8. Hama

2.4K 284 8
                                    

Fokuslah pada apa yang ada di depanmu dan jangan menoleh lagi ke belakang. Karena sejatinya masa lalu adalah apa yang sudah kamu tinggalkan

~Ardian Elfaero~

•○> ♡♡♡ <○•

Seperti saran Erfan, usai seminggu berada di rumah orang tuanya, Ardian langsung membawa Alda untuk tinggal di apartemen. Walau awalnya Erlin kurang ikhlas melepas mereka, namun akhirnya wanita itu mengalah juga.

"Ini uang dendanya." Ia hampiri Alda yang tengah asik menonton televisi. Turut ia serahkan uang sebesar enam juta yang merupakan hasil dari pelanggaran mereka selama menikah.

Gadis itu menoleh. Beralih mematikan televisi dan menatapnya dengan kernyitan di dahi. "Jadi, ini uang mau diapain?" tanyanya usai lembaran merah itu berpindah ke tangannya.

"Kan, udah weekend nih. Ayo keluar." Bukannya menjawab pertanyaan Alda, Ardian malah menarik gadis itu untuk bangun dari duduknya.

"Terus, uangnya mau aku apain, Saropeh!" Alda mendumel kesal. Ardian selalu saja begini. Tidak pernah memberi kejelasan.

"Bawa aja."

Berdecak, akhirnya gadis itu menuju kamar untuk berganti pakaian. Sementara Ardian mengambil jaket dan kunci mobil.

Sejujurnya, Alda mengira jika ia akan dibawa jalan-jalan. Namun, anggapan itu rupanya salah. Faktanya, Ardian kini memberhentikan mobil dan menghampiri seorang nenek tua yang tengah memulung.

"Uang dendanya mana?"

Alda yang masih linglung akhirnya menyerahkan semua uang yang ada di tangannya. Lantas tanpa pikir panjang, pemuda itu meraih beberapa lembar untuk diberikan kepada nenek tersebut.

"Jadi, ini gunanya uang denda itu. Semuanya untuk mereka yang membutuhkan," bisiknya.

Alda tak mampu berkata-kata lagi. Hanya bisa menatap takjub pada sang suami yang begitu peduli pada orang lain. Jika begini, tidak sia-sia perjanjian itu ada.

Setelahnya mereka melesat cepat untuk menemui seorang pengurus masjid. Lagi dan lagi, Alda dibuat takjub ketika Ardian kembali menyerahkan separuh dari sisa uang pelanggaran mereka.

"Semoga langgeng, Mas, Mbak."

Keduanya mengangguk. Tersenyum di saat bersamaan. Doa-doa dari para pemulung dan pengemis yang mereka temui diaminkan dalam hati.

"Makasih doanya, Pak. Kalo gitu, saya dan istri saya pamit dulu." Ardian beralih menggenggam tangan Alda. Ketika gadis itu hendak menepis tangannya, ia tetap kukuh mempertahankan.

"Modus!"

"Pegangan tangan nggak tertulis di perjanjian. Jadi, fine-fine aja," balasnya menyebalkan.

"Lagian, sama aja sih. Sama-sama modus!"

"Beda ya!"

Alda berdecak. Ardian dan argumennya adalah dua hal yang sulit dibantah.

"Iya, iya, Kakak selalu benar. Aku selalu salah!"

Lagi-lagi pemuda itu tertawa. Ia sepenuhnya masih menggenggam tangan mungil istrinya.

"Alda," panggilnya ragu.

"Hm?"

"Kamu nyesel?"

Gadis itu menoleh. Jelas mengerti betul dengan maksud pertanyaan Ardian.

"Apa yang harus aku sesali? Sejak awal, ini udah jadi pilihan kita, kan?

"Nyesel pun nggak akan mungkin ngembaliin semuanya seperti semula," ujarnya menghela. "Ini bukan tentang perkara nyesel apa nggak. Karena udah terjadi, semuanya kembali lagi kepada cara kita. Apa yang kita mulai harus kita pertanggungjawabkan."

ARALDA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang