36. Dadakan

1.2K 113 5
                                    

"Kakak lucu ya waktu masih kecil."

Alda membolak-balik album yang berisi foto-foto Ardian saat masih kecil. Sampai saat ini mereka masih berada di kediaman Adiwijaya. Padahal, ini sudah seminggu sejak mereka datang. Hal itu disebabkan Erlin dan Erfan yang terus-terusan menahan mereka agar tetap tinggal.

Ardian menumpukan dagunya di bahu Alda. Gadis itu saat ini tengah bersandar di dadanya. "Kamu punya foto juga nggak waktu masih kecil?"

Alda menggelengkan kepalanya. "Nggak ada."

Tok...tok...tok!

Suara ketukan pada pintu membuat Alda dan Ardian secara bersamaan menoleh. Kebetulan pintu yang tak dikunci membuat pelayan yang barusan mengetuk menundukkan kepala.

"Maaf, Tuan Muda. Nyonya meminta Tuan Muda dan Nona untuk segera berkumpul di ruang keluarga."

Ardian mengangguk. "Kami akan segera ke sana."

Sadar dengan posisi mereka, Alda segera menjauhkan dirinya dari Ardian. "Terima kasih," ujarnya mewakili sang suami.

"Kira-kira ada hal penting apa sampai bunda minta kita kumpul mendadak seperti ini?" Ardian berdiri dari duduknya dan menyimpan album tadi ke atas nakas.

"Biasanya rutinitas di rumah ini kita kumpulnya di malam hari. Tapi ini masih sore."

Alda mengangkat bahunya. "Ayo. Mungkin, bunda sudah menunggu kita."

Dengan tanda tanya besar, pasutri itu akhirnya menuju ruang keluarga. Tiba di sana, sudah ada Aksa dan Erlin. Selang lima menit, Erfan ikut bergabung. Lalu disusul Ella di tiga menit berikutnya.

"Ada apa, nih? Tumben bunda minta kumpul bukan di malam hari." Ardian yang lebih dulu bersuara. Ia sudah duduk dengan Alda di sisinya.

Erlin menatap Aksa sebentar. "Sebenarnya bukan bunda. Tapi, Aksa yang katanya mau menyampaikan hal penting."

Ardian melirik ke arah Aksa yang berdehem pelan. Seluruh pasang mata kini tertuju ke arahnya.

"Aksa mau minta restu." Begitu kata pemuda itu usai beberapa lama hening.

Ardian mengerutkan dahinya tapi belum merespons. Alda dan Ella masih menyimak.

Aksa menatap Erlin dan Erfan yang masih menunggu lanjutan kalimatnya. "Aksa mau lamar seseorang."

Mata Ardian membola. Pikirannya sudah ke mana-mana. Terlebih mengingat Aksa begitu terobsesi kepada istrinya. "Jangan macam-macam--"

"Dasar posesif. Ia, gue nggak akan ganggu bini lo lagi." Namun, sebelum kalimatnya rampung, Aksa lebih dulu menyela. Pemuda itu memutar bola mata.

"Hus, kalian berdua ini kenapa sih? Nggak bisa banget akur dikit!" Teguran langsung dari Erlin membuat Ardian yang semula hendak adu bacot spontan tutup mulut. Tapi tangannya sejak tadi masih memeluk bahu Alda posesif.

"Siapa?" Akhirnya Erfan buka suara. Ia tatap putra sulungnya yang balas menatapnya.

"Nada, Yah." Aksa menyahut. "Dia seorang dokter yang bekerja secara sukarela merawat korban gempa di Bogor."

"Dadakan? Kapan kalian kenalan?" Ardian kembali menginterogasi. Matanya memicing curiga.

"Sekitar dua bulan lalu."

"Kesambet apa lo sampai tiba-tiba mau nikahin dia?" Alda menyenggol lengan suaminya saat tanya itu terlontar.

"Ada masalah? Nada menurut gue baik. Malahan, dia juga yang ajarin gue ngaji sama shalat."

"HAH?!"

~♡♡♡~

"Kapan kamu mau lamar dia?" Itu tanya selanjutnya dari Erfan saat suasana kembali tenang.

ARALDA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang