Pentas seni tahun ini, kelas 5B—kelas Erika—akan menampilkan pertunjukan drama Cinderella.
Cinderella yang malang, disiksa oleh ibu tirinya yang jahat. Pangeran. Ibu peri. Pesta dansa, dan sepatu kaca. Saya yakin Anda pasti pernah dengar dongeng klasik ini. Apa saya harus menceritakannya juga untuk Anda? Saya rasa tidak. Tidak perlu.
Saya tidak punya waktu untuk menulis ini seharian, dan saya ingin cepat-cepat memberi tahu Anda. Jadi langsung saja.
Erika yang mendapat peran utama. Dia yang akan menjadi Cinderella dalam pentas drama itu.
Bisa Anda bayangkan seperti apa rasa senang saya ketika mendengar hal itu? Saya ingin melompat-lompat. Saya tersenyum lebar sepanjang hari. Saya tidak bisa berhenti membayangkan Erika, putri saya itu berdiri dia atas panggung besar seperti yang ada di Broadway. Semua lampu akan menyorot ke arahnya, lalu terdengar bunyi tepuk tangan yang menggema. Saya tahu imajinasi saya itu berlebihan. Mau bagaimanapun, itu hanya pentas drama anak SD, bukan sesuatu yang besar. Namun tetap saja, hari itu Erika, putri saya, akan menjadi sosok putri sungguhan untuk semua orang yang menonton dan hadir di sana.
Seperti apa pujian yang akan diberikan Nyonya Redheart nantinya? Erika cantik banget, ya. Tahun lalu, ia memuji seperti itu, padahal Erika hanya memakai jepit rambut bunga. Bagaimana komentarnya nanti ketika melihat Erika memakai gaun mengembang bernuansa Victoria, juga sepatu kaca yang mengkilap berkilauan? Saya tidak sabar ingin melihat ekspresi dan respons Nyonya Redheart.
Alice? Ketika pertama kali dengar kelas Erika akan mengadakan pertunjukkan drama, saya sempat berpikir kalau Alice yang akan menjadi pemeran utama Cinderella. Lagi pula tahun-tahun sebelumnya, gadis itulah yang selalu jadi bintang utama. Akan tetapi, tahun ini tidak. Alice akan berada di sisi panggung, memainkan musik pengiring dengan pianonya.
Saya rasa itu kesempatan yang bagus untuk menunjukkan bakat Alice di sekolah. Nyonya Redheart pasti juga senang mendengarnya. Saya penasaran, apa wanita itu juga berpikir sama seperti yang saya pikirkan, membayangkan pujian seperti apa yang akan saya lontarkan untuk putrinya nanti?
Saya tidak terlalu mengerti tentang piano. Saya hanya mendengarkan lagu-lagu yang muncul di radio, atau di acara musik televisi. Selebihnya, saya hanya menganggap musik sebagai hiburan. Terlepas dari penampilan Alice nantinya, mungkin saya akan berkomentar, “Wah, Alice jago main piano, ya.” Atau, “Wah, saya yakin Alice bisa jadi pianis terkenal nantinya.” Itu pujian paling standar yang ada di dalam kepala saya. Namun, saya tidak akan pernah memuji Alice atas tragedi yang dia buat hari itu.
Hari itu, lebih tepatnya Sabtu, sebulan yang lalu, saya yakin Anda pasti ingat, adalah hari yang panas. Walaupun musim hujan, tapi tidak ada satu pun awan yang melintas. Jalanan dan trotoar kering, tidak ada genangan air atau lumpur bekas hujan. Bunga bermekaran seperti biasa, dan saya bisa melihat beberapa burung gereja hinggap di dinding pagar sekolah. Hari yang ideal untuk mengadakan semacam acara perayaan, seharusnya begitu.
Di halaman depan sekolah, ramai anak-anak dan orang tua. Ada seorang wanita muda yang menggandeng putranya, seorang pria berjas yang menggendong putrinya di atas pundak. Lalu, Segerombolan anak yang mengantre di kios es krim, beberapa anak berlarian, ada yang terjatuh, menangis sedikit, kemudian ditenangkan oleh sang ibu. Rasanya, hanya ada kebahagiaan di tempat itu. Penuh tawa dan semangat anak-anak. Seharusnya tidak ada yang berubah.
Nyonya Redheart duduk di baris kedua dari depan panggung, saya menghampirinya.
“Pagi,” sapa saya. Wanita itu tersenyum, lalu membuat gestur tangan, mempersilakan saya duduk di kursi sebelahnya.
Nyonya Redheart berpenampilan formal, seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan blazer berwarna merah tua, kaus hitam di dalamnya. Tidak terlalu banyak make up, hanya lipstik tipis dan sedikit maskara. Cincin nikah, dan jam tangannya masih sama. Terlihat berwibawa, tapi masih tetap anggun, selayaknya ibu dari keluarga Redheart.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystery / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...