11 | Bet love

51.8K 3.9K 383
                                    

Tidak bisa tidur. Sudah pukul satu malam pun Thalia masih belum dapat tidur yang disebabkan oleh Keegan.

Kata terakhir yang Keegan timpalkan padanya saat di music room tadi membuat Thalia berpikir keras, apa maksud dari perkataan pria itu.

Padahal mudah saja, yang artinya Keegan sedang mencoba untuk mencintainya. Memberikan rasa cinta juga hatinya kepada Thalia.

Akan tetapi, hal semudah itu terasa sulit untuk Thalia cerna. Pernah dikhianati oleh tunangannya yang berselingkuh hingga ia begitu patah hati, Thalia cukup sulit untuk percaya lagi kepada hatinya sendiri.

Keegan yang datang di detik-detik terakhirnya akan menutup pintu hati, seakan menjadi penghalang besar bagi Thalia yang mulai merasa gagal untuk menutup pintu hatinya.

Pesona Keegan mendobrak dengan gila-gilaan, perlakuan lelaki itu menggugurkan pun meruntuhkan dinding niatnya. Juga batu mereka yang seketika hadir, memaksa Thalia untuk tidak menutup pintu hatinya.

Thalia tidur melebarkan kedua kaki juga tangannya. Menatap langit-langit plafon di atas membayangkan wajah Keegan, tunangannya sekaligus calon suaminya.

"Hey, apakah Ibu dan Ayahmu bisa saling mencintai?" Thalia berucap lagi kepada perut bulatnya.

"Bagaimana jika dia hanya terpaksa, atau Ibu yang tidak benar-benar bisa mencintainya?" Thalia miring ke samping.

Ia melihat ke arah tirai gorden berwarna putih bersih seperti susu. "Haruskah kami menikah tanpa perasaan?"

"Atau menunggu sampai perasaan kami tumbuh lalu menikah, menurutmu bagaimana?" Thalia memegang perutnya dan ia usap-usapi.

"Tapi ... Ibu masih ingin menjalankan hobby Ibu dan menjadi pelatih penari es. Tidak apakah jika kau bersama Ayah saja, hm?"

Ini masalahnya. Thalia masih merasa berat meninggalkan dunia yang ia cintai. Ia belum sepenuhnya rela meninggalkan dunia tari es yang sudah ia selami sedari kanak-kanak.

"Eh? Kau mendengar Ibu? Ya ampun..." Thalia gemas sendiri saat bayi mereka memberinya satu tendangan kecil.

Dia usap-usapi perutnya lalu ditepuk-tepuk pelan. "Cepatlah lahir dan kencingi Ayahmu setiap hari. Buat dia bau agar tidak ada yang mau mendekatinya, okay?!" Perempuan itu terkekeh gemas, kembali ia usap-usap dan menggosok-gosoki perutnya.

Lalu di balik pintu, Keegan tersenyum seorang diri melihat Thalia yang mengajak anak mereka berbicara. Sedari tadi ia di sana, membuka kecil pintu kamar Thalia lalu melihat ke dalam untuk memastikan wanita itu dapat tidur dengan nyenyak. Setiap malamnya ia selalu seperti itu—memeriksa Thalia.

"Tidak mengapa jika kau ingin kembali menjalankan pekerjaanmu."

"Tuan batu?" Thalia terkesiap. Ia bangkit duduk ketika Keegan memasuki kamarnya.

Keegan menghampiri. Berdiri di samping ranjang dan melihat singkat ke arah perut Thalia.

"Aku bisa mengurusnya. Di sini tugasku adalah untuk bertanggungjawab atas anak kita," lontar Keegan tegas.

Anak kita. Perasaan Thalia menghangat mendengar pengakuan Keegan. Sesuatu yang selama ini Thalia takuti bila saja Keegan tidak sungguh-sungguh ingin mengakui.

"Yang utama adalah batu kita. Jika kau tidak siap untuk menikah denganku, tidak mengapa. Aku pun tidak akan memaksa," kata Keegan. Terbiasa oleh rasa sakit, menjadikannya pria yang tidak ingin menuntut apa pun.

Jikalau ada cinta yang ingin menyambutnya, akan ia sambut pula cinta itu dengan tulus. Jikalau cintanya tertolak, maka tidak mengapa sebab ia akan segera melepaskan seperti Ruth dulu.

BRUTAL ACCIDENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang