MCK 20

4.5K 359 35
                                    

Happy reading!
.
.
.
.
.
MCK

Pencarian yang berlangsung selama beberapa Minggu tidak membuahkan hasil. Anggota suruhan Bram dan tim kepolisian menyatakan Andrez telah meninggal dengan beberapa bukti yang ditemukan. Pertama, ditemukannya robekan baju Andrez ditengah-tengah hutan tersebut. Kedua, hutan yang sangat lebat dengan jurang yang sangat dalam memprediksi kemungkinan kecil Andrez akan selamat apalagi hutan tersebut dipenuhi oleh hewan-hewan buas.

Kedua orang tua Andrez tentu saja sangat terpukul. Tapi mereka berusaha untuk ikhlas. Mereka yakin bahwa semua ini sudah menjadi bagian dari rencana Tuhan. Teman-teman Andrez pun juga begitu, mereka sangat kehilangan sosok Andrez. Kenzio, pria itu seakan-akan tak ikhlas menerima bahwa Andrez telah pergi untuk selama-lamanya. Ia hanya bermenung dan menangis berharap Andrez kembali. Tak ada lagi Kenzio yang ceria seperti dulu.

Bahkan teman-temannya sudah berusaha menghibur Kenzio termasuk Alvaro. Pria itu sebisa mungkin menghibur Kenzio agar tak berlarut-larut dalam kesedihan. Tapi nihil, Kenzio seperti manusia yang tidak punya semangat hidup. Kenzio merasa dunia tidak adil, mengapa dia dan Andrez harus dipisahkan dengan waktu yang begitu cepat? Bahkan rumah yang Kenzio beli untuk masa depannya dengan Andrez belum sempat ditempati. Hancur sudah harapan Kenzio untuk membangun masa depan yang sangat indah dengan Andrez.

"Udah Yo, lu harus bisa ikhlasin Andrez," ujar Alvaro. Namun Kenzio hanya diam dengan tatapan yang kosong.

"Gimana kalau kita main basket? Gue jago lho! Lu berani gak tanding basket lawan gue."

Lagi-lagi Kenzio hanya diam tak merespon ucapan Alvaro. Ngomong-ngomong tentang basket, itu adalah olahraga kesukaan Alvaro. Waktu di kampung biasanya ia bermain basket setiap sore di lapangan desa bersama teman-teman basketnya.

"Oiya lu belum makan kan? Nih cobain nasi goreng buatan gue," ujar Alvaro sambil menyodorkan sendok berisi nasi goreng kepada Kenzio. Dan disambut tatapan oleh Kenzio.

"Ayo cobain, gue jamin lu gak bakal nyesel nyobain masakan gue," ujar Alvaro meyakinkan. Dengan ragu-ragu Kenzio menerima suapan dari Alvaro. Ah Kenzio jadi teringat Andrez, biasanya Andrez yang selalu menyuapinya makan.

"Gimana? Enak kan?" Tanya Alvaro yang hanya dijawab anggukan kecil oleh Kenzio.

"Nih lu makan sendiri," ujar Alvaro memberikan kotak nas berisi nasi goreng tersebut kepada Kenzio. Namun Kenzio hanya menatap kotak nasi tersebut dengan tatapan bingung.

"Biasanya Andrez yang selalu suapin gue makan," ujar Kenzio yang sedang menatap nasi goreng buatan Alvaro.

"Yaudah sini biar gue suapin."

Waktu libur semester telah usai, kini tiba tahun ajaran baru. Hari ini adalah hari pertama Alvaro sekolah di kota ini. Alvaro yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin menatap kagum wajahnya yang begitu tampan.

"Ganteng banget lu Al," ujarnya memuji diri sendiri. Lalu Alvaro turun ke bawah. Di sana sudah ada Bram, Nathalie dan Kia yang sedang sarapan di meja makan.

"Pagi om tante," sapa Alvaro.

"Pagi Al, gimana udah siap semuanya? Tanya Nathalie.

"Udah tan."

"Yaudah kamu sarapan dulu, kebetulan hari ini hari pertama kamu sekolah biar dianterin sama om."

"Iya tante."

Nathalie menatap Alvaro yang sedang mengenakan seragam SMA membuatnya teringat kepada Andrez. Dulu biasanya Andrez yang selalu memakai seragam ini setiap pagi. Tapi kini, ah sudahlah Nathalie tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.

Alvaro menatap kagum sekolah yang sebentar lagi akan menjadi tempatnya menuntut ilmu. Sekolah ini benar-benar elit dan sangat mewah. Sangat jauh berbeda dengan sekolahnya di kampung dulu.

"Mau om anterin ke ruangan kepala sekolah?" Ujar Bram bertanya.

"Gak usah om, Al bisa sendiri kok. Om berangkat ke kantor aja," ujar Alvaro menolak.

"Yaudah kalau gitu om berangkat dulu, kamu yang rajin belajarnya."

"Iya makasih om."

"Nabil!" Teriak Intan ketika melihat Nabil yang sedang celingukan di karidor sekolah.

"Lu dapat kelas berapa?" Tanya Intan.

"XII IPA 3, lu kelas berapa?"

"Yah kita gak sekelas, gue XII IPA 2."

"Udah gak papa, kan masih bisa ngumpul pas jam istirahat."

"Eh itu Agung sama Syifa," ujar Intan menunjuk ke arah Agung dan Syifa yang sedang berjalan ke arah mereka berdua.

"Kalian dapat kelas berapa?" Tanya Intan.

"Gue XII IPA 2," jawab Syifa.

"Beneran? Gue juga IPA 2 tau! Yey akhirnya gue punya kenalan juga di kelas," ujar Intan heboh.

"Kalau gue XII IPA 3," ujar Agung.

"Eh gue juga IPA 3 woi! Dimas kelas berapa ya kira-kira," ujar Nabil.

"Dimas juga sama kayak kita," ujar Agung.

"Yes! Senangnya gue masih sekelas sama Dimas," ujar Nabil semangat yang mendapati tatapan bingung dari ketiga sahabatnya itu.

"Ma-maksud gue seneng gitu bisa sekelas lagi sama Dimas," ujar Nabil gugup sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Lu suka sama Dimas ya?" Tanya Intan to the point.

"Enggaklah! Ya kali gue suka sama dia," ujar Nabil, namun Intan tetap menatap Nabil dengan tatapan seolah menyuruh Nabil untuk mengaku.

"Beneran njir, ngapain juga gue suka sama dia."

"Duh ruang kepala sekolahnya dimana lagi. Mana ini sekolah luas banget."

Alvaro sudah hampir menyerah mencari ruangan kepala sekolah. Sudah hampir setengah jam ia mengelilingi sekolah ini namun ia tak hampir menemukan ruang kepala sekolah. Jika tau begini lebih baik ia menerima tawaran Bram tadi untuk mengantarnya.

"Lu? Ngapain disini?"

Alvaro yang sedang kebingungan dikejutkan oleh sebuah suara yang tak asing lagi baginya.

"Kenzio? Gue lagi nyari ruangan kepala sekolah. Udah setengah jam gue keliling tapi gak ketemu-ketemu."

"Ikut gue."

Alvaro berjalan di belakang Kenzio mengikuti kemana langkah pemuda itu. Selang beberapa lama Kenzio berhenti di depan sebuah pintu kaca berwarna hitam bertuliskan RUANGAN KEPALA SEKOLAH.

"Owh di sini, makasih ya," ujar Alvaro.

"Gue duluan."

Kenzio berlalu meninggalkan Alvaro. Sepanjang langkahnya Kenzio menatap lamat-lamat sekolah yang sangat banyak didalamnya tersimpan kenangan. Tentu saja kenangannya bersama Andrez. Mulai dari taman, tempat dimana mereka sering ribut hanya karena hal-hal kecil. Lapangan basket, tempat dimana Kenzio sering mengajari Andrez bermain basket. Kursi yang berjejer dekat lorong, tempat Andrez sering duduk membaca novel lalu Kenzio datang hanya untuk mengganggu.

Tanpa terasa air mata mengalir begitu saja dari pelupuk mata Kenzio. Semuanya terasa begitu cepat, rasanya Kenzio belum percaya bahwa Andrez telah pergi meninggalkannya. Kenangan demi kenangan terus terlintas di benak Kenzio selama berada di sekolah ini.

Kenzio juga berubah menjadi pria yang pendiam dan terkesan dingin. Aura ceria Kenzio telah hilang seiring dengan kepergian Andrez. Bahkan kalau boleh jujur, Kenzio rasanya tak sanggup untuk berada di dunia ini tanpa Andrez di sisinya.

Kini semuanya telah berubah, tak ada lagi tempat untuknya bermanja. Tak ada lagi tempat untuknya mengadu dan menangis. Tak ada lagi tangan yang selalu mengusap kepalanya ketika hendak tidur. Tak ada lagi tangan yang akan menyuapinya makan. Tak akan ada lagi canda tawa yang selalu menghiasi wajahnya. Rumah tempatnya berpulang telah roboh.

.
.
.
.
.
Bersambung!

My Childish Kenzio 1 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang