Seharusnya Alice yang jadi pemeran utama Cinderella.
Saya sudah mendambakannya. Saya memimpikannya setiap malam. Alice, anak murid kesayangan saya itu akan memakai ball gown mewah berwarna biru langit, sepatu kaca yang mengkilap. Rambutnya akan saya tata sedemikian rupa, begitu juga dengan make up-nya. Akan saya rias Alice dengan tangan saya sendiri, seperti seorang ibu yang mendandani putrinya untuk ke pesta ulang tahun.
“Wah, Alice yang akan jadi Cinderella, ya?” Bu Diana bertanya basa-basi. “Pasti nanti makin cantik, makin mirip sama Bu Andrea, dong. Seandainya Bu Andrea sudah menikah dan punya anak....”
“Anak saya pasti mirip seperti Alice.” Saya tahu apa yang akan dikatakan Bu Diana. Saya mengerti. Saya tatap wanita itu dengan mata malas, berharap agar dia segera diam, menutup mulutnya. “Kalau saya punya anak nantinya, saya juga ingin dia yang jadi pemeran utama di pertunjukan drama sekolah.”
Seperti Alice, kalau saja wanita egois itu tidak memprotes.
“Saya ingin putri saya, Erika, yang dapat peran utama Cinderella.” Nyonya Hatcraft datang menemui saya keesokan harinya. Kami duduk berhadapan di sofa ruang guru saat jam pelajaran masih berlangsung. “Saya tidak mau putri saya itu berperan cuma sebagai pohon. Apa-apaan itu?”
“Tapi, Nyonya Hatcraft....” Saya berusaha menenangkannya. “Semua murid yang ada di kelas sudah berunding, dan mereka sudah setuju kalau Alice yang jadi Cinderella.” Dan itu memang benar. Siapa juga yang tidak setuju kalau Alice menjadi bintang? “Erika juga. Putri Anda itu juga sudah menyetujui hasil rundingan itu. Anak itu tidak keberatan berperan sebagai pohon-pohonan.”
Nyonya Hatcraft menggeleng tidak percaya. “Apa Anda meremehkan putri saya?”
“Tidak. Tidak sama sekali.” Hanya saja, ada dua puluh anak di kelas yang harus diberi peran, sedangkan di cerita Cinderella, tidak banyak tokoh penting. Saya juga sempat bingung akan memberi Erika peran apa.
Cinderella? Sudah ada Alice yang mengisi. Saudara tiri Cinderella yang jahat? Sudah diperankan oleh si kembar. Ibu tiri? Wajah Erika terlalu polos dan baik untuk peran itu. Ibu peri? Saya takut Erika akan malu kalau memakai kostum peri bersayap dan malah berakhir mengacaukan dramanya. Tidak, tidak, tidak. Raja, penasihat raja, pangeran? Itu semua peran untuk murid laki-laki. Tidak banyak peran yang tersisa.
“Tapi jangan jadi pohon juga, dong.” Nyonya Hatcraft merengut. “Apa Anda tidak bisa memikirkan perasaan anak-anak? Bagaimana kalau seandainya anak Anda sendiri yang dapat peran pohon semasa sekolah.”
Saya berkedip, seolah menelan semua kata-kata yang wanita itu ucapkan. “Maaf, saya tidak tahu. Saya belum....” punya anak. “Tapi tenang saja, Erika tidak akan terus-terusan jadi pohon. Di akhir drama nanti, sewaktu adegan pesta dansa di istana, Erika akan memakai gaun yang sama seperti teman-temannya yang lain. Mereka akan jadi tamu di acara pesta dansa.”
Namun, Nyonya Hatcraft masih tetap tidak terima. “Masih kurang. Itu cuma figuran,” katanya. “Saya mohon, berikan peran utama itu pada Erika.”
“Tapi....”
“Erika itu dulunya anak yang sangat pemalu,” kata nyonya Hatcraft. “Namun, semenjak masuk ke sekolah ini dan mengenal Alice, kepercayaan diri Erika mulai tumbuh. Dia jadi punya banyak teman, dan sering bercerita banyak hal. Saya senang dengan perkembangan anak saya, Erika itu.”
Saya memasang senyum simpul. Mungkin, saya bisa sedikit mengerti.
“Lalu, bisa Anda bayangkan apa yang terjadi kalau Erika hanya mendapatkan peran pohon dalam drama? Saya yakin Anda pasti bisa membayangkan hal itu. Kepercayaan diri Erika akan jatuh lagi. Dia akan menganggap dirinya tidak berguna, hanya karena mendapat peran sampingan. Putri saya itu akan sedih, Anda tahu?”
“Saya mengerti, Nyonya Hatcraft, Tapi....”
“Pokoknya saya mau peran Erika itu diganti. Saya mau putri saya itu yang memerankan Cinderella.”
“Lalu, Alice bagaimana?” tanya saya. “Anak itu juga akan sedih kalau perannya direbut.”
Dengan mudahnya Nyonya Hatcraft menjawab, “Alice dan Erika itu bersahabat baik. Saya yakin Alice akan baik-baik saja. Gadis itu pasti mau memberikan perannya pada Erika.”
Kepala saya rasanya seperti terguncang. Ketika Nyonya Hatcraft sudah pulang, saya menyandarkan punggung di sofa, menghela napas panjang sampai seolah sudah tidak ada udara lagi di dalam tubuh saya. Saya lemas. Sungguh. Saya benci perdebatan, dan saya benci mengatur ulang rencana yang sudah saya buat matang-matang.
Apa saya harus menuruti permohonan Nyonya Hatcraft?
Apa saya harus merelakan Alice, Bintang utama saya yang sempurna hanya untuk anak bernama Erika itu?
Padahal saya sudah membuat naskah drama. Dialog tokoh Cinderella sudah saya buat semirip mungkin dengan kepribadian Alice yang ceria.
Saya tidak rela. Saya tidak mau menyerahkan peran utama itu kepada orang lain selain Alice. Tidak. Tidak akan. Namun, tidak ada yang bisa saya lakukan ketika Alice sendiri yang menolak perannya.
“Aku nggak mau jadi Cinderella,” kata Alice, keesokan harinya di meja ruang guru saya.
“Kenapa?” saya tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba berubah pikiran. “Kemarin-kemarin kan kamu sudah setuju mau jadi Cinderella.”
“Pokoknya nggak mau. Nggak mau.” Anak itu cemberut, menatap saya. “Berikan ke Erika saja, peran itu. Aku sudah nggak ingin jadi Cinderella lagi”
Alice anak yang baik. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa dia melakukan itu, apa kemarin dia menguping, sewaktu saya dan Nyonya Hatcraft mengobrol? Mungkin saja begitu. Sofa tempat kami mengobrol kemarin dekat dengan pintu, volume suara kami pun juga tidak pelan. Wajar saja kalau sedikit kedengaran dari luar. Namun, saya tidak terlalu yakin Alice bisa menguping seperti itu.
“Apa Erika sendiri yang memintamu untuk menyerahkan peran itu?” saya bertanya. “Apa dia tidak puas dengan peran pohon dan tamu pesta dansanya?”
“Erika nggak bilang apa-apa,” jawab Alice. Nadanya tegas, meyakinkan. “Aku yang memang nggak mau meranin Cinderella itu. Banyak dialognya, aku nggak bisa ingat.”
“Nanti juga pasti ingat, kok. Alice kan anak pintar.
Anak itu masih bersikeras. “Nggak mau, Bu Andrea. Mending aku yang jadi pohon aja, gantiin Erika.”
“Jangan seperti itu, dong. Nanti teman-temanmu kecewa, tahu.” Saya juga sedikit kecewa nantinya, kalau bukan Alice yang jadi bintang utama.
Jujur saja, saya tidak yakin. Alice melotot, wajah saya terpantul di bola matanya. Rasanya seperti melihat cermin. Saya melihat diri saya di masa lalu, seorang gadis kecil dengan keinginan kuat akan sesuatu. Seperti saya yang berkata kepada kedua Ayah dan Ibu bahwa saya mau belajar main piano, Alice, saya tahu, sama keras kepalanya dengan saya.
Akhirnya saya merasakan apa yang orang tua saya rasakan waktu itu. Mereka menghela napas, memasang senyum tipis, lalu mengizinkan saya melakukan apa pun yang saya suka. Saya juga berkata seperti itu pada Alice. Saya ingin menuruti keinginan hati gadis kecil itu.
“Baiklah, Alice. Tapi....” Saya menggeleng. “Jangan jadi pohon.” Saya tidak bisa membiarkan Alice mendapatkan peran memalukan seperti itu.
“Selama Erika yang jadi Cinderella, aku nggak keberatan dapat peran apa aja, kok.”
Anak itu tersenyum lebar. Alice benar-benar anak yang baik. Sangat baik, sampai saya sendiri ingin memeluknya, erat.
Kalau saja Nyonya Hatcraft itu tidak protes. Kalau saja wanita itu tidak datang ke sekolah hari itu, mungkin Alice akan tetap jadi Cinderella. Bintang utama saya yang sempurna. Saya benci, saya benci, saya benci, saya benci. Kenapa Alice bisa berteman dengan anak itu. Kenapa Alice bisa sekelas dan duduk sebangku dengan Erika. Kalau saja keluarga Hatcraft itu tidak ada, saya yakin Alice bisa bersinar, jauh lebih cerah.
Kalau bukan jadi bintang utama, bagaimana cara Alice, anak murid saya itu, bisa bersinar?
Peri musik memberi tahu saya jawabannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mistero / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...