-81-

37 7 2
                                    

Setelah menjalani berbagai macam proses penyelidikan, Cakra resmi ditetapkan sebagai tahanan KPK atas tuduhan korupsi penggelapan dana proyek yang ia tangani dengan total kerugian mencapai hampir satu triliun rupiah. Kuatnya bukti yang dipaparkan petugas, membuat Cakra tidak bisa melawan.

Pemuda itu bahkan tidak bisa mengelak ketika Samudra berhadapan dengannya. Meskipun Samudra sangat kecewa dengan perbuatan Cakra, tetapi ia berusaha bersikap baik pada suami dari wanita yang masih menguasai hatinya. Samudra sadar, hal yang terjadi pada Cakra akan mempengaruhi Widya.

"Pak Cakra, saya ingin Anda mengatakan yang sebenar-benarnya."

Cakra tidak menjawab. Pandangannya tertuju pada puluhan dokumen yang terletak di meja, dan tidak menganggap keberadaan Samudra di hadapannya.

"Pak Cakra!" panggil Samudra dengan nada tegas.

"Saya ingin kamu jelasin semua secara jujur. Kalau emang ini ada kaitannya dengan Anastasya, saya janji akan berusaha ngurangin hukuman kamu. Asal, kamu harus ceritain semuanya. Sejujur-jujurnya."

Cakra yang mendengar nama Anastasya, refleks mengangkat wajahnya. Ia menatap Samudra dan beberapa detik kemudian tersenyum remeh.

"Kalau saya bilang ini ada kaitannya dengan Anastasya, apa semua akan berubah? Nggak, kan? Kamu sama perempuan licik itu sama aja. Dari awal, kalian sama-sama ingin manfaatin kerja keras saya!"

"Saya sama sekali nggak pernah berpikir mau manfaatin kamu. Saya, ngajak kamu kembali ke perusahaan karena kamu emang layak dapatin itu. Kinerja kamu bagus, makannya saya merasa rugi kalau kehilangan pegawai seperti kamu. Tapi kamu? Kamu justru jadiin itu sebagai cara untuk ngehancurin saya."

"Saya sekarang masih berbaik hati ingin dengerin penjelasan kamu tentang Anastasya. Supaya saya bisa mempertimbangkan semuanya. Saya nggak mau, nanti kalau kamu ditahan, Widya akan sedih."

Cakra memajukan tubuhnya dan meletakkan tangannya yang diborgol di atas meja. "Kamu nggak usah khawatir soal istri saya!" tegas Cakra.

"Apa jangan-jangan, selama ini kamu mau ngasih saya kerjaan, ngasih proyek yang untungnya gede, karena Widya?"

Samudra menggeleng dengan cepat. "Nggak bukan begitu. Saya memang masih belum bisa ngelupain Widya, tapi bukan berarti yang kamu bilang itu benar. Saya nerima kamu di perusahaan, murni karena kinerja kamu."

Cakra tersenyum tipis. "Untuk masalah Anastasya, kamu bisa tanya sendiri. Mau aku kasih tahu pun, rasanya percuma. Semua bukti ngarahnya ke aku."

"Pak Cakra. Meskipun semua bukti memberatkan kamu, tapi saya janji, kalau kamu ngasih tau yang sejujurnya sama saya, nggak cuma kamu yang nanggung ini semua."

"Sekarang aku mau tanya, apa selama ini aku cuma jadi alat untuk kalian?"

Samudra memundurkan tubuhnya dan bersandar di kursi. "Aku udah ngasih tahu kamu, kan? Kalau—"

"Kalau sebenarnya kamu dan Anastasya tahu aku orang dari masa depan. Aku datang ke sini untuk Widya, tapi malah dimanfaatkan untuk kepentingan kalian. Iya, kan?"

Samudra membulatkan matanya. "M-maksud kamu?"

Cakra tertawa. "Nggak usah pura-pura lagi. Aku udah tau, kalau selama ini kamu ngejaga aku di samping kamu supaya kamu bisa ngambil posisi aku. Kamu bisa jadi pendamping Widya di kehidupan ini setelah nyingkirin aku. Iya, kan?"

"Aku, aku nggak ngerti kamu ngomong apa."

"Udahlah ..."

Cakra berdiri dan memanggil petugas. "Pak, saya sama dia udah selesai bicara."

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang