Meira berdiri terpaku di depan ruangan Alda. Bagai tersambar petir, kenyataan bahwa Alda telah tiada membuat hatinya seperti dicabik-cabik.
“Alda masih hidup.” Gadis itu menggeleng berulang kali mencoba menyangkal semua kenyataan yang tak mungkin lagi diubah.
“Alda nggak mungkin meninggal.” Meira terisak. Gadis itu langsung berlari ke arah brankar Alda dan memeluk tubuh kaku itu seerat yang ia bisa.
“Bilang ini semua bohong, Da. Bilang ke kita semua kalo kamu masih hidup!!” Meira mengguncang tubuh Alda dengan keras berharap ada sahutan dari gadis itu.
“Clarissa!” Netta yang baru saja tiba di ambang pintu langsung berlari memeluk tubuh Alda. Perempuan itu menangis histeris meluapkan segala penyesalan yang terlalu besar ia rasakan. Ia belum siap kehilangan terlebih Alda dan dirinya belum berbaikan.
“Kita belum damai, Dek. Kenapa kamu malah pergi?” Tangis Netta pecah. Perempuan itu mengguncang-guncang tubuh Alda sama seperti yang dilakukan Meira. Tak henti air matanya jatuh dan merembes turun membasahi pipi.
“Kamu baru aja ketemu. Kenapa sekarang pergi lagi?” Netta benar-benar meraung. “Dua puluh satu tahun kita berpisah. Kakak selama ini mati-matian cari kamu ke sana ke mari cari informasi apapun yang bisa menunjukkan kamu ada di mana. Please, bangun. Kita nggak mau kehilangan kamu lagi.”
Perempuan itu mengguncang keras tubuh Alda berharap gadis itu akan bangun dan memanggilnya dengan sebutan kakak.
Namun nihil.
Tidak ada sahutan dari Alda membuat Netta semakin histeris. Tangisannya menggema kuat memenuhi ruangan ini.
“Tolong izinkan kakak memperbaiki lagi kesalahan yang lalu.” Tubuh perempuan itu luruh ke lantai. Ia genggam tangan Alda erat memohon agar pintanya dikabulkan.
“Bangun, Da. Kita semua nggak mau kehilangan kamu.” Meira seka air matanya pelan. Namun sia-sia saja, sebab air mata itu terjun kembali lalu membasahi pipinya.
“Kak Alda!!” Entah dari mana datangnya, Ella langsung menghambur memeluk kakaknya yang kini terbaring tanpa nyawa dengan wajah tertutup kain. Ia datang bersama ketiga sahabat Alda.
“Kak Alda, bangun!!” Ella menangis sama histerisnya dengan Netta.
“Kakak bilang kalau Kakak sayang sama aku. Kakak bilang akan selalu ada buat aku. Aku mau nagih janji Kakak sekarang. Bangun, Kak! Janji nggak boleh diingkari. Jangan pergi dengan janji yang nggak ditepati!!” Ella terisak hebat. Gadis itu menggoyang tubuh Alda keras-keras. Besar harapnya sang kakak akan bangun lagi.
“Kakak bilang nggak akan pernah ninggalin aku. Mana buktinya? Aku mau nagih janji Kakak sekarang!!” Tangis Ella semakin keras. Gadis itu mengguncang tubuh Alda tanpa henti.
“Aku nggak ikhlas kalo Kakak pergi!” Ella meraung di antara tangis semua orang yang ada di ruangan itu.
Sementara itu, di luar ruangan Erlin mengusap sudut matanya pelan. Wanita itu melirik ke arah putranya dan mendapati Ardian yang terlihat sangat memprihatinkan. Dapat ia lihat sang putra yang menangis tanpa suara di lantai rumah sakit yang dingin. Pemuda itu bersandar di dinding dengan kepala tertunduk dalam.
“Ikhlas sayang, Allah lebih sayang sama istri kamu. Makanya diambil cepat.” Erlin perlahan mendekat ke arah putranya. Wanita itu lalu berjongkok di hadapan Ardian sembari mengusap pelan bahu sang putra.
Ardian mengangkat kepalanya pelan. Laki-laki itu menatap bundanya dengan tatapan pedih. “Aku sayang sama Alda dan aku nggak mau kehilangan lagi,” tuturnya dengan ratapan pilu.
Erlin menghela. Tak ada kata dan kalimat lagi yang bisa ia ucapkan. Nyatanya, cinta putranya untuk sang menantu terlalu besar. Bahkan saking besarnya cinta itu, kini ia sadar jika sampai kapan pun putranya tak akan pernah sanggup kehilangan Alda.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARALDA [END]
RomanceSiap untuk petualangan yang penuh teka-teki, romansa, dan komedi? Cerita ini mengisahkan seorang pemuda konglomerat yang hidup dalam kemewahan dan seorang gadis mahasiswi biasa yang hidup sederhana. Keduanya terjebak dalam pernikahan yang tak terdug...