Semuanya jadi sia-sia, ya. Buat apa Erika latihan sekeras itu kalau akhirnya dia nggak bisa tampil di atas panggung.
Kasihan Erika.
Alice itu... kerasukan apa, sih. Kenapa dia ngelakuin hal yang jahat banget kayak gitu? Apa salah Erika? Padahal hubungan mereka baik-baik saja. Padahal mereka sudah sahabatan sejak lama. Aku nggak ngerti, hari itu kami juga sempat bikin janji.
“Tadi pagi Mamaku bikin donat blueberry banyak banget,” Erika bilang begitu ke Alice. Mereka masih ada di kelas waktu itu. Erika sudah memakai kostum Cinderella-waktu-di-rumah-nya—kaus lengan panjang warna abu-abu dan celemek cokelat—tapi rambutnya masih belum disisir dan digelung.
“Wah, kayaknya enak.” Alice, walaupun cuma pakai seragam putih biasa, tanpa kostum, masih tetap cantik dan menarik. Apa lagi, kalau melihat jepit bentuk kupu-kupu yang diselipin di bandonya.
“Pasti enak dong!” Erika tertawa. “Makanya, nanti pulang sekolah ke rumahku, yuk!”
“Boleh saja,” kata Alice. “Tapi aku harus minta izin ke Mama dulu.”
Tiba-tiba, Dee yang ada di sebelahku menyahut, “Aku boleh ikut? Aku mau lihat rumahnya Erika yang katanya banyak kue enak.”
“Eeeeh?” Erika tampak terkejut, tapi bukan berarti dia nolak. “Boleh saja sih, tapi....”
Sebelum sempat nyelesaiin kalimatnya, aku nggak sengaja motong perkataannya terlebih dulu. “Aku juga mau lihat,” kataku. “Aku ingin tahu koleksi legonya Erika.”
“Eeeeh?”
“Sejak kapan kau tertarik sama lego?” Dee ngelirik, senyum kecutnya kayak lagi nyindir. “Kau ini kan cuma suka olahraga.”
Aku berdecih, balas ngelirik sinis saudara kembarku itu. “Kau juga, sejak kapan suka roti?”
“Terserah aku dong, mau suka apa saja.”
“Dasar, Dee bodoh!”
“Apa kau bilang?”
Kami saling tatap untuk waktu yang lumayan lama. Alice dan Erika tertawa geli ngelihat pertengkaran kecil kami. Ya, pertengkaran kami mungkin memang hal biasa yang nggak perlu dikhawatirin. Tapi walaupun aku nggak mau ngakuin ini, kurasa Dee memang benar.
Aku nggak terlalu tertarik sama lego. Aku lebih suka aktivitas luar ruangan kayak olahraga atau sekadar lari-larian. Aku juga nggak tahu kenapa aku ingin berkunjung ke rumah Erika. Mungkin, aku hanya ingin lihat bagaimana dunianya. Dunia yang ditempati Erika selama ini.
Dan lagi, sebenarnya aku juga ingin lihat rumah Alice. Anak orang kaya kayak dia itu pasti punya rumah yang besar banget. Erika pernah bilang kalau rumah Alice itu mirip istana, ada piano besar, ada taman, ada kolam ikan, Dia kelihatan senang waktu nyeritain itu. Sejauh yang aku tahu, cuma Erika teman sekelas yang pernah berkunjung ke rumah Alice. Selain Erika, aku rasa nggak ada lagi.
Gimana rumah, dunia, yang ditempatin Alice. Aku kadang ingin tahu. Kenapa Alice bisa jadi anak yang cantik, pintar, baik banget, plus bisa diandalin sebagai sosok ketua kelas ideal. Kayak Alice, dunia yang dilihat olehnya pasti juga nggak jauh dari kata
Erika beruntung bisa sahabatan sama Alice.
Erika bisa beruntung bisa duduk sebangku dengan dia.
Tapi habis ngelihat kondisi tubuh Erika di toilet belakang waktu itu, juga ngelihat Alice memegang tongkat baseball yang ujungnya berdarah itu, rasanya... rasanya aku nggak mau masuk ke dalam dunia mereka.
***
Sebelum Bu Andrea datang, bisa dibilang kami-lah yang pertama kali nemuin Erika di toilet belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE UPON AN ALICE (END)
Mystère / ThrillerDalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelakunya. Sidik jari gadis kecil itu tertinggal di permukaan tongkat baseball yang berdarah. Alice tidak...