47. Akhir menyedihkan

1.1K 113 5
                                    

Sama seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Ardian kembali berdiri seorang diri di balkon kamar. Ini adalah rutinitasnya setiap malam sebelum tidur. Memandangi langit malam dari balkon ini. Entah langitnya sedang mendung atau terang. Dengan atau pun tanpa cahaya bulan dan bintang.

"Bulannya cantik, tapi mendadak hilang maknanya tanpa ada kamu di sini." Ardian menatap ke arah langit dan tersenyum getir.

"Alda, aku kangen sama kamu. Kapan kamu mau kembali?" tanyanya entah pada siapa.

"Di sini dingin, Alda. Jangan suka di balkon kamar malam-malam."

"Kakak juga ngapain di sini?"

"Jagain bidadari. Takutnya, ada yang nyuri."

Ardian menghela Panjang. Bagaikan rekaman tak berjeda, kenangan tentang kebersamaannya dan Alda terputar lagi di ingatan. Rekaman yang seharusnya menjadi kenangan indah itu pada akhirnya malah berubah seumpama belati yang kini menikamnya tanpa ampun.

"Bulannya cantik, ya?"

"Sama kayak kamu."

"Gombal!"

"Beneran!"

"Tapi bulannya masih lebih cantik."

"Kamu juga cantik."

"Demi apa?"

"Demi kamu, sayang."

Ardian tersenyum pahit. Di balkon kamarnya dan Alda, hampir setiap malam ia habiskan waktunya dengan Alda berbagi cerita tentang apapun atau hanya sekedar diisi dengan canda tawa.

"Dingin ya?"

"Tadi udah dibilangin kalo di balkon itu dingin, tapi kamu aja yang ngeyel."

Pemuda itu menatap langit dengan pandangan menerawang jauh. Ternyata sesingkat ini takdir memberinya waktu untuk bersama Alda.

Hanya satu tahun. Sesingkat itu takdir memberinya kesempatan merajut kisah bersama Alda meski harus menelan banyak kepahitan. Tapi, di balik semua pahit itu, Ardian rasa masih bisa dikalahkan dengan rasa bahagia karena bisa memiliki Alda di dalam hidupnya.

"Kak Ardian, laptop aku mana?"

"Kak Ardian, bando aku yang warna putih mana, ya?"

"Kak Ardian, bantu kerjain tugas dong. Nanti aku traktir pahala."

"Kak Ardian, buku catatan warna biru yang sering aku pake mana, ya?"

"Wow, aku udah bisa goreng telur ceplok. Kak Ardian, cepat foto. Ini salah satu prestasi terbesar aku!"

"Wuhuu, aku udah bisa bikin kopi. Sekarang udah nggak asin lagi!"

Ardian mengusap pipinya yang sempat basah. Kenangan tentang Alda tidak akan pernah ada habisnya. Nyatanya, gadis barbar itu sudah mengambil alih seluruh perhatiannya selama ini.

Jujur, Ardian rindu. Ia merindukan Alda ada di sini. Saat ini. Bersama dengannya.

~♡♡♡~

"Ikhlaskan istri kamu sayang, bunda nggak tega liat dia terus-terusan kayak gitu. Mungkin, dengan cara kita mengikhlaskan dia, sakitnya baru akan hilang." Erlin menepuk pelan pundak putranya. Pemuda itu kini duduk di sampingnya dengan kepala tertunduk lesu.

Di dalam ruangan, Alda lagi-lagi mengejang. Dari segi mana pun benar-benar seperti tidak ada lagi harapan.

Ardian mengangkat kepalanya. "Nggak akan pernah sampai kapan pun, Bun. Kecuali... aku juga ikut sama Alda kalau seandainya dia benar-benar akan pergi."

ARALDA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang