Bintang Utama 1

69 24 0
                                    


Saya mengenal Erika dan Alice sejak mereka masih kelas satu. Kebetulan, saya yang jadi wali kelas mereka saat itu.

Saya ingat, ketika hari pertama tahun ajaran baru, ada yang namanya sesi perkenalan satu kelas. Satu per satu murid saya akan maju, memperkenalkan diri mereka sendiri di hadapan teman-temannya. Bisa Anda bayangkan, kan? Seorang anak memakai seragam baru, rambut disisir rapi, berdiri di depan papan tulis putih. Mereka umumnya hanya akan menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan mereka. Namun, terkadang ada juga anak-anak yang aktif, memberitahu lebih banyak tentang diri mereka. Alice, contohnya.

Kesan pertama saya terhadap gadis kecil itu, tidak terlalu spesial. Belum. Gadis itu memang kelihatannya punya kepercayaan diri yang tinggi. Dia melangkah dengan mantap, tanpa ragu-ragu. Bibir tipisnya membentuk lengkungan senyum yang meyakinkan. Bando hitam yang dia pakai, sangat cocok dengan model rambut berponi anak itu.

“Namaku Alice Redheart,” dia mengenalkan diri. “Panggil saja Alice.”

Tidak ada reaksi yang berlebihan dari murid-murid saya ketika gadis itu menyebut nama Redheart. Itu wajar saja, menurut saya. Walaupun nama Redheart cukup terkenal di dunia bisnis, tapi anak-anak tidak banyak yang tahu. Mereka memandang Alice dengan sorot mata yang sama seperti mereka memandang teman-teman sebaya mereka.

Saya juga tidak terlalu terkejut. Beberapa hari sebelumnya, saya sudah diberi dokumen berisi data diri siswa di kelas yang akan saya ajar. Saya tahu akan ada putri sulung Redheart, dan ya... jujur saja, saya tidak terlalu terpukau. Sebagai seorang guru, saya selalu bersikap adil kepada anak-anak didik saya. Tidak peduli siapa pun itu, dari keluarga mana dia berasal. Semuanya sama, anak-anak yang tumbuh dan belajar. Lagi pula, saya tidak terlalu tertarik dengan dunia bisnis, perusahaan, atau apa pun itu. Bukan bermaksud meremehkan, tapi saya rasa, saya tidak terlalu berminat untuk masuk dunia bisnis sebesar itu.

Hmm, apa saya sudah bilang kalau saya ini guru kesenian?

Kalau Anda sudah tahu, saya menyimpulkan setidaknya Anda sudah paham dengan sedikit kepribadian saya.

Saya melihat Alice hanya sebagai anak kecil biasa, yang kebetulan terlahir di keluarga kaya. Tidak lebih. Namun, ada satu hal yang membuat saya tertarik pada Alice.

“Aku suka main piano,” kata Alice di depan teman-temannya.

Ah, anak ini sama dengan saya, pikir saya waktu itu. Tanpa sadar, saya mungkin sudah mulai menaruh perhatian lebih pada anak itu. Saya ingin menilai kemampuannya, sampai mana dia bisa main piano, bagaimana kelincahan jari-jari kecilnya itu? Apa dia menggunakan perasaan saat menekan tuts, atau cuma memencet asal-asalan seperti kebanyakan anak murid saya sebelumnya? Saya ingin tahu. Saya ingin dengar, bagaimana seorang Redheart memainkan alat musik.

Saya selalu merasa, dunia yang saya miliki itu berbeda.

Di ruang guru, saat jam istirahat, ada beberapa orang guru yang membentuk kelompok obrolan. Mereka duduk mengelilingi satu meja, meminggirkan kertas dokumen dan tumpukan buku yang ada di sana, lalu makan siang bersama sambil bercakap-cakap. Tidak ada yang aneh, memang. Yang aneh itu saya.

Saya sering bergabung dengan mereka, untuk berbaur, atau sekadar menghilangkan kebosanan. Mereka, guru-guru perempuan itu, banyak membicarakan tentang keadaan murid-murid di kelas, keluhan mereka terhadap murid yang nakal, lalu acara TV yang tayang kemarin malam, menu makanan sehat untuk sarapan dan makan malam keluarga, bagaimana kabar suami dan anak-anak mereka. Anda mungkin sudah melihatnya sendiri, banyak guru-guru senior di sekolah ini yang sudah berkeluarga.

Obrolan mereka sebenarnya cukup menarik dan seru untuk didengarkan. Akan tetapi, saya lebih suka sesuatu yang lebih... Anda tahu maksud saya? Dulu saya pernah belajar di sekolah seni yang cukup besar, bisa dibilang. Di sana topik yang jadi bahan perbincangan saya dan teman-teman saya tidak jauh dari dunia musik klasik. Saya masih ingat yang sering kami obrolkan waktu itu seperti, rivalitas antara Mozart dan Salieri, kemudian Nocturne-nya Chopin yang sempat membuat saya frustrasi saking susahnya, Shostakovich muda yang tampannya seperti Daniel Radcliffe sewaktu memerankan tokoh Harry Potter.

ONCE UPON AN ALICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang