-39-

39 14 2
                                    

Widya mantap dengan pilihannya. Meskipun dengan kondisi fisik yang belum pulih seutuhnya, ia berusaha keras untuk menyelesaikan skripsi agar bisa secepatnya sidang seperti perjanjian yang ia buat bersama Cakra. Untuk meminimalkan percekcokan dengan ibunya, Widya sengaja tinggal di asrama kampus bersama Ratih yang merupakan juniornya di organisasi.

Selama fokus dengan skripsi, Widya jarang menghubungi Cakra. Namun sebisa mungkin sebelum tidur di malam hari, ia akan mengirimkan pesan panjang tentang kesehariannya pada Cakra.

Sama halnya dengan Widya yang fokus dengan kesibukannya, Cakra juga berusaha untuk mencari pekerjaan ke sana-ke mari agar tidak bergantung pada uang dari Anastasya. Sejak Cakra diberhentikan dari perusahaan, ternyata Anastasya mengirimkan uang dalam jumlah besar ke rekening Cakra.

Tidak hanya itu, wanita itu juga meminta Cakra untuk pinda ke apartemen yang lokasinya tidak jauh dari perusahaan Samudra. Dalam pesan yang Anastasya kirimkan beberapa hari lalu, Cakra diminta pindah secepatnya karena Anastasya akan mulai menjalankan rencana untuk menghancurkan Samudra.

Cakra sengaja tidak menggunakan uang dari Anastasya sebelum ia benar-benar tahu rencana dari wanita itu. Ia tidak ingin berakhir sama seperti Putri. Maka dari itu, Cakra sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Hari semakin terik dan suasana Jakarta semakin menyesakkan dengan asap kendaraan yang mengganggu pernapasan. Cakra memutuskan untuk beristirahat di salah satu warung sate nasi Padang. Berbeda dengan kondisinya saat mencari kerja pertama kali, kali ini ia memiliki uang untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan karena tidak sarapan.

“Bu, nasi Padang satu sama es jeruk, ya,” ucap Cakra pada penjual yang kira-kira usianya mencapai seperempat abad.

Cakra memilih tempat paling sudut dan mengeluarkan ponselnya. Ia melihat aplikasi m-bangking dan menghitung angka yang tertera di layar. Berulang kali ia menarik napas karena bimbang dengan pilihan yang ditawarkan.

Di satu sisi, Cakra memang ingin membalas dendam pada Samudra. Ia juga ingin membahagiakan Widya dan membuktikan pada calon mertuanya, kalau orang miskin yang sering dihina bisa bangkit jika mau berusaha.

Hal itu memang sudah Cakra buktikan di kehidupan sebelumnya. Namun, melihat semua rencana tidak berjalan lancar di kehidupan kali ini, membuat Cakra buntu.

Di sisi lain, Cakra tidak ingin bertindak gegabah. Ia tidak mau salah langkah hanya karena harta. Apalagi, berulang kali Dimas memberi nasehat kepadanya agar tidak berakhir seperti Putri.

Meskipun Cakra tidak tahu kesalahan yang dilakukan Putri sampai harus berakhir tragis, tetapi Cakra yakin jika ia tidak berhati-hati pasti hidupnya akan berakhir seperti Putri.

Bukan hanya itu, bisa jadi dampak dari ketidak hati-hatiannya akan sampai pada Widya. Cakra mengepalkan tangannya merasa frustrasi dengan kebimbangan yang tak kunjung menemukan jawaban.

Bahkan ketika pesanannya sudah tersedia di meja, selera makan Cakra hilang entah ke mana. Perutnya yang tadi bersuara minta diisi, sepertinya kenyang dengan isi pikirannya. Cakra hanya menatap nasi padang dan es jeruk tanpa berniat menyentuhnya. Sampai tiba-tiba ponselnya berdering.

“Halo.”

“Halo, Mas.”

“Kenapa, Sayang?”

“Liat keluar, deh.”

Cakra mengalihkan pandangannya keluar dan mendapati sosok Widya tersenyum cerah sambil melambaikan tangan ke arahnya. Wanita itu masuk ke dalam warung dan langsung menghampiri Cakra. Ia tidak sendiri, melainkan bersama Rati.

“Mas makan di sini juga? Aku kira tadi salah orang.”

“Duduk,” ucap Cakra dengan senyum tipis.

Widya duduk berhadapan dengan Cakra, sementara Ratih duduk di sebelah Widya. Ratih yang belum mengenal Cakra, merasa canggung berada di dekat pemuda itu. Apalagi, aura Cakra yang terkesan mengintimidasi, membuat Ratih kembali berdiri dan pamit untuk melakukan pemesanan.

“Mas, kenapa mukanya asem banget, sih. Kasian juniorku nanti takut. Emang ada masalah apa?”
Cakra melebarkan senyuman meskipun terpaksa.

“Maaf, ya. Mas capek banget abis ngelamar ke sana ke mari tapi ditolak mulu.”

Widya menghela napas dan memegang tangan Cakra. “Mas yang sabar, ya. Tapi, btw, Mas belum cerita, loh, kenapa sampai dipecat.”

Cakra mengangguk. “Nanti, ya, kalau kamu udah nggak sibuk sama skripsi, dan Mas udah dapat kerjaan, Mas ceritain semuanya. Yang jelas, Mas nggak seperti yang dituduhkan orang-orang.”

“Mas tenang aja. Aku percaya Mas nggak kayak gitu.”
Ratih kembali setelah melakukan pemesanan. Hal itu membuat Widya terpaksa melepas tangannya dari tangan Cakra karena ia juga tidak enak bermesraan di depan orang lain apalagi orang yang ia kenal.

“Mas, kenalin ini Ratih. Junior aku di kampus sekaligus orang yang mau nampung aku sementara. Ratih, kenalin ini Mas Cakra.”

“Ratih,” ucap Ratih berusaha tersenyum seramah mungkin sambil mengulurkan tangan.

“Cakra, calon suami Widya.”

Ratih sangat terkejut dengan ucapan Cakra. Widya memang pernah menceritakan tentang hubungannya dengan Cakra, tetapi hanya sekilas. Selain karena Widya memang sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya, wanita itu juga merasa tidak perlu menceritakan tentang hubungannya pada siapapun hanya untuk mencari topik pembicaraan.

“Calon suami?” tanya Ratih memastikan.

“I-itu—“

“Kamu nggak cerita, Sayang?”

“Mas ...” panggil Widya malu.
Cakra hanya tertawa melihat wajah Widya yang memerah menahan malu. Namun, perhatian Cakra teralih ketika ponselnya kembali berdering dan menampilkan Samudra sebagai penelepon.

“Ngapain dia nelpon?”

“Angkat aja, Mas. Siapa tau penting, kan.”

“Ya udah. Mas angkat dulu, ya. Kalian tunggu di sini.”
Widya mengangguk dan membiarkan Cakra menjauh keluar dari warung agar bisa mendapatkan tempat yang tenang. Wajar saja, warung nasi Padang memang sedang ramai-ramainya apalagi di waktu makan siang. Ia dan Ratih saja, kalau bukan karena Cakra, mungkin mereka tidak mendapat tempat di sana.

Setelah mendapatkan tempat yang cukup tenang, barulah Cakra mengangkat panggilan Samudra.

“Halo?”

“Halo, Pak Cakra. Apa bisa kita bicara siang ini juga?”

“Bicara apa? Bicara sekarang aja. Saya sibuk.”

“Saya tau kamu nggak sibuk. Kamu di warung nasi Padang, kan? Saya sedang di kafe tepat di depan warung itu. Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Anda sekarang. Apa saya aja yang ke sana?”

“Nggak, nggak!”

Cakra langsung menolak karena tidak mau Widya bertemu dengan Samudra. Ia tidak mau, keduanya akan saling berhubungan entah alasan apapun itu.

“Saya aja yang ke sana. Tapi setelah makan soalnya saya udah pesan dan nggak mungkin ditinggalin gitu aja.”

“Ya udah, kalau gitu saya aja yang ke sana.”

“Nggak! Kalau saya bilang nggak, ya, nggak.”

Samudra menjauhkan ponsel dari telinganya karena merasa kaget dengan suara Cakra yang marah-marah. Ia pun hanya bisa pasrah ketika Cakra memutuskan sambungan secara sepihak. Mau tidak mau, Samudra harus menunggu sampai Cakra yang datang menemuinya. Meskipun, sebenarnya ia juga ada pekerjaan lain setelah ini.

Namun, hal penting yang harus ia bicarakan dengan Cakra tidak bisa lagi ditunda. Samudra memutuskan untuk menambah pesanannya sembari menunggu kedatangan Cakra.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang