Ketua Kelas 6

51 23 0
                                    

Kalau dipikir-pikir sekarang, rasanya kasihan juga. Padahal Erika sudah berlatih keras buat meranin Cinderella. Waktu jam makan siang, Erika nggak bergerak dari kursinya. Dia duduk, membaca kertas naskah yang ada di atas meja. Selalu kayak gitu. Sejak dia dapat peran itu, Erika yang pada dasarnya pendiam, jadi lebih sulit buat dideketin.

Waktu Alice ngajak ke kantin, Erika biasanya bakal ikut. Tapi, nggak lagi. Erika sibuk sendiri sama naskahnya. Dia sudah kayak masuk ke dunianya sendiri di dalam kertas penuh dialog itu. Untungnya sih, Alice baik. Alice mulai bawa bekal sendiri, terus mau nemenin Erika makan bareng di sana.

Nggak tahu kenapa, aku sama Dee juga ikutan. Mungkin karena kami memang mau temenan lebih dekat sama Alice, mau ngobrol atau bercanda lebih banyak lagi sama dia. Kayak gitulah. Jadi waktu jam makan siang, kami ngumpul di meja dua cewek itu. Alice yang lebih banyak ngobrol, mulai topik pembicaraan, kayak biasanya. Erika fokus ngehafalin naskah, tapi kadang dia juga berkomentar sedikit atau ikut ketawa. Terus... aku sama Dee... ya ngobrol, ngikutin topik yang Alice mulai.

“Apa Erika nggak makan siang?” tanya Kakak?

Erika makan, kok. Dia makan roti, yang katanya buatan ibunya. Croissant, atau Chiffon, atau Cheese cake kecil. Donat juga pernah. Tapi Erika nggak makan banyak. Dia bilang dia nggak bisa fokus ngehafalin kalau kekenyangan, jadi kalau ada roti yang belum habis, Erika bakal motong roti itu, terus dibagiin ke kami.

Alice paling suka kalau dikasih donat blueberry. Dia bilang itu donat paling enak yang pernah dia makan. Aku ingat banget senyumnya yang melebar, waktu dia ngegigit donat yang banyak selai warna birunya itu.

Bekal yang dibawa Alice? Wah... kayak menu hidangan utama di hotel bintang lima. Walaupun aku nggak pernah makan di hotel bintang lima sih, hehehe!

Alice biasanya bawa sekotak besar penuh makanan. Kotaknya berwarna merah, berbintik hitam kayak motif stroberi. Ada bordiran nama Alice Redheart warna hijau daun di sisi atas tutupnya. Mengkilap, pastinya. Lalu waktu Alice buka kotak bekalnya itu, ada suara klak kunci yang muncul. Dan... boom. Menu makan siang Alice selalu bisa membuat kami terkejut sekaligus takjub.

Lengkap. Sempurna. Penuh warna. Kelihatan lebih lezat dari semua makanan apa pun yang ada di dunia. Apa ada kata lain buat jelasin gimana keistimewaan bekal Alice? Banyak buah yang kelihatan segar. Apel, semangka, anggur. Susu kotak di sisinya. Juga ada telur gulung, sosis. Biskuit oat. Untuk cewek yang kurus kayak Alice, aku hampir nggak percaya dia bisa ngehabisin itu semua dalam satu kali makan.

“Mama bisa marah kalau makanannya nggak habis,” dia bilang gitu sambil tersenyum simpul. “Biar aku jadi anak yang sehat, kata Mama.”

Sementara itu kami, aku sama Dee, cuma dibekalin setumpuk sandwich. Mama kami bukan tipe orang yang gampang bangun pagi. Dia bangun jam enam, jadi nggak sempat masak atau buat sesuatu. Kami sering kali makan sereal buat sarapan, dan sandwich buatan Mama isinya palingan juga nggak jauh-jauh dari telur dan selada. Bukannya nggak bersyukur, tapi kalau dibandingin sama bekalnya Alice, ya wajar dong kalau aku sama Dee kadang ngerasa iri?

“Enak ya, jadi Alice.” Aku pernah bilang kayak gitu.

Tapi Alice malah ketawa geli. “Enak apanya?”

“Anak orang kaya, pintar, nilainya bagus, Punya Mama yang baik dan jago masak. Lengkap banget!”

Terus nggak tahu kenapa semuanya jadi diam. Alice diam, menunduk. Aku nungguin dia buat ngangkat kepala, mengangguk untuk merespons perkataanku barusan, tapi nggak ada yang terjadi. Sesaat, cuma ada keheningan yang sukses bikin kami semua ngerasa canggung. Aku noleh ke arah Dee, tapi kembaranku itu juga nggak ngerti. Dia ngunyah potongan sandwich sambil geleng-geleng pelan.

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang