-08-

76 35 3
                                    

Cakra mengira, dengan berbekal ingatan yang ia punya dari kehidupan masa depan, akan memudahkan jalannya di kehidupan yang terulang. Nyatanya, Cakra merasa tersiksa dengan rasa sakit yang terbawa karena ingatan tentang kematian Widya selalu muncul dalam mimpinya.

Keringat membasahi seluruh tubuh Cakra yang sejak tadi menggerakkan kepala ke sana kemari karena bermimpi. Tubuhnya terasa kaku, ia tidak bisa bergerak ataupun berteriak.

“Widya ...” Cakra mengigau.

Dalam mimpi, tangannya berusaha meraih tubuh Widya yang tergeletak di tengah jalan tidak sadarkan diri. Air mata menetes membasahi bantal putihnya. Mata Cakra terbuka.

Pandangan Cakra tertuju pada langit-langit kamar yang bocor. Hal itu membuat air hujan mengenai wajahnya. Cakra bangkit dari pembaringan dan mengelap air mata yang sudah bercampur dengan air hujan.

“Mas nggak akan biarkan itu terjadi lagi, Widya.”

Cakra bangkit dari tempat tidur dan mengambil ember lalu meletakkan di atas tempat tidur. Ia memandangi tiap tetesan air hujan yang tertampung di dalam ember.

Cakra merasa hampa. Ia tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Kehidupan kedua ini benar-benar sangat berat untuk dijalani. Semuanya berjalan tidak seperti yang ia harapkan terutama soal pekerjaan.

Saat Cakra sibuk mengkhayal tentang langkah selanjutnya, sebuah panggilan mengalihkan perhatiannya. Cakra mendekat ke arah meja dan melihat siapa yang menghubungi di waktu pagi buta.

Panggilan dari nomor yang tidak ia kenal, membuat Cakra enggan untuk mengangkatnya. Ia membiarkan panggilan itu selesai. Namun, nomor yang sama kembali menghubunginya. Cakra teringat pada Widya, mungkin saja wanita itu menggunakan nomor lain untuk menghubunginya.

Dengan antusias, Cakra menggeser layar dan meletakkan benda pipih itu di samping telinganya.

"Halo.”

“Halo.”

Ternyata Cakra salah. Panggilan itu bukan berasal dari Widya, melainkan seorang laki-laki dengan suara bariton yang memberi kesan mengintimidasi.

“Apa benar ini dengan Bapak Cakra Adiguna?’

“Iya benar, saya sendiri. Ini siapa, ya?”

Lelaki dari seberang telepon itu berdeham. “Perkenalkan, saya Dimas. Kepala HRD dari perusahaan Jayaputra. Saya cukup tertarik dengan surat lamaran Anda. Apa hari ini kita bisa bertemu untuk wawancara?”

Cakra benar-benar sangat senang dengan apa yang ia dengar. Kali ini, Cakra berharap tidak hanya akan sampai di tahap wawancara saja. Mengingat perusahaan Jayaputra adalah salah satu perusahaan besar di Jakarta, Cakra langsung mengiyakannya.

“Bisa, Pak. Saya bisa hadir wawancara hari ini. Saya segera siap-siap ke perusahaan Bapak sekarang juga.”

“Jangan ke kantor. Kita wawancara di Grand Hotel pukul sembilan pagi.”

“Di hotel?”

Cakra sedikit curiga dengan permintaan penelepon. Hal yang Cakra tahu, biasanya perusahaan besar tidak mungkin mewawancarai calon karyawan di luar kantor. Ia teringat modus penipuan yang pernah mengatas namakan perusahaannya di kehidupan masa depan.

Saat itu, ada tiga orang pemuda yang sedang mencari kerja, datang ke perusahaan dan marah-marah. Ketiganya mengalami penipuan sebesar lima belas juta setelah diiming-imingi oleh seseorang yang mengaku ketua HRD dan berjanji akan menerima mereka bekerja asalkan membayar uang administrasi senilai lima juta per-orang.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang