-43-

32 15 6
                                    

Hari-hari yang Cakra hadapi semakin rumit. Banyak hal aneh yang terus terjadi dalam kehidupannya. Beberapa kali ia mendapatkan pesan dari orang tak di kenal, baik dalam bentuk surat maupun pesan singkat yang isinya menyuruh Cakra untuk membebaskan Anastasya.

Cakra berusaha mengabaikannya, tetapi semua hal yang ia rencanakan selalu mengalami kegagalan. Cakra selalu ditolak perusahaan, dan ia harus menghadapi semuanya sendirian karena tidak ingin mengganggu Widya yang besok akan sidang skripsi.

Pemuda dengan rambut acak-acakan khas orang bangun tidur, hanya bisa duduk termenung di atas tempat tidur sambil memandangi kota Jakarta yang macetnya luar biasa. Suara bising kendaraan memang sudah menjadi alarm untuk Cakra yang hampir dua tahun tinggal di kos sempit dengan keadaan yang sangat sederhana.

Satu hal yang Cakra khawatirkan. Karena keuangannya sedang tidak baik dan tagihan terus-menerus bertambah, Cakra terpaksa harus menggunakan uang dari Anastasya. Meskipun tidak banyak, tetapi melihat keadaannya yang tidak memiliki pekerjaan dan membutuhkan makan, membuat Cakra benar-benar kebingungan.

Cakra meraih ponsel yang terletak di atas meja samping tempat tidur dan melihat beberapa pesan yang masuk. Pesan-pesan misterius dari nomor berbeda yang sudah menjadi kebiasaan setiap kali Cakra membuka ponselnya, langsung dihapus tanpa dibaca. Ia hanya akan membuka pesan dari Widya dan membaca pesan dari nomor baru dari tempatnya melamar pekerjaan.

Lagi dan lagi, hanya pesan Widya yang menyenangkan untuk dibaca meskipun hanya berisi ucapan selamat pagi dan pertanyaan klise seputar makan atau belum. Selain itu, semuanya berisi penolakan dari tempat Cakra memasukkan lamaran.

Cakra menarik napas panjang dan membuangnya dengan perasaan berat. Ia meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. Baru saja akan menurunkan kakinya di lantai, ponsel Cakra berdering. Panggilan dari Samudra.

Cakra memicingkan mata dan hanya menatap layar ponsel sampai panggilan berakhir. Ia mengira, setelah itu Samudra tidak akan menghubunginya lagi, tetapi dugaan Cakra salah. Karena meskipun diabaikan beberapa kali, Samudra tetap menelepon kembali.

Dengan terpaksa, Cakra akhirnya mengangkat panggilan Samudra. “Halo.”

“Halo, aku di depan kosan kamu. Ada hal penting yang mau aku bicarain.”

“Hah?!”

Cakra langsung menengok ke jendela dan mendapati Samudra melambaikan tangan ke arahnya. Hal itu berhasil membuat Cakra bergidik geli. Bagi Cakra, hal aneh jika Samudra datang pagi-pagi ke tempatnya.

Meskipun tidak begitu menyukai drama, tetapi Cakra cukup tahu adegan romantis saat pemain pria mendatangi kekasihnya di pagi buta atau saat hujan untuk mengatakan sesuatu.

Namun memikirkan Samudra yang melakukan itu padanya, membuat Cakra tidak bisa menepis pikiran buruk tentang pemuda itu. Ia langsung menutup gorden jendela.

“Halo, Pak? Aku tunggu di bawah, sekarang.”

“Nggak. Saya nggak mau. Kamu mending pulang aja, aku masih normal.”

Terdengar suara Samudra yang mulai meninggi dari seberang telepon karena tidak terima dengan tuduhan Cakra. Ia sudah tahu maksud dan tujuan Cakra mengatakan hal itu.
“Kalau bukan karena hal penting yang mau aku bicarain, ogah datang ke sini pagi-pagi cuma untuk nemuin kamu, ya. Udah, nanti saya jelaskan. Kamu turun sekarang, kita bicara sambil sarapan.”

Samudra langsung memutuskan panggilan. Cakra yang masih sulit menepis pikirannya tadi, akhirnya turun ke bawah untuk menemui Samudra.

Setibanya di depan Samudra, Cakra benar-benar terkejut dengan penampilan pemuda itu. Tidak kalah acak-acakan dengan penampilannya saat ini yang hanya mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu dan celana pendek sampai lutut berwarna hitam.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang