-16-

71 25 5
                                    

Semakin Cakra memikirkan tentang alasan ia menjadi orang beruntung yang bisa kembali ke masa lalu, hal itu semakin membuatnya kebingungan. Ia sudah berusaha bertanya pada Dimas, tetapi pemuda itu selalu menyuruhnya untuk mencari jawaban sendiri.

“Takdir saya dan takdir Bapak beda. Bisa jadi, yang terjadi sama kehidupan saya, tidak terjadi di kehidupan Bapak. Semua jawaban akan Bapak temukan ketika Bapak tau hal paling penting yang membuat Bapak rela memutar waktu.”

Begitulah ucapan Dimas sehari sebelum Dimas memutuskan untuk resign. Bukannya mendapat jawaban, Cakra justru tambah dibuat bingung dengan tindak Dimas yang tiba-tiba menghilang.

Hal itu menjadi alasan Cakra berada di depan rumah Widya. Selain untuk menghilangkan rasa rindu padahal baru saja bertemu, Cakra juga ingin menanyakan tentang Putri pada Widya.

Sesuai janji, Cakra datang tepat pukul tujuh malam. Ia memutuskan untuk langsung singgah di rumah Widya setelah pulang dari bekerja.

“Mas, maaf, ya, lama. Tadi aku bersih-bersih dulu,” ucap Widya yang membukakan pintu untuk Cakra.

“Nggak lama, kok. Kamu udah makan?”

“Belum. Oh, masuk dulu, Mas.”

Cakra dengan sikap yang sopan masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi sofa ruang tamu Widya. Meskipun bukan pertama kali duduk di rumah Widya, tetapi atmosfer menegangkan seperti saat ia pertama kali diundang sangat terasa.

“Aku buka pintunya, ya. Sambil nunggu Ibu juga.”

“Emang Ibu ke mana?”

“Tadi sore jengukin anak temannya yang lahiran. Tapi, katanya udah di jalan pulang.”

Cakra mengangguk paham. Ia optimis, akan disambut dengan baik di rumah besar ini. Cakra masih ingat, perlakuan Ibu mertuanya yang sangat baik ketika mengetahui Cakra adalah seorang yatim piatu.

“Aku—“ ucap Cakra dan Widya bersamaan.

Keduanya sama-sama tersipu dan saling menghindari pandangan. Baik Cakra maupun Widya belum terbiasa dengan situasi ini.

Satu hal yang perlu orang lain tahu, Cakra sama sekali belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Widya adalah wanita pertama yang mengajarkannya tentang cinta. Bukan hanya cinta terhadap lawan jenis saja, tetapi juga cinta kepada semua makhluk terutama manusia.

Sama halnya dengan Cakra, Widya pun demikian. Wanita itu terlalu fokus dengan pendidikan dan hampir seluruh hidupnya digunakan untuk belajar memahami orang lain. Rasa cinta yang selama ini hanya ia tahu dari buku atau drama Korea, tidak benar-benar bisa dipahami sepenuhnya.

Barulah ketika Widya bertemu Cakra, ia akhirnya bisa paham betapa indahnya sebuah rasa yang disebut dengan cinta. Rasa yang selama ini hanya dibaca, kini bisa ia praktekan di dunia nyata.

“Mas duluan.”

“Nggak, kamu aja.”

“Nggak pa-pa. Mas, kan, ke sini mau ngomong sesuatu. Jadi, Mas duluan aja.”

“Tapi kamu, kan, pemilik rumah. Jadi, kamu duluan.”

“Kok, jadi debat gini, sih?” tanya Widya mengerutkan dahinya.

Widya baru menyadari satu hal. Ternyata, Cakra memang memiliki sisi menyebalkan, yaitu tidak mau mengalah. Widya sekarang paham, alasan Samudra sangat kesal ketika berada di dekat Cakra.

Namun, bagi Widya rasa kesal itu berubah menjadi sesuatu yang membuatnya semakin tertarik pada Cakra. Sikap Cakra yang memberi kesan keras kepala, sikap Cakra yang tidak mau mengalah, adalah sesuatu yang Widya butuh.

Ibaratnya magnet yang saling tarik-menarik, sisi negatif Cakra akan sempurna jika disandingkan dengan sisi positif Widya. Widya yang selalu mengalah, jelas sangat cocok untuk Cakra yang keras kepala.

“Ya, udah. Kalau gitu, aku yang duluan,” ucap Widya mengalah.

“Aku mau ajak Mas makan malam di sini. Bareng aku sama Ibu. Mau, kan?”

“Emang nggak pa-pa?”

“Ya, nggak pa-pa. Justru, Ibu pasti senang karena bisa kenal Mas. Aku udah cerita tentang Mas sama Ibu.”

“Cerita tentang Mas? Yang jelek-jelek, nggak?”

“Nggak, lah. Aku itu cerita sama Mama, kalau aku udah nemuin laki-laki yang bisa ajarin aku cinta. Mama pernah bilang, ‘kita akan mengenal arti dari cinta, kalau kita sudah menemukan orang yang menjadi tokoh utama dalam cerita kita.' "

"Ketika aku ketemu Mas, aku merasa Mas itu orang yang aneh. Tapi, makin ke sini, aku makin merasa bersyukur karena bisa kenal orang aneh ini,” ucap Widya sambil tertawa.

Cakra yang mendengar ucapan itu, ikut tertawa. Bukan hanya Widya yang bersyukur, Cakra juga.

“Sekarang giliran Mas. Tadi mau bilang apa?”

Cakra mengatur posisi duduknya. Jujur saja, ia belum selesai dengan rasa senang karena ucapan Widya tadi. Namun, melihat wajah Widya yang memerah dan sadar kalau pertanyaan yang wanita itu lontarkan adalah bentuk untuk melarikan diri dari situasi yang membuatnya canggung, akhirnya Cakra membiarkan kesenangan itu tertunda dulu.

“Begini .. Mas ke sini mau menanyakan tentang Putri. Teman kamu yang waktu itu di bawa ke kantor. Apa kamu ada kontaknya?”

“Putri? Aku nggak begitu kenal sama dia, Mas. Bahkan, untuk dibilang teman saja, tidak. Karena kita nggak sedekat itu Waktu itu, ada kejadian di kampus yang buat aku sama Pak Samudra nolongin dia."

"Setelah itu, aku nggak pernah lagi ketemu Putri dan nggak pernah juga minta nomornya. Memangnya kenapa, Mas? Apa ada sesuatu?”

Cakra hanya diam. Pikirannya benar-benar buntu. Ia yakin, kepergian Dimas secara tiba-tiba ada kaitannya dengan pembicaraan di roof top.

“Mas?” panggil Widya.

“Eh, iya .. Maaf.”

“Emang kenapa?”

“Nggak, nggak pa-pa, kok. Oh, kalau nanti kamu ketemu Putri di kampus, kasih tau Mas, ya.”

Widya hanya mengangguk dengan raut wajah yang heran. Keduanya mendengar suara mobil.

“Ibu udah pulang. Bentar, ya.”

Widya berjalan ke garasi dan menunggu ibunya selesai memarkirkan mobil. Beberapa saat kemudia, sosok yang ditunggu mendekat ke arahnya. Widya sudah tidak sabar ingin memperkenalkan Cakra pada ibunya.

“Kenapa senyum-senyum? Lagi senang, ya?” tanya Ibu setengah meledek.

Widya mengalungkan tangannya di lengan Ibu yang membuat wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya.

“Di dalam, ada cowok yang pernah Widya ceritain,” bisik Widya.

“Cakra?”

Suara Ibu yang sangat keras sampai membuat pemilik nama yang menunggu dengan tenang, bisa mendengarnya. Hal itu berhasil membuat Widya panik.

“Ibu, jangan kencang-kencang. Widya malu."

Ibu hanya tertawa kecil. “Ya, udah. Ayo masuk. Ibu nggak sabar pengen ketemu sama calon mantu.”
Widya tersipu malu dan mengikuti langkah ibunya masuk ke dalam rumah. Cakra yang sudah berdiri, langsung menyalami Ibu Widya.

“Oh, jadi ini cowok yang kamu bilang, Wid. Ibu kira kayak gimana.”

Cakra dan Widya yang mendengar ucapan Ibu, langsung saling berpandangan. Widya yang sangat tahu sikap ibunya jika tidak menyukai sesuatu, langsung memberi kode dengan menyikut perut ibunya pelan.

“Kamu kerja di mana? Jadi apa? Sekarang, sudah punya apa?”
“Ibu, kok, nanya begitu?”

“Ya, nggak pa-pa, kan? Kamu pacarin anak saya, mau dinikahin, kan?”

“I-iya, Bu. Saya pasti akan menikahi Widya.”

Ibu menatap Widya dan melepas tangan putrinya. “Kalau mau nikahin anak saya, minimal kamu datang ke sini nggak pakai pakaian biasa seperti ini.”

“Ibu!” Widya tidak tahan dan tanpa sadar meninggikan suaranya.

“Kamu udah berani, ya, teriak di depan Ibu?!”

“B-bukan begitu, Widya cuma—“

“Mohon maaf, Bu, Widya,” potong Cakra.

“Sepertinya, kehadiran saya di sini nggak begitu baik. Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu.”

“Mas, tapi—“

Widya yang hendak menyusul Cakra, langsung ditarik ibunya. “Biarin dia pergi. Laki-laki kayak gitu, nggak pantas diperjuangkan!”

Cakra yang masih sempat mendengar ucapan terakhir Ibu Widya, hanya bisa tersenyum pilu. Ia pulang membawa kepahitan yang tidak disangka diberikan oleh seseorang yang di kehidupan sebelumnya selalu memberi cinta. Cakra tidak mengerti, alasan dari kehidupannya kali benar-benar rumit.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi 👋

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang