46. Belajar mengikhlaskan

1.3K 111 26
                                    

Dia adalah separuh dari jiwaku. Mengikhlaskan dia pergi untuk selamanya sama saja seperti membunuhku secara perlahan-lahan

-Ardian Elfaero-

●○> ♡♡♡ <○●

Beberapa orang dokter dengan wajah sama paniknya buru-buru ke ruangan Alda saat gadis itu sejak tadi terus saja mengejang. Sementara keluarga dan sahabat Alda saat ini berada di luar ruangan menanti detik demi detik yang terasa semakin mencekam.

Di dalam ruangan, petugas medis berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Alda. Segala cara masih mereka coba untuk menyelamatkan nyawa pasien.

"Kondisi pasien menurun drastis."

"Detak jantungnya semakin melemah."

"Kemungkinan untuk pasien selamat semakin kecil."

"Lakukan apapun yang bisa menyelamatkan pasien!"

Ruangan Alda kini diliputi ketegangan. Semua petugas medis yang ada di sana berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkan Alda.

Sementara itu, di luar ruangan masih banyak yang menanti kabar dari dokter dengan harap-harap cemas. Kekhawatiran besar kini menyelusup ke relung hati masing-masing mengingat betapa kondisi Alda sudah sangat mengkhawatirkan.

Di kursi tunggu, Netta dan Diana menangis sesenggukan. Keduanya berpelukan dengan derai air mata.

"Clarissa akan baik-baik aja. Papa percaya itu." Arland coba membesarkan hati istri dan juga putrinya. Pria itu lalu ikut duduk di kursi dan mendekap keduanya erat.

Tak jauh beda dengan Netta dan mamanya, ketiga sahabat Alda juga sama larut dalam kesedihan. Ketiganya saling berpelukan dengan isak yang terdengar memilukan.

Erlin sendiri, wanita itu menangis di dalam dekapan suaminya. Pasutri itu tampak sama sedihnya. Alda adalah menantu terbaik yang mereka punya dan hingga kini mereka belum siap untuk kehilangan.

Sementara Meira, gadis itu lebih memilih keluar dari gedung rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, ia mengusap sudut matanya yang berair. Meira tak sanggup berada dekat dengan ruangan Alda. Ia tak sanggup mendengar berita buruk apapun itu.

Bagi Meira, Alda adalah sosok tulus yang tiada bandingannya. Ia yang selama ini menghiburnya di saat perceraian orang tua membuatnya terluka.

Kala itu, saat Meira dirundung sedih akibat ayahnya yang lebih memilih ibu tirinya dibanding putrinya sendiri, Alda datang ibaratkan angin sejuk yang membawa ketenangan. Gadis itu yang meski ia tahu jika dirinya adalah mantan Ardian tetap dengan tulus menerimanya sebagai teman. Bahkan dengan sepenuh hati Alda sempatkan waktu untuk berkirim pesan atau mengajaknya vidio call dengan maksud untuk menghibur dirinya yang sedang dilanda nestapa.

"Daripada sedih-sedih, ayo jalan!"

"Ke mana? Ardian izinin nggak?"

"Alah, Kak Ardian itu suami takut istri. Meski cerewetnya melebihi ibu-ibu, dia gampang dibujuknya."

Di balik sambungan vidio call, Meira tertawa keras. Kapan lagi coba ia bisa menistakan Ardian? Hanya Alda yang berani begini.

Karena Alda, senyuman bisa kembali mengembang di bibir Meira. Karena Alda pula, Meira bisa merasakan bagaimana rasanya punya teman. Karena Alda ia merasa seperti dicintai. Dan tanpa Alda, tanpa pesan dan ajakan vidio call dari gadis itu, Meira kini rasanya hampa. Cahaya hidupnya yang sudah perlahan terang kini redup lagi.

Seperti Meira, Ella juga memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Gadis itu keluar dari gedung rumah sakit sembari terisak. Seperti mencoba lari dari kenyataan, itulah yang coba Ella lakukan. Berlari sejauh mungkin berharap bila kenyataan yang buruk harus terjadi ia tidak ada di sana untuk mendengarnya.

ARALDA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang