Bab 40

88 8 10
                                    

Evans tau jika Arin ada di apartemennya.
Sejak jam 7 sampai 9 ia terus mondar mandir di lorong apartemen milik Arin. Atau selama waktu itu ia terkadang hanya diam di depan pintu saja.

Ia masih benar-benar ragu untuk menemui wanita itu karena takut jika ia malah hanya akan menyulut api amarahnya.
Tapi hatinya terus memberontak, ia tak ingin kehilangan wanita itu, ia tak ingin kehilangan apapun lagi.

Ia ingin Arin di dalam hidupnya.
Evans menarik nafas dalam-dalam dan kemudian memencet tombol bel dengan tangan yang begitu bergetar.
Ia bisa merasakan tangan dan kakinya yang dingin meskipun udara sedang baik-baik saja.

Ada banyak sekali kekhawatiran yang mengoyak jiwa Evans, membuat dirinya hampir seperti manusia yang lemah.

Dia berusaha merangkai kata-kata, memikirkan penjelasan, mencari dengan keras di dalam pikirannya, ia berharap mulutnya tak akan kaku saat berada di hadapan wanita itu.

Dan ketika pintu perlahan terbuka Evans membulatkan mata.
Arin berdiri di baliknya dengan tatapan mata khas, persis seperti yang pernah ia tatap sebelum mereka mengenal.

Apakah Arin kini menganggap dirinya orang asing kembali? Apakah ia sudah dicampakkan detik itu juga?

Tapi bukankah ia harus bersyukur wanita itu mau membukakan pintu, ini tidak mungkin sebuah ketidaksengajaan.

Ayolah Evans bicara dan katakan beribu maaf. Ia memaksa bibirnya agar terbuka dan berharap bisa bicara.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Pertanyaan yang begitu dingin terlayangkan padanya.

Arin tentu saja masih geram. Ia penasaran hal apa yang hendak Evans lakukan. Permintaan maaf dari mulut pria itu tak lagi berati tulus, dan jika Evans berusaha menjelaskan Arin tak yakin akan mendengarkan dengan serius.

Tapi tiba-tiba Arin di buat terkejut ketika Evans menekuk lututnya dan duduk bersimpuh.

Kedua manik matanya membulat lebar.
Saat melihat Evans terduduk tepat di depan kedua kakinya dengan kepala yang menunduk.

"Ku mohon maafkan aku" Katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Evans berdiri" perintah Arin. Meskipun Evans salah tapi menunduk seperti itu terlihat sungguh berlebihan.

"Tolong maafkan aku Arin. Atas semua hal yang aku sembunyikan darimu. Aku tidak mau kehilangan mu. Maaf aku benar-benar minta maaf"

Tentu saja Evans tak akan bisa melepaskan Arin.

Arin berusaha menenangkan dirinya sendiri. Setidaknya ia perlu memaafkan pria ini.

"Baiklah, berdiri" Katanya, mau bagaimanapun ia memang masih menginginkan Evans ada sebagai calon suaminya.

Evans masih duduk, tak mau memandang me arahnya.

Arin menekuk lututnya dan memegang bahu Evans.
"Berdiri aku memaafkan mu. Tapi bersumpah lah hal seperti ini tak akan terulang lagi atau kau tak akan pernah menemui lagi selamanya"

Evans yang tengah menunduk itu mengangguk.

"Berdiri" Arin menarik Evans agar dia bangkit.

"Apa kau sudah makan malam?"

Evans menggeleng.

"Ayo masuk" Arin membuka lebar pintunya dan membiarkan pria itu masuk.

Caya yang baru keluar dari kamar mandi terlihat terkejut dengan wajah yang tak begitu setuju.

Arin menyuruh Evans duduk di meja makan mereka, sedangkan Arin mulai mengeluarkan pan untuk memasak sesuatu.
Arin juga terlihat sedang menyusun meja sedangkan Caya sudah duduk di sebrang meja.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang