41. Tyrant of the Ocean (2)

202 42 9
                                    

Petir menyambar sebagian Midgard. Hujan deras menghiasi hampir seluruh Midgard. Kedua gejolak alam itu, seolah mempresentasikan bagaimana perasaan Amfitrit saat ini.

Dada dan perut yang bersimbah darah, tangan yang dipenuhi noda merah, dan trisula yang sudah berkali-kali kehilangan kesuciannya. Ditatap oleh mata bergetar Amfitrit. Istri Dewa Laut itu bersimpuh tak berdaya di depan pintu, menatap lima mayat. Termasuk mayat sang anak.

"Dia bukan Alantos." Poseidon menatap kosong anaknya yang tak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mulut dan anak itu terdapat busa. Terdapat pethechie dan adipocere bak orang tenggelam. Tak lupa, pisau yang sempat ia pegang, sudah tergeletak di samping sang ayah. "Aku sudah membunuhnya."

"Kau ..., mengerikan!" seru Amfitrit, menggertak gigi.

Poseidon tak mengindahkan. Ia keluar ruangan, melalui Amfitrit. Langkahnya menuju kamar mandi. Wastafel adalah wadah pembersihan darah. Dan kehampaan adalah teman yang paling setia.

Dewa Laut itu mengusap dada dan perut. Dia memperlihatkan pada cermin, berapa banyak tusukan yang ia dapatkan beberapa menit yang lalu. Setelahnya ia mengayunkan trisula, memotong leher sendiri. Membiarkan kepalanya tergeletak di wadah cekung wastafel beberapa saat.

Seperti dewa pada umumnya, Poseidon beregenerasi. Dia mengangkat kepala, menatap cermin. Wajah yang sempat menunjukkan kehampaan, tampak segar kembali walau beberapa saat.

"Apa aku salah membunuhnya?" Poseidon menyipitkan mata.

***

"Tentu saja Kau salah membunuhnya." Amfitrit menyudutkan Poseidon yang menyamar. Ratu Atlantis yang merubah bentuk setengah duyung dan tubuhnya seperti manusia itu, melirik sinis Poseidon. Moirolog yang bertugas mengantarkan jasad Alantos karena hakikat sang anak yang tinggal di bumi, bungkam. Zaman ini mungkin wajar jika saling membunuh terjadi. Akan tetapi, apakah moirolog, sang pelayat professional, pantas mengasihi keluarga yang berduka? Padahal keluarga korban lah yang membunuhnya.

Semenjak kematian Alantos, rumah tangga Poseidon memburuk. Dia tak hanya kehilangan calon bayi dan anak angkatnya, tetapi juga kehilangan kepedulian sang istri. Para makhluk Atlantis juga mulai berpikir, Poseidon amatlah kejam. Kalau saja dengan anak ia berani membunuh, apalagi mereka yang di luar anggota keluarganya?

Rasanya, hanya Proteus dan Siren sajalah yang masih menganggap bahwa ia adalah dewa yang baik.

Hari demi hari, minggu demi minggu, tahun demi tahun Poseidon lewati. Dia melewati segala rintangan seorang diri, mengasah kemampuan sendiri, hanya Proteus yang kadang membantu. Dan saat stress melanda, dia berpikir, mengapa dia yang kuat dan dianggap kekuatannya sempurna justru tidak bahagia?

Doktrinan keputusasaan, memborbardir Poseidon. Kesempurnaan yang menjadi titelnya, mulai ia nodai. Semakin seenaknya, tak menyayangi nyawa makhluk lain, dan menganggap semuanya rendah. Semua keburukan, ia miliki. Dia sudah tak pernah memuji masakan Proteus ataupun mengacungkan jempol pada kinerja para bawahannya. Dan dengan parahnya dia mengatakan, dewa adalah makhluk yang paling sempurna. Tidak peduli betapa banyaknya mereka melakukan dosa.

Saat Amfitrit baru saja melahirkan anak ketiga Poseidon, seorang pria yang mengaku dewa nan terbangun dari gundukan tanah, datang ke rumah sakit Valhalla. Dia menghampiri Poseidon yang berada di depan ruang persalinan. Mata dan rambut bergelombangnya amatlah tak asing. Ia memberi hormat pada Sang Tiran Laut, menyatakan maksud tujuannya menghampiri Sang Raja Atlantis.

"Saya Alastor. Sejak kecil, saya mengagumi Anda meskipun kabar buruk Anda telah tersebar hingga penjuru dunia. Mohon izinkan saya dan teman-teman saya, untuk menjadi bawahan Anda, Tuan Poseidon." Alastor menunduk.

✔ Tyrant of the Ocean [ Poseidon X Reader ] || Record of RagnarokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang