Dengan langkah cepat, Widya menyusuri trotoar. Sepanjang perjalanan setelah menerima pesan yang lebih tepat disebut sebagai ancaman dari ibunya, membuat perasaan Widya tidak lagi tenang.
“Kalau kamu masih nekat berhubungan dengan Cakra, itu artinya kamu siap kehilangan dia selama-lamanya."
Isi pesan tersebut membuat Widya ingin cepat sampai di rumah sebelum ibunya berangkat ke bandara. Berulang kali wanita itu melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Ia berusaha menghubungi nomor sang Ibu, tetapi tidak tersambung.
“Taksi,” teriak Widya sambil melambaikan tangannya pada taksi yang kosong.
Dengan panik Widya langsung masuk ke dalam taki dan menyebutkan alamat yang ia tuju. Tidak lupa, ia mengatakan pada sopir agar mengemudi dengan cepat.
Sayangnya, Widya harus bersabar ketika lampu jalan berubah menjadi hijau yang membuatnya harus menunggu beberapa menit. Kesabaran Widya tidak hanya di uji dengan lampu merah, tetapi juga kemacetan yang ia tidak tahu penyebabnya.
“Pak, ini kenapa nggak jalan?”
Jelas saja itu pertanyaan bodoh karena Widya sudah tahu jawabannya. Sebagai warga Jakarta yang sudah terbiasa dengan kemacetan yang luar biasa, seharusnya Widya tidak mempertanyakan hal itu.
“Maaf Mbak, kayaknya di depan ada kecelakaan.”
Widya menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Ia kembali mengutak-atik ponselnya untuk mengirimkan pesan pada Ibu.
Widya tidak putus asa untuk memastikan ibunya tidak melakukan hal buruk pada Cakra. Ia memutuskan untuk menghubungi Cakra, tetapi hasilnya sama saja. Nomor pemuda itu tidak aktif.
Kekhawatiran Widya bertambah ketika ia tidak sengaja melihat dua mobil berwarna hitam dengan nomor pelat yang ia kenali. Mobil pengawal ibunya, yang hanya akan digunakan ketika ada keperluan mendesak.
“Pak, saya berhenti di sini,” ucap Widya sambil menyerahkan selembar uang seratus ribu dan kelar dari taksi tanpa peduli uang kembaliannya.
Widya mengejar dua mobil yang ia lihat tadi. Untung saja, kemacetan membuat Widya tidak membutuhkan tenaga yang banyak untuk menyusulnya. Ia langsung berdiri di depan salah satu mobil yang di dalamnya terdapat Cakra yang tidak sadarkan diri.
“Berhenti!” teriak Widya.
Kemunculan Widya yang tiba-tiba, membuat pengawal yang bertugas untuk mengemudi langsung menginjak rem. Refleks semua yang ada di mobil langsung menggerutu karena kaget.
“Itu bukannya Mbak Widya?” tanya salah satu pengawal berkepala plontos.
Widya yang belum menyadari keberadaan Cakra, mengetuk jendela mobil. Hal itu membuat keempat pengawal panik.
“Gimana, dong?”
“Buka aja. Ibu, kan, nyuruh kita bawa pemuda ini ke Mbak Widya.”
Saran dari pengawal yang usianya sudah paruh baya, mendapat persetujuan dari yang lainnya. Mereka menurunkan jendela kaca yang membuat Wida bisa melihat keadaan di dalam mobil.
Mata Widya langsung membola karena terkejut dengan yang ia lihat. Cakra duduk di jok kedua dengan keadaan yang sangat memprihatinkan.
Alis dan pinggiran bibirnya mengeluarkan darah dengan beberapa memar di bagian lainnya. Tangan Cakra diborgol dan pemuda itu tak sadarkan diri.
“Mas Cakra!” pekik Widya.
Kemacetan semakin parah karena Widya yang menghentikan mobil tersebut. Hal itu menyebabkan ia harus menerima berbagai macam umpatan dan suara klakson mobil dari pengendara lain. Widya tidak peduli, ia sangat khawatir dengan keadaan Cakra saat ini.
“Lepasin Cakra, atau nggak saya akan lapor polisi," ancam Widya.
"Gimana ini?” tanya pengawal yang berada di kurs pengemudi.
“Gimana kalau satu orang turunin di aja di sini. Terus yang lain lanjutin jalan. Aku takut kalau terjadi apa-apa sama anak ini.”
Lagi-lagi, saran dari pengawal yang paling tua di antara mereka mendapat persetujuan semuanya. Berdasarkan hasil diskusi, akhirnya pengawal paruh baya yang bernama Pak Santo memutuskan untuk turun dari mobil.
“Cakra ...” lirih Widya ketika tubuh Cakra dibawa turun dari mobil.
“Kita bawa ke rumah sakit dulu, Mbak.”
Widya menatap Pak Santo dengan tatapan tajam. “Ini ulah kalian?”
“Saya minta maaf, Mbak. Nanti saya akan jelaskan semuanya. Ada baiknya, kita bawa dia ke rumah sakit dulu.”
Widya membenarkan yang dikatakan Pak Santo. Ia memang membutuhkan penjelasan tenang penyebab Cakra menjadi seperti ini. Namun, keselamatan Cakra jauh lebih penting.
Widya mengalungkan tangan Cakra ke pundaknya, tetapi Pak Santo langsung mencegah. Lelaki paruh baya itu meminta Widya untuk menaikkan tubuh Cakra di punggungnya.
“Pak, tapi—“
“Ngga pa-pa, Mbak. Hitung-hitung, ini bentuk permintaan maaf dari saya untuk pemuda ini.”
Widya mengangguk dan menuruti permintaan Pak Santo. Keduanya berjalan menuju pinggiran jalan untuk menjauh dari kemacetan. Setelah beberapa menit menunggu dan kemacetan mulai terurai, barulah mereka menemukan taksi.
Pak Santo sengaja duduk di samping kursi pengemudi setelah meletakkan Cakra di bangku penumpang. Ia memberikan kesempatan untuk Widya agar bisa duduk di samping pemuda itu.
Selama perjalanan, Widya tidak henti-hentinya menangi. Ia tidak bisa mencegah perasaan khawatir luar biasa, sekaligus marah pada ibunya. Widya tidak menyangka, wanita yang selalu mengajarkan kebaikan padanya, ternyata tega menyakiti orang lain hanya karena alasan tidak masuk akal.
Kedua tangan Widya menggenggam tangan kiri Cakra. Ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk menebus rasa bersalahnya. Kalau bukan karena dirinya, mungkin Cakra tidak akan mengalami kejadian seperti ini.
“Sa-yang ...” lirih Cakra ketika pertama kali membuka mata.
Widya langsung memajukan tubuhnya dan memegang pipi Cakra. Ia merasakan perasaan antusias yang luar biasa ketika melihat pemuda itu membuka mata.
“Mas, kamu nggak pa-pa? Mana yang sakit? Ini? Ini?” tanya Widya dengan wajah panik.
Cakra hanya tersenyum ketika melihat wanita di sampingnya begitu khawatir. Ia tidak menyangka, akan mendapatkan cinta dari Widya yang begitu luar biasa bahkan ketika di kehidupan keduanya.
“Mas nggak pa-pa, Sayang."
"Nggak pa-pa gimna? Ini wajahnya babak belur begini malah bilang nggak pa-pa.”
Cakra tersenyum semakin lebar, tetapi kemudian ia meringis kesakitan karena luka di pinggir bibinya.
“Tuh, kan. Katanya nggak sakit,” gerutu Widya sambil memajukan bibirnya.
Cakra mencoba menahan senyumannya, tetapi gagal. Kalau saja bibirnya tidak sakit untuk di ajak tertawa, mungkin Cakra akan tertawa lepas ketika melihat wajah Widya yang khawatir seperti saat ini.
“Mas nggak pa-pa, Sayang.”
Cakra ingin memegang tangan Widya tetapi ia baru menyadari kalau saat ini tangannya sementara diborgol. “Ini tanganku siapa yang borgol?”
“Ah, benar. Pak, ini kunci borgolnya mana?”
“Oh iya. Maaf, maaf, Mbak. Ini kuncinya,” ujar Pak Santo dan menyerahkan kunci borgol menggunakan kedua tangan sebagai tanda hormat.
Widya pun menerima dengan kedua tangannya. Seperti sudah menjadi kebiasaan, setiap kali memberi atau mengambil barang, Widya akan menggunakan kedua tangannya. Pak Santo yang merasa dihargai, hanya bisa tersenyum dan kembali menghadap ke depan.
Widya langsung membuka borgol Cakra dan memeluk pemuda itu. “Maafin aku, ya. Ini semua gara-gara aku, Mas.”
Cakra melepas pelukan Widya dan memegang pipi wanita itu. “Lihat Mas.”
Keduanya saling bertatapan. Seperti beberapa waktu lalu saat Widya meyakinkan Cakra, kali ini Cakra yang berusaha meyakinkan wanitanya untuk bertahan memperjuangkan hubungan mereka.
“Mas nggak pa-pa kalau terluka lagi. Kalau pun Mas harus mati, asal itu demi kamu, Sayang.”
Widya langsung melepas tangan Cakra dari pipinya dengan perasaan kesal. “Apa kamu kira aku akan bahagia kalau hidup tanpa kamu, Mas? Kamu nggak tau gimana susahnya seseorang yang ditinggal pergi. Dia harus hidup dengan semua kenangan tentang orang yang ninggalin dia.”
Cakra tersenyum. “Mas sangat tau rasanya seperti apa. Perasaan kehilangan yang tidak akan mudah untuk dihilangkan. Tapi jika harus pilih salah satu antara meninggalkan dan ditinggalkan, Mas akan pilih meninggalkan. Meskipun sama-sama menyakitkan, setidaknya Mas bisa berdoa supaya kamu bahagia.”To be continue...
☆☆☆
Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi 👋☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [END]
Romance[Naskah ini dikutkan dalam event GMG Writers 2022] Nomor Urut: 066 Tema: Marriege Life Cakra Adiguna yang berbulan-bulan hidup dalam penyesalan, mendapat kesempatan untuk memperbaiki masa lalunya. Meski begitu, tidak semua hal akan berjalan seperti...