-25-

41 19 4
                                    

Perbuatan Anastasya dan sikap Cakra yang hanya mendiamkan semuanya, membuat Samudra dan seluruh pegawai di perusahaan kelabakan. Mereka terus-terusan mendapat komplain dari klien-klien besar yang sudah menunggu-nunggu peluncuran mobil terbaru. Bahkan, beberapa dengan terang-terangan mengaku sangat kecewa dan memutuskan kerja sama.

Pembatalan uji coba yang terjadi, jelas saja berdampak pada banyak aspek. Kepercayaan pemegang saham dipertaruhkan karena kelayakan Samudra sebagai pemimpin dipertanyakan. Banyak rumor beredar yang memfitnah Samudra dengan mengatakan bahwa Samudra sengaja membatalkan uji coba karena memang produk baru yang mereka gadang-gadang akan membawa nama baik Indonesia di bidang transportasi, hanya sebuah retorika.

Tanpa Samudra tahu, beberapa pemegang saham justru lebih condong pada Anastasya yang notabene merupakan putri dari istri sah pemimpin sebelumnya yang diakui semua orang. Di tengah keadaan yang begitu kacau, Samudra juga mendapat panggilan dari Universitas.

Kesibukan sebagai pemimpin perusahaan, membuat Samudra sering kali melewatkan jam mengajar. Tidak hanya itu, mahasiswa bimbingannya mengeluh pada ketua jurusan bahwa Samudra pilih kasih terhadap mereka.

Widya leluasa datang ke kantor untuk bimbingan, sementara yang lainnya dilarang untuk melakukan yang serupa. Hal ini tidak hanya berdampak pada Samudra, tetapi Widya juga. Ia dituding menjalin hubungan dengan dosen pembimbingnya sendiri karena mendapat keistimewaan.

Untuk membuktikan hal itu tidak benar, Widya dan dua orang temannya yang juga merupakan mahasiswa bimbingan Samudra, memutuskan untuk datang ke kantor. Mereka menunggu Samudra di kafe kantor saat jam makan siang. Tidak peduli Samudra berulang kali menolak panggilan mereka termasuk Widya,  mereka bersikeras menunggu setelah mengirimkan pesan pada pemuda itu bahwa mereka akan tetap menunggu sampai Samudra mau menemui mereka.

“Keras kepala banget, sih!” kesal Samudra ketika membaca pesan salah satu mahasiswanya.

Samudra tidak punya pilihan. Biar bagaimanapun, ia tidak bisa selalu menghindari masalah yang ia timbulkan. Sejak awal memutuskan untuk menjadi dosen, Samudra memang hanya ingin mendekati Widya. Satu-satunya cara, adalah dengan berubah menjadi seseorang yang wanita itu butuh.

Karena mengetahui Widya sementara menyusun skripsi dan kebetulan ia mendapat tawaran untuk mengajar di kampus yang sama, akhirnya Samudra mengiyakan tawaran tersebut. Saat itu, Samudra yang baru saja menyelesaikan kuliah S2-nya, sama sekali tidak berekspektasi akan ditunjuk sebagai pemimpin perusahaan secepat ini.

Mau tidak mau, siap tidak siap, ia harus menjalankan dua peran sekaligus. Meskipun pada akhirnya ia harus memilih salah satunya.

Samudra meninggalkan ruangan dan berjalan ke ruangan Cakra. Ada hal penting yang ingin ia tanyakan pada pemuda itu, sebelum menemui Widya. Namun, ternyata Cakra tidak ada di ruangannya.

“Lin, Pak Cakra ke mana?” tanya Samudra pada pegawai lain yang berada di dekat meja Cakra.

“Kayaknya masih makan siang, deh. Tadi saya liat dia lagi ngobrol sama mahasiswa Bapak yang sering ke sini.”

Samudra langsung terdiam. Tanpa permisi, ia langsung bergegas menaiki menuju kafe kantor. saat Samudra tiba di kafe, Widya dan dua orang temannya langsung berdiri. Mereka membungkuk sebagai tanda hormat. Namun, Samudra tidak peduli dan malah berputar mencari Cakra.

“Bapak nyari siapa?” tanya Widya memberanikan diri.

“Cakra mana? Tadi ada yang bilang dia lagi ngobrol sama kamu di sini.”

“Cakra barusan pergi, katanya mau ke pabrik makannya nggak bisa nemenin—“

“Okay, thank you.”

Samudra langsung bergegas meninggalkan kafe tanpa peduli dengan Widya yang berusaha memanggilnya.  Widya dan kedua temannya yang sudah sejak tadi menunggu kedatangan Cakra, jelas saja tidak mau rugi. Mereka langsung berlari dan tidak peduli dengan makan siang yang hanya dimakan sebagian.

Saat tiba di gedung kantor, Widya tidak mendapati Samudra. Ia justru melihat Cakra yang sedang berbicara dengan seorang wanita. Wanita itu adalah Anastasya. Keduanya tampak serius membicarakan sesuatu.

Bohong jika Widya tidak merasa cemburu. Meskipun ia berusaha untuk menahannya, tetapi kecemburuan tergambar jelas di wajahnya. Hal itu dibuktikan dengan pertanyaan Syafa yang sudah  berjalan lebih dulu dan terpaksa berbalik karena menyadari Widya tidak ada di belakangnya.

“Itu pacar kamu, kan? Udah, samperin aja. Biar nggak ada salah paham.”

“Nggak usah.”

“Udah, samperin aja. Entar nyesal, loh. Siapa tau itu Cuma teman kerjanya, kan?”

Widya menghela napas. Ia mencoba membenarkan perkataan Syafa, meskipun harus kecewa ketika Anastasya tertawa dan refleks memukul lengan Cakra.

“Ayo pergi. Kita ke sini mau nemuin Pak Samudra, kan?”

“Tapi, Wid—“

Ucapan Syafa terpotong karena Widya langsung menarik tangannya. Widya berjalan dengan perasaan cemburu luar biasa. Pikirannya tidak bisa memberi toleransi sedikit pun tentang pemandangan yang ia lihat tadi. 

“Widya kenapa?” bisik Arumi pada Syafa yang hanya mendapat angkatan bahu dari Saya.

“Wid, kita naik taksi aja, yuk.”

Widya tidak memedulikan saran Arumi dan terus menyusuri trotoar. Wanita mana yang tidak akan cemburu ketika melihat kekasihnya berbicara empat mata dengan wanita secantik Anastasya? Widya memang cantik, tetapi Anastasya memiliki pesona wanita dewasa dan tampak serasi berdiri di samping Cakra.

Meskipun sebenarnya, hal yang dibicarakan Cakra dan Anastasya bukanlah sesuatu yang Widya pikirkan. Anastasya memang meminta Cakra untuk menemuinya di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor. Namun, Cakra berniat untuk tidak menemui wanita itu dan memutuskan tidak akan membantunya.

Tanpa Cakra sadari, Anastasya bukan wanita  yang mudah menyerah. Ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan yang ia mau, termasuk menjebak Cakra. Diam-diam, wanita itu menyewa seorang pemotret yang mengambil gambar keduanya di hari saat Widya mencuri mobil yang akan diuji coba.

Berkat hal itu, Anastasya mengancam Cakra, bahwa ia akan memberitahu pada semua orang kalau Cakra terlibat dalam pencurian. Jelas saja, Cakra tidak hanya akan kehilangan pekerjaan, tetapi kemungkinan akan dipenjarakan.

Kerugian perusahaan yang tidak main-main, memang sangat memungkinkan bagi perusahaan untuk mengambil tindakan tegas. Parahnya lagi, kemungkinan besar Anastasya kan lolos dan semua tuduhan akan dilimpahkan pada Cakra.

Tawa yang tadi Widya lihat, sebenarnya adalah tawa penghinaan yang Anastasya tunjukkan pada Cakra. Wanita licik yang berhasil membuat Cakra sulit untuk mundur, tanpa sadar sudah membuat masalah lain bagi Cakra.

“Gimana? Sekarang semua ada di tanganmu. Kalau kamu mau ikut rencanaku, aku akan kembaliin mobil itu dalam keadaan utuh. Memang, semua nggak akan kembali seperti semula. Klien-klien yang menarik diri nggak akan kembali. Tapi, kali ini aku akan jadiin kamu pahlawan di perusahaan. Selain divisi produksi akan bebas dari tuduhan, kamu juga kemungkinan akan dapat penghargaan.”

Cakra berpikir keras. Ia menatap sepatu kulit yang semalam ditambal. Celana kain yang kusut karena tidak disetrika, membuat Cakra mulai mengasihani diri sendiri.

“Kalau kamu nerima tawaranku, kamu nggak hanya bisa beli sepatu baru. Tapi kamu juga akan bisa beli pabrik sepatu.”

Cakra yang mendengar ucapan Anastasya yang menyebutkan pabrik sepatu, langsung mengangkat pandangannya. Bibirnya terasa kaku untuk menjawab.

“A-aku, butuh waktu ..”

Anastasya tersenyum dan mengangguk. Ia meletakkan kedua tangannya memeluk dada
.
“Baiklah, aku kasih waktu sampai minggu depan. Saat keadaan mulai baik, mari bertemu lagi. Aku harap, saat itu kamu benar-benar pilih pilihan terbaik. Nggak hanya untuk kamu, tapi untuk Widya juga.”

Anastasya meninggalkan Cakra setelah tersenyum menang. Wanita itu naik ke mobilnya dan baru berangkat setelah membunyikan klakson tiga kali. Seperti sebuah keharusan, Anastasya memang sering melakukan ini pada laki-laki yang membuatnya tertarik.

Bagi wanita yang memiliki segalanya dan hidup berlimpah sejak lahir, Anastasya hanya menganggap laki-laki sebagai sampah. Mereka seperti anjing peliharaannya yang menggonggong ketika ia membunyikan klakson tiga kali.

Tanpa Cakra tahu, diam-diam seorang wanita melihat ke arahnya. Wanita itu tersenyum dan melempar kertas hitam yang jatuh tepat di kaki Cakra.
Cakra mengambil kertas itu dan menoleh ke sekelilingnya untuk mencari pemiliknya. Kertas yang ia pegang sama persis seperti kertas yang ia dapatkan saat di tangga darurat bersama Widya beberapa waktu lalu.

Tangan Cakra bergetar ketika membukanya. Benar saja, sebuah pesan yang membuat mata Cakra membulat.

“Hidupmu kali ini, tidak akan sama seperti sebelumnya. Kamu diberi kebebasan untuk melakukan apa saja. Namun, jangan lupakan satu hal. Setiap pilihan memiliki konsekuensi yang harus dipertanggung jawabkan.”

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang