-67-

27 8 0
                                    

Setelah kondisi Cakra dinyatakan sembuh, ia diizinkan untuk pulang. Cakra dan Widya sepakat untuk pulang ke rumah Cakra setelah membicarakan dengan Ibu yang semalam menyempatkan waktu untuk menjenguk Cakra bersama tante Widya.

Ibu juga meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Ia akan berusaha menjadi mertua terbaik untuk Cakra dan Ibu yang baik untuk Widya dengan tidak mengganggu kebahagiaan mereka.

Sesuai kesepakatan awal, mereka hanya akan tinggal satu minggu di rumah Ibu dan setelahnya akan menetap selamanya di rumah yang Cakra beli dari hasil kerja kerasnya. Karena alasan kesehatan Cakra yang belum pulih sepenuhnya, Widya memaksa untuk menyetir dari rumah sakit.

Widya memang bisa menyetir sendiri, tetapi tidak berminat membawa mobil. Ia lebih memilih untuk ke mana-mana berjalan kaki atau menaiki angkutan umum. Namun, ada beberapa kondisi yang mengharuskan wanita itu menggunakan kemampuannya menyetir seperti saat ini.

Cakra belum pernah membawa Widya ke rumah barunya, sehingga pemuda itu mengarahkan istrinya selama perjalanan. Sebenarnya, Cakra khawatir dengan cara menyetir Widya yang menurutnya menyeramkan. Istrinya itu terlihat masih sangat berhati-hati. Wajar saja, setelah mendapatkan SIM-nya, Widya baru dua kali mengendarai mobil sendiri, sehingga ia masih perlu berhati-hati.

Setelah melewati berbagai macam rintangan karena cara menyetir Widya, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah berlantai dua dengan gaya modern. Widya sedikit ragu ketika Cakra menyuruhnya berhenti.

"Di sini, Mas?" tanya Widya memastikan.

"Iya. Bunyiin klakson, gih, biar Dimas bisa bukain gerbang."

"Beneran?" tanya Widya lagi.

"Kamu nggak percaya ini rumah Mas?"

"Bukan nggak percaya. Tapi kaget aja, sumpah. Aku kagum banget sama kamu, Mas. Makasih banyak, ya."

Widya langsung memeluk Cakra. Meskipun rumah yang akan ia tempati tidak sebesar rumah pemberian kedua orang tuanya, tetapi kesan pertama ketika melihat rumah Cakra adalah kenyamanan. Hal yang selama ini Widya rindukan dari sebuah tempat bernama rumah. Ia bisa membayangkan, momen-momen hangat yang akan ia lewati bersama Cakra nanti.

Cakra hanya tersenyum dan membiarkan Widya memeluknya erat. "Kamu nangis?" tanya Cakra yang langsung melepas pelukan istrinya.

"Lah, kok, malah nangis, Sayang. Kenapa?" Cakra mengusap pipi Widya.

"A-aku jadi ingat Ayah, Mas. Dulu waktu kita beli rumah di Jakarta, aku senang banget kayak sekarang."

Cakra tersenyum dan kembali memeluk Widya. "Ya udah. Nangis dulu, ya. Sepuasnya."

Widya mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya. Tanpa mereka sadari, sejak tadi Dimas sudah berdiri di depan gerbang menunggu mobil Cakra masuk. Karena merasa yang ditunggunya tidak bergerak, akhirnya Dimas mendekat dan mengetuk pintu mobil. Hal itu membuat Widya dan Cakra langsung melepas pelukan mereka. Widya tersenyum dan menurunkan kaca jendela.

"Jadi masuk nggak?" tanya Dimas pura-pura memasang wajah kesal.

Widya tersenyum. "Maaf, ya, Dim."

Widya membunyikan klakson sebagai isyarat agar Dimas mundur karena ia akan memasukkan mobil ke dalam garasi. Dimas membantu Cakra yang masih lemah untuk turun dari mobil, sementara Widya membawakan dua tas yang berisi pakaian mereka.

"Di mobil masih ada?" tanya Dimas pada Widya setelah membaringkan Cakra di tempat tidur.

"Masih ada dua koper lagi."

"Ya udah. Biar aku aja yang bawa ke sini. Kamu temenin Kak Cakra."

"Makasih, Dimas."

Dimas tersenyum dan menepuk pundak Widya. "Jagain Kak Cakra, ya."

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang