-44-

36 15 2
                                    

Selama perjalanan ke rumah Samudra, Cakra terus memandangi pesan yang dalam kertas yang diberikan Samudra. Ia yakin, pasti ibu Samudra pasti ada kaitannya dengan orang yang sering mengirimkan pesan misterius untuknya. Dilihat dari tulisan serta kertas yang digunakan, jelas pengirimnya pasti orang yang sama.

"Sam, apa aku bisa ketemu sama Ibu kamu?"

Samudra tidak menjawab dan fokus menyetir mobil sampai keduanya tiba di depan rumah. Sebelum turun, Samudra menatap Cakra dengan tatapan sendu. Bukan untuk pemuda di hadapannya, melainkan untuk dirinya sendiri.

"Ibuku udah meninggal."

"Hah? Terus ini?"

"Aku juga nggakk tau kenapa Papa ngasih itu ke aku. Ibuku udah meninggal satu tahun lalu dan alasan aku nerima tugas dari Papa untuk lanjutin perusahaan, karena itu amanah terakhir ibuku. Kalau nggak, mungkin aku akan milih lanjut kuliah dan lanjutin karir di luar negeri dari pada di sini."

"Tahun lalu bulan apa?" tanya Cakra antusias.

"Bulan Februari. Kenapa?"

"Februari?" tanya Cakra memastikan.

Cakra langsung mengambil ponselnya dan membuka kalender. Ia sengaja mencatat waktu pertama kali ia kembali ke masa lalu.

"Tanggal 21?"

Samudra diam dan menatap Cakra heran. "Gimana kamu tau?"

"Jadi benar? Ibu kamu meninggal 21 Februari tahun lalu?"

"Iya, benar. Tapi kenapa?"

"Ayo turun."

Tanpa menunggu Samudra, Cakra langsung turun dari mobil. Dengan cepat, Samudra juga melakukan hal yang sama dan menyusul Cakra yang berjalan lebih dulu di depannya. Saking cepatnya langkah Cakra, Samudra harus berlari untuk menyamakan langkah mereka.

Saat tiba di depan teras, keduanya terkejut dengan kehadiran Anastasya. Wanita itu tidak tersenyum seperti biasa. Tatapannya datar dengan penampilan yang jauh dari kata mewah seperti biasanya.
Anastasya hanya mengenakan kaus hitam dengan celana kain yang juga berwarna dan rambutnya dibiarkan terurai. Wajahnya polos tanpa sentuhan make up tetapi tidak melunturkan kecantikannya.

Bukan hanya Cakra yang terkejut melihat penampilan Anastasya, Samudra juga. Karena sejak pindah dari rumah lama dan menetap di rumah utama, Anastasya sangat tidak pernah berpenampilan polos seperti sekarang dan selalu berpenampilan seolah-olah tidak ingin terkalahkan.

"Selamat datang, Cakra. Kamu ke sini nyariin ini, kan?"

Anastasya memperlihatkan kotak hitam berukuran sedang yang menjadi tempat Samudra menyimpan kenang-kenangan bersama ibunya. Samudra yang tidak terima Anastasya memegang benda berharganya, langsung merebut kotak itu.

"Upsss ..." ejek Anastasya.

Cakra dan Samudra terkecoh dengan penampilan Anastasya. Nyatanya, kepolosan yang ia perlihatkan tidak mengubah kelicikan dalam dirinya.

"Mau kamu apa, sih?! Kamu juga kenapa bisa di sini, bukannya di penjara?"

Anastasya tertawa remeh. "Aku kira, Cakra yang akan nyelamatin aku. Ternyata, nggak, ya."

Cakra hanya diam dan menatap Anastasya dengan tatapan bingung. Andai ia bisa tidak terlibat dengan keluarga ini, pasti Cakra akan langsung meninggalkan rumah itu.

"Apapun masalah kalian, aku nggak mau terlibat. Aku datang ke sini cuma mau mastiin sesuatu. Samudra, apa aku bisa lihat fotonya?"

Samudra menatap tajam ke arah Anastasya sebelum mengajak Cakra masuk ke dalam. Samudra sengaja menabrak pundak Anastasya sampai membuat wanita itu hampir terjatuh. Untung saja, Cakra dengan siaga menyanggah tubuh Anastasya.

"Kamu nggak pa-pa?" tanya Cakra.

Samudra sudah berjalan lebih dulu di depannya meskipun tahu Anastasya hampir terjatuh. Bagi Samudra, Anastasya adalah nenek sihir yang selalu menjadi antagonis dalam dongeng yang ia dengar dari ibunya.

"Nggak pa-pa."

Cakra membantu Anastasya berdiri. Meskipun ia membenci Anastasya, tetapi Cakra tetaplah manusia dan tetap laki-laki. Ia tidak mungkin membiarkan seorang wanita jatuh di depan matanya sendiri padahal ia berkesempatan menolongnya.

"Makasih, ya," ucap Anastasya tersenyum genit.

Cakra hanya tersenyum remeh dan meninggalkan wanita itu. Baginya, kecantikan Anastasya tidak mampu mengalahkan kecantikan Widya. Apalagi, Cakra sudah tahu tentang kelicik wanita itu.

Cakra yang terus berjalan tanpa tahu tujuan, merasa tersesat karena besarnya rumah milik keluarga Jayaputra. Ia merasa lagu melangkah ketika tiba di ruangan yang dipenuhi ribuan buku. Ruangan yang lebih tepat disebut perpustakaan itu, memiliki gaya vintage yang membuat siapa saja yang masuk akan merasa seperti kembali ke masa lalu.

Cakra melupakan tujuannya masuk ke dalam rumah itu. Ia yang dulu bermimpi memiliki perpustakaan pribadi di rumah sendiri, sangat takjub dengan ruangan itu. Cakra memutar tubuhnya agar bisa melihat sekeliling ruangan. Pandangannya tertuju pada sebuah buku yang terletak di lantai dua.

Tanpa rasa ragu, Cakra naik ke lantai dua dan mendekat ke arah buku tersebut. Buku yang memiliki warna berbeda dari buku-buku lainnya, membuat Cakra penasaran alasan tuan rumah meletakkan buku berwarna merah menyala, di dekat buku-buku berwarna gelap.

Saat Cakra ingin menyentuhnya, tiba-tiba saja Samudra berteriak, "jangan disentuh!"

Cakra yang merasa terkejut langsung melihat ke bawah. Samudra menatap tajam ke arahnya dan beberapa saat kemudian, pemuda itu mendekat ke arah Cakra.

"Jangan sentuh buku itu."

"Tapi kenapa?"

"Itu buku almarhumah ibuku. Dia nggak pernah biarin aku sentuh buku itu sampai meninggal dunia dan aku nggak mau ada orang lain yang nyentuh."

Cakra mengangguk. "Aku minta maaf karena udah lancang masuk ke sini. Tadinya mau nyari kamu tapi malah tersesat sampai masuk ke sini."

Samudra yang berhasil mengontrol emosinya, mengangguk. "Kita bicara di taman belakang."

Cakra langsung mengikuti Samudra dari belakang dengan perasaan bersalah karena kejadian tadi. Saat tiba di taman, Samudra langsung mempersilakan Cakra untuk duduk.

"Aku mau minta maaf lagi soal tadi. Aku nggak bermaksud lancang."

"Nggak pa-pa. Kamu ke sini mau lihat foto ibuku, kan?"

Cakra mengangguk. Samudra meletakkan kotak hitam di atas meja bundar yang membatasi antara ia dan Cakra. Dalam kotak itu berisi puluhan lembar foto dan beberapa barang yang diberikan ibunya sejak kecil. Bahkan surat-surat yang ibunya tulis untuk papanya, sengaja Samudra kumpulkan sebagai kenang-kenangan.

Samudra memilih foto ibunya yang mengenakan gaun putih sedang duduk dengan rambut yang dibiarkan terurai. Foto yang paling Samudra sukai karena menggambarkan betapa anggun dan berkarismanya wanita di dalam foto itu. Wanita yang selalu ia rindukan, dan menjadi alasan ia menyukai Widya.

"Ini," ucap Samudra mengulurkan foto ibunya.

Cakra gemetar menerima foto dari Samudra. Ia benar-benar takut jika dugaannya benar.

"Wanita ini ..." Cakra sangat terkejut dengan foto ibu Samudra.

Tiba-tiba, ia merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. Cakra meremas dadanya sangat kuat karena merasa jantungnya seperti direbut paksa. Cakra kesulitan bernapas, bahkan wajahnya memerah menahan sakit yang luar biasa.

"Cakra!" pekik Samudra yang langsung mendekati Cakra.

"Kamu kenapa?"

Cakra tidak menjawab karena rasa sakit membuatnya kesulitan untuk bersuara. Perlahan, Cakra merasa pandangannya kabur. Akhirnya ia terjatuh tidak sadarkan diri. Samudra langsung menelepon ambulance untuk membawa Samudra ke umah sakit.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca
Sampai ketemu lagi

☆☆☆


Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang