-83-

51 9 8
                                    

Widya tidak mengerti dengan semua hal yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Semua bahagia yang baru saja bisa ia rasakan dengan utuh, berganti dengan kesedihan luar biasa. Susah payah ia memperjuangkan Cakra, tetapi dengan tega pemuda yang berstatus suaminya itu, mengatakan ingin bercerai.

Widya ingin marah, tetapi tidak tahu pada siapa. Ia ingin meluapkan rasa kecewa, tetapi bingung dengan cara apa.

Setelah pertemuan dengan Dimas terakhir kali, Widya tidak lagi bisa menghubungi Dimas. Pemuda itu seperti sengaja menghilang. Widya mendatangi klinik dan tempat tinggalnya, tetapi ternyata Dimas sudah tidak tinggal lagi di tempat itu.

Widya kebingungan. Ia berusaha bertemu dengan Cakra, tetapi hanya penolakan yang ia dapatkan. Widya tidak tahu letak salahnya sampai Cakra tega membiarkan ia sendirian menghadapi masalah dan memperjuangkan rumah tangga mereka di saat ibunya sendiri menginginkan keduanya berpisah.

Bukan hanya Widya yang menderita. Ada Samudra yang tetap setia mendampinginya dan berusaha mencari celah agar ia diterima. Samudra pernah berusaha untuk tidak peduli dengan tidak datang ke rumah Widya.

Samudra mencoba ketahanan dirinya, sejauh mana ia akan bertahan dalam pengabaian terhadap Widya. Namun, cinta yang begitu besar membuat Samudra kalah. Usahanya untuk mengabaikan wanita yang ia cintai, sia-sia.

Bohong jika Samudra tidak ingin cintanya berbalas. Bohong jika ia bisa bahagia melihat Widya bahagia meskipun tanpa dia. Nyatanya, Samudra masih memeluk erat harapan untuk memiliki Widya.

Sepertinya, perjuangan Samudra mulai menampakkan hasil. Widya yang tidak pernah mau sarapan bersama, mulai menurunkan egonya. Ia tiba-tiba ingin bergabung dan duduk tepat di samping Samudra. Meskipun, ia tidak bisa memungkiri kalau kehadiran Widya membuat suasana sarapan menjadi canggung.

Untung saja, Ibu merasa perlu untuk mencairkan suasana. Wanita paruh baya itu meletakkan sendok dan garpu lalu tersenyum.

"Widya, bukannya hari ini kamu kontrol ke dokter kandungan, ya? Ibu nggak bisa nemenin. Gimana kalau berangkatnya sama Samudra aja?"

"Nggak usah. Widya bisa berangkat sendiri. Sekalian mau ketemu Mas Cakra juga," jawab Widya tanpa menghentikan aktifitas mengoleskan selai cokelat di atas roti.

"Kamu kapan nyerahnya, sih?! Udah tau suamimu itu salah, nggak mau juga ketemu kamu, malah dipertahanin. Harusnya kamu bisa move on. Lihat orang lain, Wid. Orang yang selalu ada buat kamu."

Widya paling tidak suka jika mendengar Ibu menjelek-jelekkan Cakra apalagi di depan Samudra. Ia pun meletakkan pisau yang digunakan untuk mengoles selai dengan sedikit lebih keras lalu menatap Ibu.

"Ibu nggak usah khawatir soal aku. Aku bisa ke mana-mana sendiri, aku bisa ngurus hidup aku sendiri. Jadi, Ibu nggak perlu repot-repot mikirin pernikahan aku sama Mas Cakra. Dan untuk Pak Samudra ..." Widya menatap Samudra lalu tersenyum kecil.

"Bapak datang ke sini, berharap saya akan luluh. Begitu? Pak, saya ini perempuan bersuami. Biarpun suami saya sedang di penjara, saya tetap nggak sendiri. Jadi saya harap, Bapak sadar akan hal itu. Jangan datang ke sini lagi!" tegas Widya.

Ibu merasa tidak terima dengan ucapan Widya yang terkesan merendahkan Samudra. Ia pun hendak berdiri, tetapi Widya lebih dulu berdiri.

"Biar aku aja yang pergi. Ibu lanjut sarapan aja."

Widya meninggalkan meja makan tanpa sedikitpun menoleh ke arah ibunya yang berulang kali memanggilnya. Widya memang mulai terbiasa dengan kehadiran Samudra. Namun, ia merasa bahwa perasaannya itu adalah pengkhianatan terhadap rumah tangganya sendiri.

Widya tidak ingin mengkhianati Cakra, meskipun hanya dalam bentuk perasaan. Seperti biasa, ia berangkat ke dokter kandungan sendirian. Proses pembiasaan yang membuatnya menjadi wanita yang melakukan apapun sendirian termasuk mengecek kandungan.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang