-34-

35 13 0
                                    

Perasaan putus asa yang dirasakan Cakra, membuatnya berjalan tanpa arah. Ia benar-benar malu untuk bertemu Widya. Rasanya, semua yang diperjuangkan percuma. Rencana untuk melamar Widya dalam waktu dekat, sepertinya harus ditunda dalam waktu lama.

Meskipun Cakra bukan terlahir dari keluarga berada dan sejak kecil harus berjuang lebih keras dari anak-anak seusianya, tetapi ia bertekad untuk tidak mewariskan kemiskinan pada keturunannya. Oleh sebab itu, Cakra ingin menikah setelah dirasa cukup mapan atau setidaknya memiliki pekerjaan yang bisa menjamin kehidupan pernikahan.

Namun, melihat keadaannya saat ini, Cakra harus menunda mimpinya. Ia tidak mungkin nekat melamar Widya dengan tangan kosong, meskipun sebenarnya Cakra sudah memiliki tabungan.

Jika di kehidupan sebelumnya ibu Widya bisa yang memberikannya semangat dan meyakinkan bahwa rezeki pernikahan itu benar adanya, kali ini ia juga harus berjuang mendapatkan restu itu.

Pikiran Cakra semakin buntu. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Untuk mendapatkan pekerjaan di kantor Samudra saja, bisa dibilang sebuah keberuntungan karena Dimas membantunya.

Hal yang Cakra pikir kan saat ini adalah penghinaan dari ibu Widya. Bahkan saat ia memiliki pekerjaan yang terbilang cukup mapan, ia masih di pandang sebelah mata, apalagi sekarang.

Cakra menghentikan langkahnya di depan rumah sakit tempat Widya di rawat. Ia menggigit bibir sekuat-kuatnya untuk menekan air mata yang sudah menggenang. Cakra menatap jendela ruangan Widya di rawat yang berada di lantai tiga.

Dari jarak yang cukup jauh, Cakra bisa melihat Widya sedang membaca buku sambil menghadap jendela. Ingin sekali ia datang menemui Widya dan menumpahkan segala kesedihannya di depan wanita itu.

Namun, ia tidak mungkin melakukan hal ini sekarang. Mengingat kondisi Widya yang belum memungkinkan untuk banyak pikiran, Cakra akhirnya berbalik untuk pulang.

Saat ingin meninggalkan rumah sakit, sebuah mobil biru berhenti di depan Cakra. Hal itu berhasil membuat Cakra menghentikan langkahnya. Ia sudah tahu siapa yang mengemudikan mobil itu.

“Hai,” sapa Anastasya dengan senyuman yang disengaja dibuat menggoda.

“Masih berani kamu ke sini?!”

“Masuk dulu, aku mau bicara.”

“Nggak sudi!”

“Hey, hey .. kamu harusnya sadar diri. Sekarang, kamu nggak punya pilihan selain nurut apa kataku. Oh, kamu mungkin belum tau. Besok malam, akan ada makan malam keluarga yang membahas tentang perjodohan Samudra dan Widya. Ayahku akan pulang hari ini dan katanya, lebih cepat lebih baik. Gimana? Apa informasi itu cukup buat kamu mau masuk ke mobilku?"

Cakra mengepalkan tangannya. Ia benar-benar tidak sudi terlibat dengan Samudra apalagi Anastasya. Namun, Cakra tidak mungkin mengabaikan mereka begitu saja. Ada hubungannya dengan Widya yang harus dipertaruhkan.

Akhirnya, Cakra masuk ke dalam mobil. Anastasya tersenyum dan ikut masuk ke dalam mobilnya dengan perasaan senang karena berhasil memancing Cakra. Anastasya menyetir dengan kecepatan sedang.

“Kamu mau bicara apa?”

“Kita makan dulu. Aku udah lapar, nih. Kamu pasti belum makan siang, kan? Tenang aja, biar aku yang traktir. Kamu mau makan apa?”

“Kamu kira aku duduk di sini cuma mau basa-basi doang? Sekarang jelasin kamu mau apa?”

“Is, galak banget.” Anastasya memperbaiki posisi duduknya dan semakin memperlambat laju mobil.

“Ini soal tawaran aku waktu itu. Jujur aja, aku sangat kecewa karena kamu nolak tawaran sebelumnya. Tadinya aku nggak mau make kamu lagi.”

“Terus? Kamu kira aku akan berubah pikiran? Jawabannya tetap sama. Nggak!” tegas Cakra sambil melihat ke arah Cakra.

Saat Cakra ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Panggilan dari Widya membuatnya panik. Cakra baru ingat kalau ia berjanji untuk menemani Widya setelah urusannya selesai. Selain itu, ia juga merasa bersalah karena berada dalam satu mobil dengan Anastasya yang jelas-jelas adalah orang yang Widya tidak sukai.

“Angkat aja. Aku diam, kok.”

Dengan perasaan ragu, akhirnya Cakra mengangkat teleponnya. “Halo.”

“Halo, Mas. Masih di kantor?”

Cakra terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia berbohong kalau ia masih di kantor, padahal sebenarnya tidak.

“Mas? Kok, diam? Lagi di mana? Jadi nggak ke sini? Soalnya Dimas mau pergi, nih.”

“I-iya. Mas masih di jalan. Masih ada urusan sebentar, nanti Mas ke sana, ya. Salam sama Dimas. Bilang makasih udah jagain kamu.”

“Benar, ya? Aku tunggu, loh.”

“Iya, Sayang,” ucap Cakra dengan tersenyum.

Meskipun sebenarnya, ia tidak bisa memastikan perkataannya tadi. Cakra butuh waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan langkah yang selanjutnya akan ia ambil. Satu hal yang pasti, Cakra belum siap untuk menemui Widya.

“Udah, kan?” tanya Anastasya setelah memastikan panggilan telepon dari Widya sudah terputus.

“Aku nggak mau jadi orang jahat.”

“Siapa yang bilang aku mau jadiin kamu orang jahat? Orang aku ngajak kamu kerja sama. Kita akan jadi partner untuk mendapatkan hak aku.”

“Bukannya kamu mau rebut perusahaan dari Samudra? Kalau bukan hal jahat, lantas itu apa?” tanya Cakra dengan nada yang mulai meninggi.

Meskipun Cakra membenci Samudra, tetapi ia tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Seperti yang sudah-sudah, Cakra paling benci dituduh pencuri.

Anastasya tersenyum kecil dan menghentikan mobilnya. Wanita menatap Cakra dengan tatapan serius. Baru kali ini, Cakra melihat tatapan Anastasya benar-benar beda. Tidak ada kesombongan dari tatapan itu, hanya sebuah tatapan sendu yang Cakra tidak tahu mengartikan apa.

“Aku dan kakakku, nggak dapat apa-apa setelah Samudra diangkat sebagai pewaris. Kakakku harus menikah di usia yang masih sangat muda demi perusahaan. Emang, kakakku nggak sama kayak aku yang selalu memberontak. Dia penurut, Cak.”

Anastasya menjeda kalimatnya. Perlahan, air mata wanita itu menetes. Pipi mulus yang dipoles make up tipis, basah dengan air mata.

“Kakak aku rela dipukul, diselingkuhin, bahkan harus bolak-balik ke psikiater karena stres. Keluarga suaminya nggak pernah memperlakukan ia seperti manusia. Dia dituntut untuk serba bisa tapi masih sering dipandang sebelah mata. Saat dia ngeluh sama Ayah, kamu tau apa yang Ayah bilang?”

Anastasya tertawa miris. “Katanya itu resiko jadi perempuan. Kakakku cuma punya dua pilihan. Bertahan, atau milih pisah dengan syarat dia nggak boleh balik ke rumah. Aku nggak mau kayak gitu. Aku nggak sudi hidup di bawah kaki laki-laki. Makannya, aku kabur dari rumah waktu masih SMA dan bawa kabur uang Ayah untuk keluar negeri. Aku kerja dan akhirnya bisa kuliah di sana. Aku berusaha mati-matian ngubah nasib aku di keluarga ini.”

“Aku berusaha untuk dapat prestasi sana-sini agar bisa layak di mata Ayah. Tapi apa? Setelah aku balik ke Indonesia dan bekerja di perusahaan, ngembangin perusahaan, aku bangun koneksi di mana-mana sampai akhirnya bisa terkenal di luar negeri, aku disingkirin begitu aja. Samudra yang katanya mau jadi dosen, tiba-tiba gabung dengan perusahaan dan aku dibuang. Apa menurut kamu aku masih pencuri? Aku juga punya hak di perusahaan, kan?”

Cakra hanya diam mendengarkan penuturan Anastasya yang terlihat penuh emosional. Siapapun yang melihat wanita itu kini, akan percaya bahwa ia tidak berbohong sama sekali. Air mata Anastasya menjadi saksi betapa pahit jalan yang ia lalui.

Cakra menarik napasnya dalam-dalam. Ada rasa sesak yang ia rasakan setelah mendengar curahan hati wanita di sampingnya. Ia sangat tahu rasanya berjuang, tetapi berakhir dengan pengkhianatan.

“Baiklah. Aku akan membantumu,” ucap Cakra yakin.

Anastasya tersenyum dan refleks memeluk Cakra. Wanita itu memang sengaja memilih Cakra. Ia merasa melihat banyak kesamaan di antara mereka.

Sama-sama memiliki semangat untuk mengubah takdir yang ditetapkan, sama-sama memiliki garis perjuangan yang tidak pernah diperlihatkan pada orang lain, dan sama-sama pandai menutupi kekurangan.

Cakra yang sebenarnya tidak nyaman dengan tindakan Anastasya yang memeluknya tiba-tiba, hanya bisa terdiam. Ia tidak setega itu melepaskan pelukan seseorang yang membutuhkan. Apalagi, saat ini Cakra mulai berempati terhadap kisah hidup Anastasya yang tidak sebaik yang terlihat.

Cakra tahu betul, rasanya berpura-pura untuk kuat. Cakra juga tahu alasan seseorang yang tadinya hanya biasa bertahan, berubah menjadi melawan. Karena ia juga demikian. Cakra ingin berubah dan melawan ketidakadilan.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang