya ini bercerita dari sudut pandang saya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...