-33-

37 15 3
                                    

Sebagai seseorang yang hidup batang kara, Putri tidak memiliki keluarga yang bisa mengurus pemakamannya. Oleh karena itu, Cakra dan Samudra turun tangan untuk membantu Dimas pemakaman Putri. Berdasarkan penjelasan dari Dimas, kedua orang tua Putri meninggal di kehidupan kali ini karena kecelakaan. Perusahaan milik ayahnya bangkrut dan Putri terpaksa menjual rumahnya untuk membayar gaji karyawan.

Cakra yang mendengar penjelasan itu, merasa sangat kasihan dengan Putri. Meskipun kehidupannya mungkin tidak sebaik seperti sebelumnya, tetapi setidaknya ia tidak kehilangan siapapun di kehidupan kali ini. Ia masih bisa menemui anak-anak anti seperti di kehidupan masa depan, dan masih bisa menemui Widya yang sangat ia cintai.

“Pak Cakra. Saya berharap, Bapak tidak gegabah dalam mengambil keputusan apapun. Karena sekali salah langkah, hal buruk tidak hanya akan menimpa Bapak, tetapi juga Widya,” pesan Dimas setelah pemakaman selesai.

Cakra, Dimas dan Samudra masih berjongkok di depan kuburan Putri yang masih basah. Dimas yang bermimpi kekasihnya itu masih selamat, kini berusaha tegar dan menerima kenyataan. Biar bagaimanapun, ia harus mensyukuri kehidupan baru yang Putri berikan untuknya.

“Dimas, Cakra, apa ada yang bisa jelasin tentang yang kalian bicarain? Jujur aku kayak orang bodoh yang berusaha memahami pembicaraan kalian. Kehidupan kedua, kehidupan kali ini, maksudnya apa?”

Dimas berdiri dan tersenyum. “Pak Samudra nggak usah pikirin. Mulai sekarang, saya dan Pak Cakra nggak akan omongin hal-hal kayak gitu lagi. Iya, kan, Pak Cakra?”

Cakra ikut berdiri yang juga disusul oleh Samudra. Ia menepuk pundak Samudra dengan tepukan yang sengaja dibuat keras sampai pemuda itu berteriak kesakitan.

“Gila kamu! Kamu kira nggak sakit?!”

Cakra hanya tertawa. “Udah, ah. Aku mau ke rumah sakit. Aku khawatir sama Widya.”

“Loh, Pak Cakra harus ke kantor sekarang. Tadi say dapat telepon dari sekretaris dan ada hal penting yang harus segera dirapatkan hari ini berhubungan dengan tim produksi.”

“Tapi ini udah jam sepuluh, loh. Saya juga udah ngajuin cuti sama ketua produksi.”

“Ini penting. Dimas, kamu bisa jagain Widya, kan?”

Dimas mengangguk menyetujui permintaan Samudra. Meskipun sebenarnya ia masih ingin berlama-lama di pemakaman Putri, tetapi ia juga ingin memastikan satu hal pada Widya.

“Ya udah. Pak Cakra, ayo kita langsung ke kantor.”

“Loh, nggak ganti baju dulu, Pak? Nggak mungkin kita ke kantor kayak gini, kan?”

“Nggak usah.”

Cakra tidak punya pilihan selain mengikuti Samudra yang tapak terburu-buru. Sepertinya, memang ada hal mendesak yang mengharuskan pemuda itu kembali ke kantor secepatnya.

“Pak Cakra, kamu aja yang nyetir, ya. Saya harus ganti pakaian dulu.”

“Loh, terus saya?”

“Nanti kamu bisa ganti di kantor. Ini saya baru dapat pesan kalau rapatnya akan dihadiri para pemegang saham."

“Hah? Kok, mendadak”

“Nggk tau. Ayo cepat.”

Samudra langsung melempar kunci mobil ke arah Cakra. Dengan terpaksa, mau tidak mau Cakra kali ini harus menjadi sopir dadakan untuk Samudra. Saat dalam perjalanan, Cakra teringat dengan ucapan Anastasya.

“Pak, saya mau tanya tentang Anastasya.”

Samudra yang masih sibuk mengancing kemejanya bertanya, “tanya apa? Saya nggak begitu dekat sama saudara tiri saya itu.”

“Apa Anastasya bisa menguasai perusahaan?”

Samudra menjeda aktivitasnya dan menatap Cakra yang juga menatapnya dari spion mobil. “Apa dia nawarin sesuatu sama kamu?”

Cakra terkejut dengan pertanyaan Samudra. Tanpa sadar, matanya melotot karena pertanyaan itu.

“E-enggak,” jawab Cakra berusaha mengelak meskipun sebenarnya Samudra sudah tahu kalau ia berbohong.

“Saya harap, kamu nggak tergoda dengan semua yang ia tawarkan. Anastasya memang gadis yang cerdas, tapi dia cukup licik. Dia bisa ngelakuin segala cara untuk dapatin yang dia mau. Dia nggak segan-segan ngotorin tangannya sendiri untuk mewujudkan keinginannya.”

Samudra menghela napas dan melanjutkan mengancing kemejanya. Ia mengenakan dasi berwarna abu-abu bergaris hitam dan selanjutnya mengenakan jas hitam.

“Pak Cakra, meskipun kita nggak pernah cocok, tapi saya tau Bapak orang yang baik. Saya harap, Bapak nggak tergoda dengan tawaran apapun yang Anastasya berikan. Kalian mungkin akan menang. Tapi ingat, sesuatu yang seharusnya tidak kalian dapatkan lalu kalian paksa mengambilnya dari orang lain, itu namanya pencuri.”

Cakra merasa panas mendengarkan hal itu. Meskipun ia sebenarnya menyetujui ucapan Samudra, tetapi mendengar kata pencuri membuatnya teringat dengan masa lalu saat ia dituduh sebagai pencuri karena tidak memiliki apa-apa.

Cakra memegang kuat setir mobil. Untuk menyalurkan emosinya, ia menginjak gas yang semakin menambah laju kecepatan mobil. Hal itu berhasil membuat Samudra sedikit ketakutan, tetapi ia membiarkan Samudra melakukan itu. Hitung-hitung, agar mereka bisa lebih cepat sampai ke kantor.

Saat keduanya memasuki halaman kantor, terlihat beberapa orang yang Samudra kenali masuk ke dalam gedung kantor. Samudra memajukan tubuhnya dan menepuk pundak Cakra.

“Pak Cakra, kita berhenti di sini saja.”

“Tapi, Pak. Nanti kalau dimarahi petugas keamanan gimana?”

“Kamu lupa siapa saya? Nanti saya yang suruh petugas keamanan parkirin mobilnya. Ayo turun.”

Samudra membuka pintu mobil dan berjalan cepat meninggalkan Cakra yang tidak paham dengan situasi. Jika tadi Samudra yang bertanya-tanya tentang yang terjadi, sekarang Cakra yang kebingungan memami.

Saat Cakra berbicara dengan petugas keamanan, ia berbalik setelah mendengar klakson mobil. Anastasya tersenyum dengan bangga dari dalam mobil curian yang seharusnya sekarang sudah lulus uji coba. Ia memanggil Cakra menggunakan jari telunjuk.

Jelas saja Cakra tidak berniat menuruti panggilan itu. Namun saat ia ingin mengabaikan Anastasya, wanita itu justru memanggilnya dengan cara yang lebih kurang ajar. Ia bersiul seolah-olah Cakra adalah seekor burung yang akan datang ketika mendengar suara siulan.

“Pak, ini kuncinya. Tolong parikirin, ya.”

Cakra mendekat ke arah mobil. Bukan karena siulan Anastasya berhasil, tetapi Cakra mendekat ke arahnya karena tidak tahan dengan sikap sombong wanita itu.

“Hai,” sapa Anastasya dengan nada genit.

“Kamu kira saya burung? Kamu mau apa lagi? Hah!”
Anastasya menaikkan jendela mobil dan mengambil kaca mata hitam. Ia keluar dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

“Aku datang ke sini karena ada rapat pemegang saham. Oh, selain itu, aku juga ingin menagih jawabanmu.”

“Jawabanku? Apa kalau aku kasih jawabanku, kamu nggak akan gangguin aku lagi?”

Anastasya mendekat ke arah Cakra. “Kamu dari pemakaman siapa? Widya?”

“Jangan kurang ajar!” ancam Cakra sambil memegang tangan Anastasya.

Lebih tepatnya, ia meremas tangan wanita itu sampai pemiliknya menjerit kesakitan. Namun, Cakra tidak peduli. Jika membunuh tidak dosa, ia pasti sudah melenyapkan wanita ini dari jauh-jauh hari. Apalagi, dengan tega ia mengatakan hal yang tidak seharusnya tentang Widya.

“Apa-apaan ini?!” tanya Samudra dengan raut wajah marah.

“Lepasin dia Pak Cakra.”

“Tapi wanita ini keterlaluan.”

“Mulai detik ini, Anda saya pecat.”

Cakra sangat terkejut dengan ucapan Samudra dan langsung melepas tangan Anastasya. “Pak, saya salah apa? Saya nggak merasa lakuin kesalahan yang mengharuskan saya dipecat.”

“Nggak lakuin kesalahan? Mencuri mobil yang seharusnya diuji coba dan menjualnya ke Anastasya, itu bukan kesalahan?!”

Samudra mengepal tangannya. “Oh, iya. Itu bukan kesalahan tapi kejahatan. Mulai sekarang, Anda bukan pegawai kami lagi! Bereskan barang-barang Anda dan tinggalkan kantor ini.”

Samudra sangat ingin meluapkan semua emosinya pada Cakra, tetapi sebisa mungkin ia menahannya. Samudra memilih untuk meninggalkan Cakra. Namun, Cakra justru mencegahnya dan bahkan ia tidak malu untuk berjongkok di hadapan Samudra.

“Pak, Pak. Ini semua fitnah. Saya sama sekali nggak pernah menjual mobil itu sama Anastasya. Saya mohon, Pak. Jangan pecat saya.”

“Kami punya semua buktinya. Saya nggak mungkin nuduh tanpa bukti, kan? Gara-gara ini, banyak pemegang saham yang narik sahamnya dari perusahaan. Kami terancam bangkrut karena memperkerjakan seseorang seperti Anda. Jadi saya minta, silakan tinggalkan perusahaan.”

Samudra berjalan melewati Cakra. Saat Cakra ingin menyusulnya masuk ke dalam kantor, tubuhnya di tahan oleh petugas keamanan.

“Maaf Pak Cakra. Sesuai perintah, Bapak hanya bisa masuk ke dalam kantor untuk membereskan semua barang-barang Bapak sebelum meninggalkan kantor ini.”

Cakra menghempas tangan petugas keamanan dan berbalik. Ia berjalan ke arah Anastasya yang tersenyum tanpa dosa.

“Ini semua karena kamu, kan?! Sekarang harus tanggung jawab!” Cakra menarik paksa tangan Anastasya.

“Tolong, security!”

Empat petugas keamanan langsung menahan tubuh Cakra dan membantu melepaskan Anastasya. Karena Cakra sulit dikendalikan, dengan sangat terpaksa petugas keamanan yang sebenarnya akrab dengan Cakra, mengeluarkan pemuda itu dari lingkungan kantor. Pagar besi yang tinggi ditutup untuk mencegah Cakra masuk lagi.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang