Tamu Utama 2

90 27 2
                                    

Sebagai seorang Ibu, tentu saja saya ingin yang terbaik untuk putri saya. Saya menyekolahkan Erika di SD swasta yang ada di tengah kota. Walaupun biaya pendaftaran dan per bulannya cukup mahal, tapi itu bukan jadi masalah. Pada dasarnya, kami termasuk keluarga yang berkecukupan. Suami saya punya jabatan yang bagus di perusahaan ekspor impor, sedangkan saya sendiri punya toko kue kecil-kecilan.

Di hari pertamanya masuk sekolah, Erika menangis di depan gerbang. Anak itu takut masuk kelas dan bertemu dengan orang-orang baru yang belum dikenalnya, saya paham. Agar lebih tenang, saya usap kepala putri saya itu, lalu mengatakan kata-kata penyemangat seperti, “Ayo, Erika pasti bisa. Harus berani,” Namun, tentu itu saja tidak cukup. Membujuk Erika membutuhkan beberapa trik dan rayuan. “Nanti pulang sekolah, Mama beliin es krim, deh.” Barulah dia berhenti menangis. Erika meminta saya untuk berjanji, saya mengiyakan. Kemudian dengan langkah kecil penuh keraguan, putri saya itu melangkah masuk ke sekolah.

Peraturan di sekolah itu sangat ketat. Orang tua hanya boleh mengantar paling jauh hanya sampai gerbang. Anak-anak dididik mandiri sejak kecil, dan saya rasa itulah yang dibutuhkan Erika. Setelah melihatnya masuk gedung sekolah, menunggu beberapa menit, saya akhirnya memutuskan untuk pulang. Saya sudah memberikan beberapa instruksi pada Erika sebelumnya seperti, kalau misalnya bertemu bapak atau ibu guru harus sopan, lalu kalau disapa teman, harus menyapa balik. Selama dia menuruti itu, saya yakin Erika akan baik-baik saja.

***

Dua jam kemudian, saya datang kembali untuk menjemput Erika. Saya melaju dengan mobil berkecepatan tidak lebih dari dua puluh kilometer per jam. Macet, hal yang tidak asing untuk jalan raya tengah kota. Erika pasti sudah menunggu, pikir saya, yang sesekali memperhatikan jam tangan. Saat lampu lalu lintas menyala merah, saya memikirkan anak itu, membayangkan dia berdiri sendirian di depan gerbang, menunduk, atau mungkin jangan-jangan malah menangis. Akan tetapi, ternyata tidak.

Ketika saya sampai di area sekolah, saya tidak melihat keberadaan Erika di sekitar pintu gerbang. Ada banyak anak-anak yang berjalan keluar, yang bercanda akrab dengan teman-temannya, yang dituntun oleh orang tuanya. Namun, Erika tidak ada.

Saya parkirkan mobil di pinggir jalan, mencoba untuk melihat lebih dekat dari gerbang. Ternyata ada. Erika ada di sana. Putri saya itu duduk di kursi panjang, dekat dengan pos satpam yang ada di sisi dalam. Di samping Erika, ada seorang gadis kecil yang tidak saya kenal sebelumnya. Mereka tampak seperti sedang mengobrol, lebih tepatnya gadis itu yang berbicara, Erika hanya mendengarkan. Tanpa sadar saya pun tersenyum.

Saya melambaikan tangan untuk memanggil. Erika yang menyadarinya pun menoleh, tersenyum lebar, lalu berlari memeluk saya yang ada di sisi luar gerbang.

“Mama lama banget!” protesnya, menggembungkan pipi.

Saya seka keringat yang ada di dahi putri saya itu dengan sapu tangan. “Maaf, ya. Macet, tahu.”

Erika mengernyit, masih kesal, tapi kelihatannya bukan karena saya terlambat menjemput. “Mama tidak lupa janji Mama, kan?”

Saya terkekeh, bisa menebak apa yang ada di pikiran putri saya itu. “Es krim, kan? Pasti ingat, dong!”

“Asyik! Asyik!” Dia melompat-lompat kegirangan, senyumnya melebar. Saya senang melihat Erika yang ceria seperti ini. Andai saja Erika mau dan tidak malu menunjukkan tawa riangnya itu ke anak-anak yang lain, saya yakin dia pasti akan punya banyak teman.

Saat itulah, dia muncul.

“Namaku Alice.” Entah sejak kapan, gadis kecil yang duduk di samping Erika tadi, tiba-tiba ada di belakang saya. Gigi ompongnya terlihat lucu ketika dia tersenyum, mengulurkan tangan ke hadapan saya. “Aku teman sekelas Erika.”

Dari dekat, gadis itu tampak lebih mungil, senyum terlihat optimis, seperti tipe anak yang memang banyak bicara. Cantik. Saya gemas ingin memeluknya, tapi yang bisa saya lakukan saat itu hanya menjabat tangannya yang kurus. “Terima kasih, sudah jadi teman Erika,” ujar saya, sedikit canggung. Saya tidak menyangka Erika bisa mendapat teman di hari pertamanya sekolah. Ini kemajuan. Saya senang Erika bisa punya teman sendiri, tanpa perlu bantuan saya untuk mencarikannya teman.

Ah, Alice, ya.

Waktu itu saya masih menyukai Alice. Saya berharap mereka bisa jadi teman yang akur. Bodoh, bodoh, bodoh, bodoh. Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, lebih baik mereka tidak usah berteman saja. Lebih baik saya melarang dan menyuruh Erika untuk jauh-jauh anak itu. Tapi ya, mau bagaimana lagi.

Alice tidak menampilkan kesan buruk sama sekali. Dia menjabat tangan saya dengan sopan, menciumnya. Anak itu bisa tersenyum normal, dan nada bicaranya pun lembut. Alice terlihat sama seperti gadis kecil manis pada umumnya. Rambutnya panjang, dengan poni di atas alis, dan bando warna hitam berpita. Dia juga bersih, seragamnya bagus dan baru. Saya yakin Alice anak baik yang berasal dari keluarga harmonis. Seharusnya tidak ada masalah.

Seharusnya dia tidak akan membunuh putri saya. Tidak ada alasan baginya untuk melakukan hal kejam itu. Namun, saat itu saya masih belum tahu apa-apa. Saya melihat Alice sebagai gadis kecil, teman pertama Erika.

“Alice, belum dijemput?” Saya sempat bertanya padanya, “Mau beli es krim bareng Erika dulu?”

Waktu itu saya ingat, saya mengharapkan jawaban iya. Menyenangkan rasanya membayangkan dua gadis kecil itu duduk bersama di kedai es krim. Bibir mereka akan belepotan cokelat vanilla, mungkin mereka akan mengadakan lomba makan es krim paling cepat, lalu ketika selesai, mereka akan tertawa bersama. Sayangnya itu tidak terjadi. Alice menggeleng, menolak. “Aku sudah dijemput,” katanya, menunjuk mobil BMW hitam yang terparkir sedikit jauh dari area sekolah. “Mungkin lain kali, ya.”

Dari dalam hati, saya sedikit kecewa.

Erika menarik-narik lengan baju saya. “Dari tadi Alice sudah dijemput, Ma. Tapi dia mau nemenin aku sampai Mama datang.”

“Eh...?” Saya menoleh, memandang Alice.

Anak bermata kecokelatan itu berkacak pinggang, memasang senyum bangga. “Erika tadi duduk sendirian, ya udah deh, aku temenin aja.”

“Wah, Alice anak yang sangat baik, ya.” Saya ingat saya terharu saat itu. Saya tidak bisa menahan tangan saya untuk mengusap kepala Alice. Gadis itu juga kelihatan senang dengan apa yang saya lakukan.

“Habisnya, Erika kayak mau nangis gitu, sih. Aku kan jadi nggak tega.”

Dia tertawa, sementara itu Erika malah merengut. “Aku nggak nangis, kok. Nggak, nggak, nggak!”

“Eh, tapi tadi kan air matamu mau keluar.”

“Nggak. Itu cuma kelilipan. Ada debu tadi."

“Bohong, ah. Erika bohong, wlee.”

"Kau ini, yaaa!”

Itu interaksi yang cukup menyenangkan bagi saya. Mereka baru kenal beberapa jam yang lalu, tapi rasanya sudah sangat akrab.

Saya lihat Erika memerah ketika Alice menjulurkan lidah. Putri saya itu mengepalkan tangannya ke udara. Tentu saja itu hanya main-main. Saya tahu itu. Erika tidak mungkin memukul seseorang. Sepertinya Alice juga tahu. Gadis itu masih tertawa riang, lalu tiba-tiba berlari menuju mobil BMW yang menunggunya di ujung jalan.

“Dah, Erika!” serunya, melambaikan tangan tinggi-tinggi. “Besok kita main lagi!”

Erika terus menatapnya sampai Alice masuk ke dalam mobil. Lalu ketika mobilnya sudah berjalan, berbelok ke persimpangan, putri kesayangan saya itu menoleh, cemberut menatap saya. “Aku tidak menangis, Ma.”

Saya letakkan tangan saya di pucuk kepala Erika, mengacak-acak rambutnya. “Iya, iya.” Saya tahu, Erika yang pemalu pasti tidak suka kalau disebut cengeng. Itu wajar. Sembari tersenyum, saya mengulurkan tangan, menggandeng. “Ayo pulang. Ada es krim yang sudah menunggu di rumah.”

***

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang