Alice mau bagaimanapun, selalu terlihat istimewa di mata saya.
Anak itu juga menjadi seorang ketua kelas yang bisa diandalkan. Saat kelas satu, jam makan siang, yang artinya saya berada di ruang guru, ada anak yang bertengkar. Si kembar itu, Anda ingat? Mereka bertengkar hanya karena bekal makan siang mereka berbeda, yang satu roti isi selai stroberi, yang satunya lagi roti isi selai blueberry.
Saya mendengar itu dari seorang murid saya yang bercerita. Katanya, mereka sampai dorong-dorongan. Si kembar itu memang kadang sedikit nakal dan usil, sering berdebat satu sama lain, tapi yang saya tahu, mereka tidak pernah bertengkar sebelumnya. Untung saja, Alice bisa melerai mereka berdua.
“Alice motong setiap roti isi itu jadi dua bagian,” kata seorang anak murid saya yang rambutnya dikepang dua. “Jadi si kembar itu masing-masing punya dua rasa roti, stroberi dan blueberry.”
Pola kalimatnya sedikit aneh, tapi saya bisa mengerti apa yang ingin dikatakan anak murid saya itu. Alice benar-benar hebat.
Alice juga anak yang pintar. Nilainya selalu berada di atas rata-rata. Tidak selalu seratus sempurna, tapi cukup bagus dan cenderung konsisten. Ketika ujian kenaikan kelas, Alice selalu mendapat peringkat satu. Bahkan beberapa kali saya lihat, Alice juga mau mengajari teman-teman sekelasnya yang nilainya di bawah rata-rata. Mereka biasanya berkumpul di kelas, atau di perpustakaan saat pulang sekolah.
Semua orang suka dengan Alice. Saya pikir, tidak ada satu orang pun yang membencinya.
Mungkin karena itu, sewaktu Alice kelas tiga, saya mengusulkan pada Bu Irene, wali kelas Alice saat itu, untuk menjadikan Alice sebagai center—saya tidak terlalu tahu istilah-istilah dunia tari—untuk penampilan tari tradisional kelas mereka di acara pentas seni akhir tahun.
“Alice anak yang percaya diri, tidak pemalu dan bisa diandalkan,” ujar saya kepada Bu Irene. “Alice pasti cocok jadi center,” atau pemimpin tari, penari utama, apa pun itu istilahnya, gadis yang paling mencolok, yang menari dengan pakaian yang berbeda, yang sering berada di depan.
Bu Irene sempat diam, menimang-nimang. Lagi pula menurut saya, memang tidak ada lagi murid yang cocok di posisi itu selain Alice. Alice yang terbaik dalam kelas itu. Tidak ada yang bisa menyainginya.
“Saya juga sempat berpikir seperti itu.” Bu Irene akhirnya menyetujui. Lalu besoknya, saya memberitahu Alice.
“Kenapa aku?” tanyanya. Ada sedikit rasa bingung dan tidak nyaman dalam ekspresi Alice. Alisnya mengernyit, dan saya lihat bibirnya gemetar, seperti ingin mengatakan sesuatu.
Erika yang saat itu kebetulan ada di sebelahnya, tersenyum lebar, menepuk pundak gadis itu. “Wah, hebat!” seru Erika. “Alice bakal jadi bintang!”
“Eeeeh?”
“Bukan cuma bintang biasa,” kata saya, berjongkok, menatap langsung ke arah mata Alice yang berbinar. “Alice, kamu akan jadi bintang utama.”
Lalu sekejap terasa hening. Saya melihat Alice dengan mulutnya yang terbuka, membentuk senyum tidak percaya. Sorot mata gadis itu tidak menatap saya, atau Erika. Alice menerawang jauh ke belakang saya. Sebingkai jendela dengan gorden mengembang tertiup angin, langit biru yang terbuka luas.
Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran Alice saat itu. Namun, saya mungkin bisa membayangkannya. Alice yang berdiri di tengah panggung, dengan bedak, eyeshadow, dan riasan lain yang mempercantik penampilannya, kostum tari yang cocok untuk tubuhnya yang mungil, juga lampu panggung yang menyorot hanya padanya. Kalau dibayangkan lebih dalam lagi, mungkin saya bisa mendengar suara tepuk tangan dan sorakan setelah penampilannya selesai.
Anak saya, ah, maaf. Maksud saya, anak murid saya itu, akan bersinar.
“Kamu mau, kan?” tanya saya kepada Alice.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...