Tamu Utama 5

63 28 0
                                    

"Rumah Alice besar banget, Ma!" Erika menceritakan semuanya kepada saya begitu dia pulang. "Kayak istana di Film Cinderella yang dulu pernah kita tonton bareng itu, lho."

Rumah keluarga Redheart terletak di perumahan elit, agak ke sebelah selatan kota. Ketimbang rumah, tempat itu lebih cocok kalau disebut mansion atau estate. Saya pernah beberapa kali melihatnya ketika saya sedang kebetulan lewat area perumahan itu. Namun, saya baru tahu kalau itu rumah Redheart setelah Alice yang bilang begitu.

Dari luar, gerbang rumah itu berwarna cokelat kemerahan, mengkilap, seolah tidak mungkin berkarat. Pagar dinding betonnya cukup tinggi, mengelilingi rumah, ada lampu-lampu taman kecil yang tergantung di sana. Dari atas pagar, ada tanaman merambat yang menjuntai ke bawah, daun-daunnya hijau terawat. Benar-benar rumah idaman. Bahkan walaupun saya hanya melihatnya dari luar, saya waktu itu sempat berpikir, kalau saya punya kesempatan, mungkin saya akan membangun rumah yang mirip seperti ini. Entah kapan mimpi saya ini bisa terwujud.

Setidaknya, putri saya, Erika cukup beruntung. Karena berteman dengan Alice, dia bisa masuk dan bermain di dalam rumah megah itu.

Erika bilang, Halamannya luas, penuh dengan rumput hijau dan pot-pot bunga kecil. Jalan batu setapak mengarah langsung ke pintu depan. Selain itu, ada juga pohon. Erika tidak tahu itu pohon apa, tapi katanya pohon itu sama seperti tingginya. Saya pikir, itu bonsai atau semacamnya. Ada juga bambu-bambu hias dan kolam ikan kecil. "Halaman rumah beneran Alice kayak taman mini," ujar Erika.

Pintu masuk ke dalam rumahnya cukup tinggi, pegangannya seperti emas, berkilau. Alice menjinjit untuk memutar kenop, lalu pintu terbuka dengan suara yang ringan, tanpa derit sedikit pun. Pemandangan selanjutnya yang putri saya lihat adalah ruang tamu megah. "Luas banget, Ma. Kayak aula sekolah," kata Erika. Akan tetapi, jauh lebih mewah. Erika suka tempat itu. Ada lampu gantung raksasa yang berkilauan, vas dan guci tanah liat yang terlihat mahal. pilar penyangga yang penuh dengan ukiran bunga kecil-kecil, juga lukisan panorama pegunungan. Ada foto keluarga Alice di samping lukisan itu. Sang Ayah dengan setelan jas bagus, Ibu dan gaunnya yang mengembang, juga Alice yang sedang memangku boneka kelinci. Mereka semua tersenyum menghadap kamera.

Erika cerita, waktu itu kedua orang tua Alice sedang bekerja, jadi tidak ada yang menyambut. Hanya ada seorang asisten rumah tangga, sopir pribadi, dan Alice itu sendiri.

"Wah, sayang banget, ya," komentar saya sewaktu Erika bercerita. "Lalu, kue bingkisannya kamu berikan ke siapa?"

"Alice nyimpan kue di kulkas," jawabnya. "Alice bilang, nanti kalau Papa Mamanya sudah pulang, mereka pasti bakal makan kue itu. Alice juga berterima kasih."

Padahal saya ingin Erika memberikan sendiri bingkisan kue itu langsung ke Mama atau Papa Alice. Tapi, ya sudahlah. Saya mengangguk dan tersenyum untuknya.

Erika bilang, Alice juga punya guru privat piano, tapi tidak tinggal menetap di rumah itu. Ia datang seminggu tiga kali untuk mengajar. Alice bilang, Mamanya ingin dia menjadi pianis yang hebat, yang bisa tampil di panggung-panggung besar seperti Sydney Opera House, atau Conservatoire de Paris.

"Alice ternyata pinter 2ebanget main piano, Ma!" Erika memberitahu saya, "ada piano putih di ruang tengahnya. Piano... apa ya namanya... ah iya, piano bosendorfer."

Bisa saya bayangkan, Alice membawa putri saya ke depan piano itu. Mereka duduk berdempetan di kursi kecil, lalu jemari mungil Alice mulai memainkan nada-nada.

Erika-yang memang tidak terlalu akrab dengan dunia musik itu-hanya bisa melihat, mengagumi dentingan-dentingan lembut yang keluar saat tuts ditekan. Erika juga bercerita kepada saya, kalau Alice juga sempat mengajarinya dasar-dasar musik, juga tangga nada sederhana.

"Ini C," Alice menjelaskan, sambil menekan satu per satu tuts putih. "Lalu yang ini D. Ini E."

"Kalau yang ini?" Erika menunjuk salah satu tuts hitam.

Alice memasang senyum bangga, karena dia tahu. "Itu E flat. Naik setengah dari nada E biasa tadi."

"Wah, susah ya."

"Nggak juga, sih. Gampang kok kalau sudah terbiasa."

Erika menceritakan semuanya dengan penuh semangat. Saya dan suami saya tidak punya pilihan lain selain mendengarkan. Ada banyak hal seru yang berhubungan Alice. Rasanya, cerita tentang gadis berbando itu tidak akan pernah berhenti. Setelah pulang sekolah, waktu kami mandi bersama, sampai saat makan malam pun, nama Alice Redheart selalu ada di dalam topik obrolan keluarga kami.

"Alice yang bakal jadi vokal utama, Ma." Tahun lalu, Erika memberi tahu saya. Akan ada pentas seni akhir tahun yang diadakan rutin oleh sekolah. Kelas Erika-kelas 4B-akan menampilkan pertunjukan paduan suara. "Bu Andrea bilang, suara Alice itu berjenis sopran, jadi Alice yang berdiri di paling depan, nyanyiin lirik-lirik nada tinggi yang susah banget."

Saya ingat waktu itu saya mengangguk-angguk. Bisa saya bayangkan, barisan anak-anak di atas panggung. Ada Alice, ada Erika, juga teman-teman sekelasnya yang lain. Tahun lalunya lagi, kelas mereka menampilkan tari tradisional. Erika memakai selendang dan bedak tebal, rambut panjangnya dikepang, sama seperti Alice dan teman-temannya yang lain. Untuk paduan suara tahun itu, mereka tidak perlu kostum. Mereka memakai seragam sekolah biasa, tapi dengan sedikit pernak-pernik. Erika memakai jepit bunga besar di rambut atas telinga, berdiri di pojok samping, dekat dengan Bu Andrea yang memainkan piano sebagai musik pengiring.

"Erika cantik banget, ya," saya ingat Nyonya Redheart pernah berkomentar seperti itu saat menonton. "Tahun kemarin waktu pakai kebaya juga imut."

Saya otomatis tersenyum ketika mendengar pujian untuk putri saya itu. Saya berterima kasih. "Alice juga cantik," ujar saya, bukan bermaksud untuk membalas pujian tadi, tapi karena Alice memang bisa dibilang cukup menarik untuk ukuran gadis seusianya.

Anak itu berdiri tegap di bagian tengah, paling depan, berhadapan dengan murid laki-laki gempal yang menjadi konduktor. Tidak seperti Erika yang menyanyi dengan kepala yang sedikit ditundukkan, Alice dengan rasa percaya dirinya menatap lurus ke depan. Mulutnya tanpa ragu terbuka lebar ketika menyanyi, melantunkan nada-nada tinggi.

Di kepala gadis itu ada bando yang dihiasi bunga-bunga kecil, seperti mahkota bunga yang dibuat oleh peri-peri hutan. Poninya menjuntai seperti biasa, tapi entah kenapa ada yang berbeda. Lebih memesona. Sosok kekanakan yang cantik, siapa pun yang melihatnya saat itu, pasti akan sependapat dengan saya.

"Tahun depan, mereka akan menampilkan pertunjukan apa lagi, ya?" Nyonya Redheart menoleh ke arah saya dengan wajah penasaran. Mata bulat bersinarnya sama seperti milik Alice. "Saya jadi tidak sabar menantikannya."

Saya mengalihkan pandangan saya ke atas, memandang langit-langit, membayangkan Erika dan Alice dalam satu tahun ke depan. Bagaimana penampilan mereka nantinya, seberapa tinggi mereka akan tumbuh, seberapa panjang rambut mereka, apa mereka akan mulai berjerawat? Saya rasa belum.

Saya membayangkan banyak hal. Namun, ada satu hal yang tidak pernah saya bayangkan dalam hidup saya.

Hari ketika putri saya terbaring di atas ubin toilet yang dingin, dengan darah yang mengucur keluar dari kepala, dan mata yang sendu, menatap kehampaan.

***

Maaf, saya tidak sanggup melanjutkan pembicaraan ini. Saya memohon kepada Anda untuk segera pergi dari sini.

***

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang