28. Hadirnya Kebencian

333 53 2
                                    

Pasir berdesir mengikuti arah angin. Mengibas ujung hingga ke tengah rambut Dewi Pencipta yang termenung. Matanya terbuka lebar, bersama pupil mata yang mengecil. Tubuh bergetar tak karuan, lutut enggan untuk memperkuat sendi engsel. Ia yang hampir terjatuh, segera ditopang oleh Alastor yang sigap menyibak keramaian dan menggapai perutnya. Tatapan pria itu, tertuju kepada Poseidon yang secara ragu menjauhkan tangan dari pundak gadis yang ia perjuangkan.

Tatapan keduanya bertemu, siang hari semakin terik. Memperpanas suasana keduanya. Alastor mempertegak postur tubuh, lalu membopong dan membawa pergi [Y/n]. Lehernya terbelenggu rangkulan tangan lemas dewi itu.

Ia yang memiliki trauma kepada Poseidon, mengintip Poseidon yang termangu sambil menunduk dan menatap telapak tangannya.

"Terima kasih, Alastor." Alastor menjawab ucapan [Y/n] dengan senyuman. Ia mempertanyakan kondisi sang gadis, lalu menurunkannya setelah [Y/n] meminta.

Hari ini, akhirnya digunakan sebagai hari istirahat pasukan bangau putih. Mereka membangun perkemahan sederhana, yang diciptakan Sang Dewi Pencipta. Menghabiskan waktu, membercandakan diri, dan istirahat.

Saat candra penuh muncul, Buddha hadir bersama Poseidon. Mereka duduk di salah satu batu-batuan dengan tinggi sekitar tiga puluh sentimeter dan lebar seratus sentimeter. Berbaur dengan pasukan bangau putih, yang menyusun batu-batu dan ranting-ranting hingga berbentuk lingkaran berdiameter tiga puluh sentimeter.

Agri dan Dylan yang baru saja hadir dari sebelah Barat, memeluk ember. Isinya adalah hasil buruan yang segar. Dan pada punggung mereka terdapat pancingan sederhana yang ia gunakan untuk berburu. Jangan tanya darimana segala alat itu berasal, sebab mereka memiliki gadis yang sangat berguna.

Sementara itu, Vetto dan Eric menggesek-gesek batu. Menghasilkan percikan api. Lantas mereka hantarkan percikan itu ke ranting, lalu berdiri dan menghalangi laju angin, memperjuangkan api agar menjadi besar.

"Di mana ketua pasukanmu?" Buddha angkat bicara. Vetto menatap Buddha, ia terkekeh sementara telapak tangannya menggesek paha belakang.

"Eric, tolong panggilkan Alastor! Tolong panggilkan [Y/n] juga untuk membuat tusukan!" Vetto setengah berteriak, membiarkan Eric meninggalkan dirinya. Usai itu tersenyum, memperlembut suara. "Maaf kalau kami justru merepotkan Anda, Tuan Buddha. Kami pikir di sini tidak akan ada perbaikan, jadi kami ke sini."

"Tidak, aku sama sekali tidak masalah Kalian ke sini. Kudengar juga [Y/n]-chan dibebaskan dari hukuman dengan syarat memperbaiki Midgard. Aku ke sini hanya ingin membicarakan apa saja yang bisa kalian bantu di sini, tidak bermaksud untuk mengusir Kalian. " Buddha menggaruk rambut yang tak gatal.

Vetto dan teman-temannya saling tatap, lalu kembali menatap Buddha. Suasana pun mensunyi, mereka terkekeh dalam diam tanpa tahu apa yang lucu. Tentu saja Poseidon tak ikut-ikutan, ia justru memejamkan mata sambil mendengkus dan menyila kedua tangan di dada.

Di sisi lain perkemahan, langkah kaki Eric mulai menghampiri indra pendengaran ketua bangau putih. Ia memanggil Alastor, menyingkap pintu tenda. Alastor pun menoleh, ia tersenyum dan mengiyakan ajakan Eric untuk beranjak.

"Sepertinya ada orang lain yang mendekati tendaku," komentar Alastor, melirik sisi kiri yang terdapat bayangan. Ia beranjak dari tenda, menoleh ke kiri. Menatap sosok yang mengambil langkah kecil sambil memainkan jari-jarinya. Ia yang iba, menepuk dan mengelus rambut sosok itu. Tersenyum lembut. "Ada apa, [Y/n]?"

"Alastor mau ke mana?" tanya [Y/n], ragu. Ia menatap ragu-ragu wajah ketuanya. "Aku ikut."

"Ya, Kau harus ikut. Vetto memintamu untuk menciptakan tusukan. Agri dan Dylan sudah kembali dari memancing," timpal Eric.

Ketika dewa itu melangkah, melampau tenda-tenda. Mengambil jalan tercepat, yang hanya butuh tiga menit. Tiga meter dari api unggun berada, [Y/n] memberhentikan langkah. Ia menggertak gigi, membalikkan badan. Berusaha menyingkirkan diri dari pandangan Poseidon, yang mendapati sosoknya.

Dewa itu, membuka lebar-lebar mata. Ia bangkit dari duduk, berlari, melalui Buddha dan Alastor. Namanya terpanggil, tetapi ia bergeming. Langkah kakinya yang semakin lama semakin cepat seperti Poseidon biasanya, akhirnya mampu mengikis jarak. Ia menggapai tangan gadis yang ia rindukan. Tak ayal, Poseidon mendapat perlawanan atas perilakunya. [Y/n] berusaha melepas genggaman mantan penguasa laut itu, tanpa menoleh.

Sekalinya ia menoleh, ia berhasil melepas genggaman Poseidon dan mendekat. Dan tangan kanannya mengayun, meninggalkan bekas kemerahan pada pipi kiri Poseidon. Pria itu menoleh ke serong kanan, bersama mata terbeliaknya. Tangan kirinya ia gunakan untuk menyentuh pipi yang terasa sakit. Sakitnya menjalar ke dada. Dadanya terasa sesak. Ia, Poseidon yang mutlak, ditampar?

"Kau menakutkan!" seru [Y/n]. Cairan bening mengalir di kedua mata Sang Dewi. Lengannya ia gunakan untuk menyeka cairan itu. Sesekali sedu-sedu terdengar. Poseidon sukses bergeming tak berdaya, ingin digapai tetapi takut malah menyakitkan. Ia mengepal tangannya, menurunkan tangan kanan yang hendak menggapai sambil menggigit bibir bawah.

"Maafkan aku." Poseidon menurunkan secuil sifat egoisnya. Namun, apakah Poseidon mengerti bagaimana perasaan [Y/n]? Dewa yang selama ini cuek itu, mungkin akan sulit untuk mengerti perasaan orang lain. "Kau takut aku karena kalungmu hilang, 'kan? Tenang saja, aku tidak marah. Aku sedang mencarinya untukmu."

[Y/n] menggeretak gigi. Emosinya menjadi lebih tak stabil, akibat Poseidon yang tak mengerti. Lihatlah [Y/n], dia begitu bergetar sekarang. Ia sangat takut. Sementara sosok yang menimbulkan traumanya, hanya memasang wajah bingung, seperti pria yang tak pernah salah. "Kau jauh dari kata sempurna!"

Ketidaksempurnaan adalah hal yang paling Poseidon benci. Tak heran bila kemurkaan dan dada yang sesak, menghiasi perasaannya. Indra penglihatnya tertuju pada punggung [Y/n] yang baru saja berbalik dan beranjak.

"Berjanjilah kepadaku. Kalau aku menemukan kalung itu, Kau memaafkanku!" seru Poseidon, frustrasi.

[Y/n] mendengkus, Poseidon sama sekali tak tahu kenapa ia menjadi begini. Padahal trauma yang Sang Dewi alami, semuanya karena Poseidon. Begitupula siksaannya. Apakah maksud dari hidup yang tak tenang kala festival laut itu, ini maksudnya?

Namun, kalau kalung tersebut hilang saat tsunami atau dipegang Zeus, mungkin takkan ketemu. Ide cemerlang juga menghampiri. Ia menyanggupi perjanjian Poseidon, serta menimpalinya.

"Baiklah, kalau Kau tidak menemukan kalung itu selama setengah tahun, enyahlah dari hadapanku. Selamanya," titah [Y/n], menekankan kata terakhir.

-- bersambung --

Published : Mon, 29 Aug, 2022
Jangan lupa vote dan komen ya, makasiii

✔ Tyrant of the Ocean [ Poseidon X Reader ] || Record of RagnarokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang